Nov 16, 2011 |
Asy Syariah Edisi 029 |
Deraan krisis
ekonomi berkepanjangan yang berujung pada tingginya angka pengangguran dan
lesunya sektor riil, membuat sebagian orang dengan mudahnya tergiur cara-cara
instan untuk mendapatkan uang. Tak heran jika hampir tiap hari kita disuguhi
berita banyaknya masyarakat yang tertipu dengan praktik-praktik bisnis berkedok
Multi Level Marketing (MLM), investasi fiktif, transaksi valas dan surat
berharga “bodong”, hingga yang “primitif” sekalipun yakni penggandaan uang
melalui dukun.
Makna yang bisa
ditangkap di sini, selain “mimpi-mimpi” kesuksesan yang memang menjadi penyakit
yang membelit sebagian masyarakat kita, juga dikarenakan syariat tidak lagi
menjadi pertimbangan utama. Yang terpenting tanam duit dulu, jadi member sana
member sini, maka komisi, reward, atau income sekian digit per bulan telah
membayang di depan mata. Atau bagi yang berdukun, tunggu malam Jumat Kliwon,
maka uang konon bakal berlipat dengan sendirinya.
Sejatinya, semua
praktik bisnis, apapun istilahnya sekarang, mempunyai esensi yang bisa ditelaah
secara syariat. Karena pada dasarnya yang berbeda hanyalah mekanismenya.
Sebagai contoh adalah MLM. Ini adalah cara jualan langsung ke konsumen dengan
memangkas jalur distribusi. Namun menjadi berbeda ketika produk yang dijual
hanyalah kamuflase, dibumbui dengan sistem yang melanggar syar’i, atau malah
murni penggandaan uang (arisan berantai) berskema piramida.
Bisa jadi
manusia memang “tak kehilangan akal” untuk terus menyeberangi batasan-batasan
syariat. Namun bagaimanapun, Islam adalah agama yang sempurna, rambu-rambu yang
terpasang di jalan syariat ini telah demikian jelas karena Islam tak pernah
usang dimakan jaman. Justru kian rusak perilaku manusia berikut pranata
sosialnya, makin kita menemukan kebenaran Islam. Makanya tak perlu acara-acara
kontekstualisasi (baca: bongkar pasang syariat), rekonstruksi Islam sehari,
atau semacamnya, selama kita mau menggali ilmu syariat yang demikian luas dan
dalam ini. Namun tentu saja ini semua dilakukan dengan bimbingan para ulama.
Pembaca, berumah
tangga semestinya mampu menggugah kesadaran kita bahwa sikap keakuan sudah
saatnya ditanggalkan. Karena apapun sikap atau perilaku kita, itu adalah api
yang melahirkan asap, yakni berimbas (setidaknya) pada pasangan hidup kita.
Cemburu,
misalnya. Ini adalah sikap yang menggarami kehidupan rumah tangga kita
sehari-hari. Tanpa garam, tentu masakan tak akan lezat, namun jika berlebihan
niscaya rasa tak enaklah yang mesti kita telan. Maka, memperturutkan cemburu
buta hanya akan menabur benih-benih keretakan semata. Jika benih-benih ini kian
berkecambah, maka “bom waktu” bernama perceraian tinggal menunggu saatnya saja.
Bagaimana memenej rasa cemburu secara Islam itu? Simak bahasannya di rubrik
Mengayuh Biduk.
Pembaca, melihat
anak-anak kita bisa tumbuh dalam naungan nilai-nilai Islam tentu merupakan kebahagiaan
yang tak terkisahkan. Sehingga menjadi teramat indah jika Al Qur’an bisa
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hidup mereka. Meski tak mudah, di
rubrik Permata Hati, pembaca bisa menyelami hal-hal apa yang mesti dilakukan
orang tua dalam mendidik anak-anaknya agar mereka tumbuh dengan baik sejak
dini.
Tentu tak hanya
ini yang bisa anda kaji, pembaca. Buka halaman demi halaman majalah kita ini,
semoga anda dapat menemukan jawaban (baca: ilmu) dari banyaknya pertanyaan yang
menggayuti hidup anda. Selamat menyimak!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar