Selasa, 11 Juli 2017

Kajian Fiqh: Sholat Musafir

Di tulis Oleh Al Ustadz Abu Utsman Kharisman

Apakah yang dimaksud dengan safar?

Jawab:
Safar adalah perjalanan meninggalkan daerah tempat tinggal untuk keperluan tertentu. Orang yang melakukannya disebut musafir. Safar bukanlah perjalanan biasa, namun membutuhkan perhatian lebih dari perjalanan biasa, karena itu dibutuhkan persiapan khusus seperti penyiapan bekal, penyesuaian kendaraan, dan semisalnya.

Apakah hukum safar dan bagaimana pembagiannya (haram, makruh, mubah, mustahab, wajib)?

Jawab: Berdasarkan hukumnya, safar terbagi menjadi:

a). Haram, safar untuk kemaksiatan atau hal-hal yang dilarang Allah.

Termasuk di antaranya adalah safar seorang wanita sendirian tanpa didampingi mahram.

ﻋَﻦِ ﺍﺑْﻦِ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻨْﻬُﻤَﺎ ﻗَﺎﻝَ ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻟَﺎ ﺗُﺴَﺎﻓِﺮِ ﺍﻟْﻤَﺮْﺃَﺓُ ﺇِﻟَّﺎ ﻣَﻊَ ﺫِﻱ ﻣَﺤْﺮَﻡٍ

“Dari Ibnu Abbas radliyallaahu ‘anhu beliau berkata: Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: Janganlah seorang wanita safar kecuali bersama seorang mahram…”(H.R al Bukhari dan Muslim).

b) Makruh, seperti seorang yang safar sendirian.

ﻋَﻦِ ﺍﺑْﻦِ ﻋُﻤَﺮَ ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻧَﻬَﻰ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻮَﺣْﺪَﺓِ ﺃَﻥْ ﻳَﺒِﻴﺖَ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞُ ﻭَﺣْﺪَﻩُ ﺃَﻭْ ﻳُﺴَﺎﻓِﺮَ ﻭَﺣْﺪَﻩُ

Dari Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah shollallaahu‘alaihi wasallam melarang dari bersendirian, yaitu seorang bermalam sendirian atau safar sendirian (H.R Ahmad)
c). Mubah, seperti berdagang dengan cara yang halal.
d). Mustahab (disukai), seperti bersilaturrahmi menuju karib kerabat.
e) Wajib, seperti safar untuk tujuan berhaji yang pertama bagi yang mampu.
Berapakah jarak minimum safar?
Jawab: Terdapat perbedaan pendapat yang sangat banyak dari para Ulama’, sampai-sampai Ibnul Mundzir menyatakan bahwa dalam masalah ini (penentuan jarak minimum safar) terdapat hampir 20 pendapat. Namun, beberapa pendapat yang masyhur di antaranya:

a). Sejauh jarak perjalanan 3 hari.

Ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud, Sa’id bin Jubair, Sufyan atTsaury dan Abu Hanifah. Dalilnya:

ﻟَﺎ ﻳَﺤِﻞُّ ﻟِﺎﻣْﺮَﺃَﺓٍ ﺗُﺆْﻣِﻦُ ﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺍﻟْﻴَﻮْﻡِ ﺍﻟْﺂﺧِﺮِ ﺃَﻥْ ﺗُﺴَﺎﻓِﺮَ ﺳَﻔَﺮًﺍ ﻳَﻜُﻮﻥُ ﺛَﻠَﺎﺛَﺔَ ﺃَﻳَّﺎﻡٍ ﻓَﺼَﺎﻋِﺪًﺍ ﺇِﻟَّﺎ ﻭَﻣَﻌَﻬَﺎ ﺃَﺑُﻮﻫَﺎ ﺃَﻭْ ﺍﺑْﻨُﻬَﺎ ﺃَﻭْ ﺯَﻭْﺟُﻬَﺎ ﺃَﻭْ ﺃَﺧُﻮﻫَﺎ ﺃَﻭْ ﺫُﻭ ﻣَﺤْﺮَﻡٍ ﻣِﻨْﻬَﺎ

“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir safar 3 hari atau lebih kecuali bersama ayah, anaknya, suaminya, saudara laki-lakinya, atau mahramnya” (H.R Muslim)

ﻋَﻦْ ﺷُﺮَﻳْﺢِ ﺑْﻦِ ﻫَﺎﻧِﺊٍ ﻗَﺎﻝَ ﺃَﺗَﻴْﺖُ ﻋَﺎﺋِﺸَﺔَ ﺃَﺳْﺄَﻟُﻬَﺎ ﻋَﻦْ ﺍﻟْﻤَﺴْﺢِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺨُﻔَّﻴْﻦِ ﻓَﻘَﺎﻟَﺖْ ﻋَﻠَﻴْﻚَ ﺑِﺎﺑْﻦِ ﺃَﺑِﻲ ﻃَﺎﻟِﺐٍ ﻓَﺴَﻠْﻪُ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻛَﺎﻥَ ﻳُﺴَﺎﻓِﺮُ ﻣَﻊَ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻓَﺴَﺄَﻟْﻨَﺎﻩُ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺟَﻌَﻞَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺛَﻠَﺎﺛَﺔَ ﺃَﻳَّﺎﻡٍ ﻭَﻟَﻴَﺎﻟِﻴَﻬُﻦَّ ﻟِﻠْﻤُﺴَﺎﻓِﺮِ

Dari Syuraih bin Hani’ beliau berkata: Aku mendatangi Aisyah bertanya tentang mengusap 2 khuf. Aisyah berkata: Tanyakanlah kepada Ali bin Abi Thalib karena ia pernah safar bersama Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam, maka kamipun menanyakan kepada beliau. Ali berkata: Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam menjadikan batas pengusapan (khuf) 3 hari 3 malam bagi musafir…”(H.R Muslim)

Sebagian Ulama’ menjelaskan bahwa jarak perjalanan 1 hari adalah setara 2 barid = 24 mil = sekitar 43,2 km, sehingga jarak perjalanan 3 hari adalah sekitar 129,6 km.

b) Sejauh jarak perjalanan 2 hari ( 4 barid).

Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Umar (dalam sebagian riwayat), Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad. Sedangkan dari Ulama’ abad ini yang berpendapat demikian adalah Syaikh Bin Baz, Lajnah ad-Daaimah, Syaikh Sholih alFauzan, dan Syaikh Abdullah Ar-Rajihi, Dalilnya:

ﻟَﺎ ﺗُﺴَﺎﻓِﺮِ ﺍﻟْﻤَﺮْﺃَﺓُ ﻣَﺴِﻴﺮَﺓَ ﻳَﻮْﻣَﻴْﻦِ ﺇِﻟَّﺎ ﻭَﻣَﻌَﻬَﺎ ﺯَﻭْﺟُﻬَﺎ ﺃَﻭْ ﺫُﻭ ﻣَﺤْﺮَﻡٍ

Janganlah seorang wanita melakukan safar sejarak perjalanan 2 hari kecuali bersama suami atau mahramnya (H.R al Bukhari).
Al-Bukhari menyatakan:

ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺍﺑْﻦُ ﻋُﻤَﺮَ ﻭَﺍﺑْﻦُ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻨْﻬُﻢْ ﻳَﻘْﺼُﺮَﺍﻥِ ﻭَﻳُﻔْﻄِﺮَﺍﻥِ ﻓِﻲ ﺃَﺭْﺑَﻌَﺔِ ﺑُﺮُﺩٍ ﻭَﻫِﻲَ ﺳِﺘَّﺔَ ﻋَﺸَﺮَ ﻓَﺮْﺳَﺨًﺎ

Ibnu Umar dan Ibnu Abbas -semoga Allah meridlai keduanya- melakukan qoshor dan berbuka (tidak berpuasa) pada perjalanan 4 barid yaitu 16 farsakh (Shahih al-Bukhari juz 4 halaman 231).

c) Tidak ada batasan jarak, selama sudah bermakna ‘safar’ maka terhitung safar.

Hal-hal yang membedakan safar dengan perjalanan biasa bisa terlihat dari beberapa indikasi, di antaranya: perlunya membawa bekal yang cukup, adanya hal-hal yang dipersiapkan secara khusus sebelum keberangkatan (misal pengecekan kondisi kendaraan yang lebih intensif dibandingkan jika dalam penggunaan yang biasa/normal), adanya kesulitan/kepayahan menempuh perjalanan yang tidak didapati pada perjalanan biasa, dan hal-hal lain semisalnya.

Pendapat tanpa batasan jarak minimum ini adalah pendapat Umar bin al-Khottob, Ibnu Umar dalam sebagian riwayat, Anas bin Malik, Sa’id bin al-Musayyib, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Asy-Syaukani, As-Shon’aani, Abdurrahman as-Sa’di, Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin.Dalilnya adalah keumuman ayat:

ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺿَﺮَﺑْﺘُﻢْ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ ﻓَﻠَﻴْﺲَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺟُﻨَﺎﺡٌ ﺃَﻥْﺗَﻘْﺼُﺮُﻭﺍ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ

“Jika kalian melakukan perjalanan di muka bumi, maka tidak ada dosa bagi kalian untuk mengqoshor sholat….(Q.S AnNisaa’:101).

Tidak terdapat hadits shohih maupun hasan yang secara tegas membatasi jarak minimum safar.

ﻋَﻦْ ﻳَﺤْﻴَﻰ ﺑْﻦِ ﻳَﺰِﻳﺪَ ﺍﻟْﻬُﻨَﺎﺋِﻲِّ ﻗَﺎﻝَ ﺳَﺄَﻟْﺖُ ﺃَﻧَﺲَ ﺑْﻦَ ﻣَﺎﻟِﻚٍ ﻋَﻦْ ﻗَﺼْﺮِ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ ﻓَﻘَﺎﻝَﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺇِﺫَﺍ ﺧَﺮَﺝَ ﻣَﺴِﻴﺮَﺓَ ﺛَﻠَﺎﺛَﺔِ ﺃَﻣْﻴَﺎﻝٍ ﺃَﻭْﺛَﻠَﺎﺛَﺔِ ﻓَﺮَﺍﺳِﺦَ ‏( ﺷَﻚَّ ﺷﻌﺒﺔ ‏) ﺻَﻠَّﻰ ﺭَﻛْﻌَﺘَﻴْﻦِ

Dari Yahya bin Yazid al-Hanaa-i beliau berkata: Aku bertanya kepada Anas bin Malik tentang mengqoshor dalam sholat. Beliau berkata: Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam jika keluar sejarak 3 mil atau 3 farsakh – keraguan pada perawi bernama Syu’bah- beliau sholat 2 rokaat” (H.R Muslim)

1 mil = sekitar 1,6 km, sehingga 3 mil sekitar 4,8 km. Sedangkan 1 farsakh = 3 mil = sekitar 14,4 km.

ﻋَﻦِ ﺍﻟﻠَّﺠْﻼَﺝِ , ﻗَﺎﻝَ : ﻛُﻨَّﺎ ﻧُﺴَﺎﻓِﺮُ ﻣَﻊَ ﻋُﻤَﺮَ ﺑْﻦِ ﺍﻟْﺨَﻄَّﺎﺏِ ﻓَﻴَﺴِﻴﺮُ ﺛَﻼَﺛَﺔَ ﺃَﻣْﻴَﺎﻝٍ ﻓَﻴَﺘَﺠَﻮَّﺯُ ﻓِﻲ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓ ﻭَﻳَﻔْﻄُﺮُ

Dari al-Lajlaaj beliau berkata: Kami pernah safar bersama Umar bin al-Khottob. Beliau melakukan perjalanan sejauh 3 mil mengqoshor sholat dan berbuka” (riwayat Ibnu Abi Syaibah no 8221 juz 2 halaman 445)

Sebagian Ulama’ menyatakan bahwa jarak di bawah 3 farsakh yang disebutkan dalam hadits Anas maupun perbuatan Umar adalah jarak minimum permulaan boleh mengqoshor sholat dan berbuka (tidak berpuasa), bukan jarak total dari tempat asal ke tujuan. Sebagai contoh, ketika Nabi melakukan perjalanan dari Madinah akan ke Mekkah, pada saat di Dzulhulaifah beliau sudah mengqoshor sholat (riwayat AlBukhari dan Muslim).

Padahal jarak Madinah ke Dzulhulaifah adalah sekitar 6 mil atau sekitar 9,6 km.
Dari 3 pendapat tentang jarak minimum safar, pendapat yang rajih (lebih mendekati kebenaran) adalah pendapat ke-3 ini yang menyatakan bahwa tidak ada jarak minimum batasan suatu perjalanan dikatakan safar, namun dikembalikan kepada urf (ukuran kebiasaan) setempat. Jika perjalanan dari satu tempat ke tempat tertentu sudah terhitung safar berdasarkan urf di daerah itu, maka hal itu terhitung safar. Jika tidak, maka bukan safar.

Wallaahu a’lam.

Berapa lama waktu minimum seorang dikatakan safar?

Jawab:
Para Ulama juga berbeda pendapat dalam hal berapa lama masa tinggal seseorang di suatu tempat sehingga dianggap tetap dalam keadaan safar. Beberapa pendapat yang masyhur dalam hal ini:

1). 4 hari
Jika berniat tinggal di suatu tempat lebih dari 4 hari, maka ia bukan musafir lagi. Ini adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal.

2). Sama dengan pendapat pertama, namun hari keberangkatan dan hari kepulangan juga dihitung, sehingga total 6 hari.

Ini adalah pendapat Imam Malik dan Imam Asy-Syafi ’i. Dalil pendapat pertama dan kedua adalah:

ﻳُﻘِﻴﻢُ ﺍﻟْﻤُﻬَﺎﺟِﺮُ ﺑِﻤَﻜَّﺔَ ﺑَﻌْﺪَ ﻗَﻀَﺎﺀِ ﻧُﺴُﻜِﻪِ ﺛَﻠَﺎﺛًﺎ

“Orang-orang yang berhijrah tinggal di Makkah setelah menyelesaikan manasik hajinya selama 3 hari” (H.R Muslim)

3). 15 hari, sebagaimana pendapat Ibnu Umar dan Imam Abu Hanifah.

4). 19 hari, pendapat dari Ibnu Abbas.

ﻋَﻦِ ﺍﺑْﻦِ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻨْﻬُﻤَﺎ ﻗَﺎﻝَ ﺃَﻗَﺎﻡَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺻَﻠَّﻰ
ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺗِﺴْﻌَﺔَ ﻋَﺸَﺮَ ﻳَﻘْﺼُﺮُ ﻓَﻨَﺤْﻦُ ﺇِﺫَﺍ ﺳَﺎﻓَﺮْﻧَﺎ ﺗِﺴْﻌَﺔَ ﻋَﺸَﺮَﻗَﺼَﺮْﻧَﺎ ﻭَﺇِﻥْ ﺯِﺩْﻧَﺎ ﺃَﺗْﻤَﻤْﻨَﺎ

Dari Ibnu Abbas radliyallaahu ‘anhumaa beliau berkata: Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam tinggal (di suatu tempat) selama 19 hari mengqoshor sholat, maka kami jika safar selama 19 hari mengqoshor sholat jika lebih dari itu kami sempurnakan sholat “ (H.R AlBukhari)

5).Tidak ada batasan minimum masa tinggal.

Pendapat yang rajih (lebih dekat pada kebenaran), Wallaahu a’lam, pendapat Ulama yang menyatakan tidak ada batasan waktu minimum. Selama seseorang tidak berniat untuk menetap di tempat tersebut, maka ia tetap dalam kondisi safar. Hal ini dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan didukung oleh Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin. Karena memang tidak ada nash yang shohih dan shorih (tegas) yang membatasinya. Jika disebutkan bahwa Ibnu Abbas melihat batasan 19 hari karena pernah menyaksikan Nabi melakukan hal itu, bagaimana dengan hadits dari Jabir bin Abdillah yang pernah menyaksikan Nabi mengqoshor sholat selama berada di Tabuk 20 hari?

ﻋَﻦْ ﺟَﺎﺑِﺮِ ﺑْﻦِ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻗَﺎﻝَ ﺃَﻗَﺎﻡَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺑِﺘَﺒُﻮﻙَ ﻋِﺸْﺮِﻳﻦَ ﻳَﻮْﻣًﺎ ﻳَﻘْﺼُﺮُﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓَ

Dari Jabir bin Abdillah beliau berkata: “Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam tinggal di Tabuk selama 20 hari mengqoshor sholat” (H.R Ahmad, Abu Dawud).

Demikian juga dengan yang terjadi pada Ibnu Umar yang terkurung salju di Azerbaijan selama 6 bulan, senantiasa mengqoshor sholat.

Apa yang dimaksud dengan sholat qoshor?

Jawab:
Sholat qoshor adalah sholat wajib di saat safar berjumlah 2 rokaat untuk sholat- sholat yang berjumlah 4 rokaat di waktu mukim (Dzhuhur, Ashar, Isya’).
Masihkah pelaksanaan sholat qoshor relevan diterapkan di masa modern ini di saat banyak kemudahan bagi musafir dan perjalanan tidak berat mereka rasakan?

Jawab: Ya, masih relevan. Karena 2 hal yang utama:

a). Firman Allah Ta’ala dalam surat Maryam ayat 64 “Dan sama sekali Tuhanmu tidak lupa…” (Q.S Maryam:64).

Sebagian Ulama menjelaskan bahwa Allah Subhaanahu Wa Ta’ala tidak lupa bahwa umat manusia diciptakan melalui zaman yang bermacam-macam. Ada yang diciptakan pada saat keadaan teknologi masih minim, adapula yang hidup di masa sebaliknya, saat sarana transportasi dan segenap fasilitas yang ada memudahkan ia melakukan perjalanan jauh, sehingga tidak merasa capek, lelah, dan berat. Namun Allah tidaklah mewahyukan kepada Nabinya untuk menghapus rukhsah (kemudahan) bagi seseorang selama ia berstatus sebagai musafir.

b) Firman Allah Ta’ala dalam surat AnNisaa’ 101:

ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺿَﺮَﺑْﺘُﻢْ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ ﻓَﻠَﻴْﺲَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺟُﻨَﺎﺡٌ ﺃَﻥْﺗَﻘْﺼُﺮُﻭﺍ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ ﺇِﻥْ ﺧِﻔْﺘُﻢْ ﺃَﻥْ ﻳَﻔْﺘِﻨَﻜُﻢُ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻛَﻔَﺮُﻭﺍ

“Dan jika kalian melakukan perjalanan di muka bumi, tidak ada dosa bagi kalian untuk mengqoshor sholat jika kalian khawatir diserang orang-orang kafir…” (Q.S AnNisaa’:101).

Secara tekstual, nampak jelas bahwa alasan awal seorang boleh mengqoshor sholat adalah jika dia dalam keadaan safar dan khawatir diserang orang kafir. Bagaimana jika kekhawatiran diserang orang kafir itu telah hilang? Pertanyaan semacam ini pernah ditanyakan oleh Ya’la bin Umayyah kepada Umar bin alKhottob, Umarpun berkata bahwa ia juga pernah bertanya demikian kepada Nabi tentang ayat itu, namun justru Nabi bersabda:

ﺻَﺪَﻗَﺔٌ ﺗَﺼَﺪَّﻕَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺑِﻬَﺎ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻓَﺎﻗْﺒَﻠُﻮﺍ ﺻَﺪَﻗَﺘَﻪُ

“Itu adalah shodaqoh Allah atas kalian, terimalah shodaqohNya” (H.R Muslim).

Maka, sebagaimana keadaan safar saat ini sudah tidak dicekam perasaan takut, ataupun keadaannya lebih mudah dan ringan, tidak memberatkan, mengqoshor sholat pada saat safar adalah shodaqoh Allah kepada kita yang diperintahkan Nabi untuk diambil.

Apakah sholat qoshor boleh dilakukan dalam safar yang bukan untuk ketaatan?

Jawab:
Ya, untuk segala jenis safar, sebagaimana pendapat Abu Hanifah, karena keumuman dalil yang ada. Kata Ibnu Taimiyyah, karena secara asal memang sholat adalah 2 rokaat. Aisyah -radliyallahu ‘anha- menyatakan:

ﺃَﻥَّ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓَ ﺃَﻭَّﻝَ ﻣَﺎ ﻓُﺮِﺿَﺖْ ﺭَﻛْﻌَﺘَﻴْﻦِ ﻓَﺄُﻗِﺮَّﺕْ ﺻَﻠَﺎﺓُ ﺍﻟﺴَّﻔَﺮِ ﻭَﺃُﺗِﻤَّﺖْ ﺻَﻠَﺎﺓُ ﺍﻟْﺤَﻀَﺮِ

“Sesungguhnya permulaan diwajibkan sholat adalah 2 rokaat, kemudian ditetapkan pada sholat safar dan disempurnakan (ditambah) pada sholat hadir (tidak safar) (H.R AlBukhari dan Muslim, lafadz Muslim)

Apa hukum mengqoshor sholat dalam safar?

Jawab:
Sunnah, dan jika dia menyempurnakan sholat (bukan karena sebagai makmum yang mengikuti Imam mukim), hukumnya makruh. Hal ini dikarenakan Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam senantiasa mengqoshor sholat dalam safar.

ﻣَﺎ ﺳَﺎﻓَﺮَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺳَﻔَﺮًﺍﺇِﻟَّﺎ ﺻَﻠَّﻰ ﺭَﻛْﻌَﺘَﻴْﻦِ ﺭَﻛْﻌَﺘَﻴْﻦِ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺮْﺟِﻊَ

“Tidaklah Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam melakukan safar kecuali beliau sholat 2 rokaat 2 rokaat sampai kembali” (H.R Ahmad dari Imron bin Hushain, dihasankan oleh alBaihaqy).

Apakah dipersyaratkan niat safar untuk mengqoshor sholat?

Jawab :
Tidak dipersyaratkan niat safar untuk mengqoshor sholat sebagaimana tidak dipersyaratkan niat untuk mukim. Sehingga, seseorang yang sudah masuk dalam suatu sholat, misalkan sholat Dzhuhur dalam keadaan safar, karena dia biasa sholat 4 rokaat dan lupa sedang safar, di tengah sholat saat belum menyelesaikan 2 rokaat dia teringat bahwa ia adalah musafir, maka hendaknya ia menyelesaikan sholatnya dalam 2 rokaat saja. Tidak dipersyaratkan sebelum masuk dalam sholat ia harus berniat sebagai seorang musafir yang mengqoshor sholat (disarikan dari penjelasan Syaikh al-Utsaimin dalam asy-Syarhul Mumti’).

Bolehkah mengqoshor sebelum meninggalkan daerah tempat tinggalnya?
Jawab: Jika seseorang akan melakukan safar, dia tidak boleh mengqoshor ketika masih berada di wilayah tempat tinggalnya. Sebagaimana Nabi belum mulai mengqoshor sholat ketika masih berada di Madinah. Beliau sudah mulai mengqoshor sholat setelah berada di Dzulhulaifah (berjarak sekitar 6 mil = sekitar 9,6 km). Boleh pula seseorang mulai mengqoshor di tengah perjalanan saat masih menempuh 3 mil, sekitar 4,8 km dari rumahnya sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin alKhottob.

Bagaimana jumlah rokaat seorang musafir yang sholat di belakang seorang mukim?

Jawab: Sama dengan jumlah rokaat Imam (disempurnakan).

ﻋَﻦْ ﻣُﻮﺳَﻰ ﺑْﻦِ ﺳَﻠَﻤَﺔَ ﻗَﺎﻝَﻛُﻨَّﺎ ﻣَﻊَ ﺍﺑْﻦِ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ ﺑِﻤَﻜَّﺔَ ﻓَﻘُﻠْﺖُ ﺇِﻧَّﺎ ﺇِﺫَﺍ ﻛُﻨَّﺎ ﻣَﻌَﻜُﻢْ ﺻَﻠَّﻴْﻨَﺎ ﺃَﺭْﺑَﻌًﺎ ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺭَﺟَﻌْﻨَﺎ ﺇِﻟَﻰﺭِﺣَﺎﻟِﻨَﺎ ﺻَﻠَّﻴْﻨَﺎ ﺭَﻛْﻌَﺘَﻴْﻦِ ﻗَﺎﻝَ ﺗِﻠْﻚَ ﺳُﻨَّﺔُ ﺃَﺑِﻲ ﺍﻟْﻘَﺎﺳِﻢِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ

Dari Musa bin Salamah beliau berkata: Kami pernah bersama Ibnu Abbas di Makkah, kemudian aku berkata kepada beliau: Sesungguhnya kami (musafir) jika sholat bersama kalian sholat 4 rokaat, namun jika kami kembali ke tempat (perkemahan) kami, kami sholat 2 rokaat. Ibnu Abbas berkata: Itu adalah Sunnah Abul Qosim (Nabi Muhammad) shollallaahu ‘alaihi wasallam (riwayat Ahmad).

Sumber: Salafy.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar