Senin, 17 Juli 2017

Jenis-Jenis Itsar (Sikap Mendahulukan Orang Lain)

Berkata al-‘Allamah al-Faqih ahli Ushul Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullahu, di dalam kitab beliau (Syarah Riyadhus Shalihin) :

(Bab : Itsar dan Muwasah);
Penulis (al-Imam an-Nawawi rahimahullah) menyebutkan bab ini setelah bab larangan dari sikap bakhil dan tamak dikarenkan keduanya saling bertolak belakang. Maka yang dimaksud dengan Itsar adalah seorang mengedepankan orang lain atas dirinya sendiri, sedangkan Muwasah adalah menolong orang lain dengan bantuannya. Perbuatan itsar lebih utama (dibandingkan muwasah), tetapi perlu diketahui bahwa sikap itsar itu terbagi menjadi 3 jenis :

Pertama : jenis yang dilarang.
Kedua : dibenci (makruh) atau boleh.
Ketiga : diperbolehkan.

1.) Jenis pertama, yang dilarang : yaitu engkau mendahulukan orang lain pada perkara yang engkau sendiri wajib untuk mengerjakannya secara syari’at. Maka yang demikian tidak diperbolehkan engkau mendahulukan selainmu pada perkara yang harus kamu kerjakan sesuai syari’at.

Contohnya : jika engkau punya air yang cukup digunakan untuk berwudhu’ satu orang saja, dalam keadaan engkau belum berwudhu’ dan di sana ada temanmu yang belum berwudhu’ juga, sedangkan air itu adalah milikmu. Maka kemungkinannya, bisa jadi temanmu berwudhu’ sedangkan engkau bertayamum, atau engkau yang berwudhu’ dan temanmu yang bertayamum. Maka dalam kondisi yang demikian tidak diperbolehkan bagimu untuk memberikan air itu kepadanya dalam keadaan engkau justru bertayamum. Dikarenakan engkau telah mendapatkan air itu dan air itu menjadi milikmu, maka tidak diperbolehkan mengganti air tadi dengan tayamum, kecuali engkau tidak menemukannya.
Maka sikap itsar dalam hal kewajiban-kewajiban syari’at hukumnya adalah haram. Yang demikian tidak diperbolehkan karena (perbuatan itsar tersebut -ed) menyebabkan engkau tidak bisa mengerjakan kewajibanmu.

2.) Jenis kedua, yang dibenci atau boleh : yaitu perbuatan itsar pada perkara yang mustahab (dianjurkan oleh syari’at -ed). Sebagian ahli ilmu memakruhkannya dan sebagian yang lain membolehkannya, akan tetapi yang lebih utama adalah meninggalkannya tidak diragukan lagi, kecuali jika di sana ada maslahat.

Contohnya : engkau mempersilahkan orang lain masuk ke shof awal yang engkau tempati, yaitu engkau berada di shof awal ketika hendak sholat kemudian masuk seseorang, lalu engkau beranjak dari tempatmu dan mempersilakannya (untuk menempati tempatmu).

Maka sebagian ahli ilmu memakruhkan hal ini dan mengatakan : sungguh hal ini menunjukkan bahwa orang tersebut tidak suka/berpaling dari kebaikan, sedangkan sikap berpaling dari kebaikan hukumnya makruh. Karena, bagaimana mungkin engkau bisa mengedepankan yang selainmu ke tempat yang lebih utama dalam keadaan engkau lebih berhak menempatinya daripada dia?

Sebagian ulama’ berpendapat : meninggalkannya lebih utama kecuali jika disana ada maslahat, sebagaimana kalau orang tersebut adalah ayahmu dan engkau khawatir akan ada sesuatu yang mengganjal di hati ayahmu, kemudian engkau mendahulukannya untuk memperoleh tempat yang lebih utama, maka yang demikian tidak masalah.

3.) Jenis ketiga, yang diperbolehkan : ini hukumya adalah mubah dan terkadang bisa menjadi mustahab, yang demikian ketika engkau mendahulukan yang selainmu pada perkara yang bukan ibadah, yaitu engkau mendahulukan orang lain dan mengedepankannya atas dirimu pada perkara yang bukan ibadah.

Contohnya : jika engkau mempunyai makanan dalam keadaan engkau lapar, sedangkan temanmu juga merasa lapar seperti kamu. Maka dalam kondisi yang demikian, jika engkau berbuat itsar, sungguh engkau terpuji dengan perbuatan itsarmu ini.

Berdasarkan firman Allah tabaraka wa ta’ala tentang sifat orang-orang Anshar :
ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺗَﺒَﻮَّﺀُﻭﺍ ﺍﻟﺪَّﺍﺭَ ﻭَﺍﻟْﺈِﻳﻤَﺎﻥَ ﻣِﻦْ ﻗَﺒْﻠِﻬِﻢْ ﻳُﺤِﺒُّﻮﻥَ ﻣَﻦْ ﻫَﺎﺟَﺮَ ﺇِﻟَﻴْﻬِﻢْ ﻭَﻟَﺎ ﻳَﺠِﺪُﻭﻥَ ﻓِﻲ ﺻُﺪُﻭﺭِﻫِﻢْ ﺣَﺎﺟَﺔً ﻣِﻤَّﺎ ﺃُﻭﺗُﻮﺍ ﻭَﻳُﺆْﺛِﺮُﻭﻥَ ﻋَﻠَﻰٰ ﺃَﻧْﻔُﺴِﻬِﻢْ ﻭَﻟَﻮْ ﻛَﺎﻥَ ﺑِﻬِﻢْ ﺧَﺼَﺎﺻَﺔٌ ۚ ﻭَﻣَﻦْ ﻳُﻮﻕَ ﺷُﺢَّ ﻧَﻔْﺴِﻪِ ﻓَﺄُﻭﻟَٰﺌِﻚَ ﻫُﻢُ ﺍﻟْﻤُﻔْﻠِﺤُﻮﻥَ ﴿٩﴾
{Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dijaga dari ketamakan jiwanya, mereka itulah orang orang yang beruntung}. (al-Hasyr : 9) .

Bentuk itsar mereka atas diri mereka sendiri adalah tatkala orang-orang muhajirin datang ke Madinah, orang-orang Anshor pun menyambut mereka dengan pemuliaan, penghormatan, dan sikap itsar dengan harta mereka. Sampai sebagian mereka berkata kepada saudaranya dari kalangan Muhajirin : kalau engkau mau aku melepaskan salah seorang dari istriku untukmu maka akan aku lakukan; yaitu mentalaknya.

Kemudian orang Muhajirin tersebut menikahinya setelah selesai masa ‘iddahnya. Ini adalah diantara sikap itsar mereka -radhiyallahu ‘anhum- yang begitu kuatnya kepada saudara-saudara mereka kaum Muhajirin.

Allah ta’ala juga berfirman :
ﻭَﻳُﻄْﻌِﻤُﻮﻥَ ﺍﻟﻄَّﻌَﺎﻡَ ﻋَﻠَﻰٰ ﺣُﺒِّﻪِ ﻣِﺴْﻜِﻴﻨًﺎ ﻭَﻳَﺘِﻴﻤًﺎ ﻭَﺃَﺳِﻴﺮًﺍ ﴿٨﴾
{Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan}. (al-Insan : 8) .

Yaitu, mereka memberi makanan tersebut dalam keadaan mereka sendiri menyukainya, kepada orang miskin, yatim, dan tawanan, serta meninggalkan diri-diri mereka sendiri. Yang demikian ini juga termasuk dalam bab itsar”.

Nukilan dari : http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=121507

Diambil dari: ilmusyari.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar