Syubhat Seputar Pinjam Meminjam
Ribawi
Nov 16, 2011 | Asy
Syariah Edisi 029 |
(ditulis oleh:
Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari)
Diriwayatkan dari ‘Ali
bin Abi Thalib z secara marfu’:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا
“Setiap pinjaman
yang membawa manfaat keuntungan adalah riba.”
Al-Hafizh Ibnu
Hajar Al-‘Asqalani berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh Haris ibnu Abi Usamah
(dalam Musnad-nya, 1/500 no. 437, pen.) dan di dalam sanadnya ada seorang rawi
yang gugur periwayatannya (saqith). Dan hadits ini memiliki syahid (pendukung)
yang dhaif pula dari Fadhalah bin ‘Ubaid yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi (di
dalam As-Sunanul Kubra, 5/350 dan Ma’rifatus Sunan wal Atsar, 4/391, pen.).
Pendukung lainnya adalah hadits mauquf, diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari
Abdullah bin Salam z((lihat Bulughul Maram, Kitabul Buyu’, Bab As-Salam wal
Qardh war Rahn, hadits no. 812, -pen).” Al-Hafizh juga mengatakan dalam
At-Talkhish (3/997): “Dalam sanad hadits ini ada Sawar ibnu Mush’ab, dia adalah
rawi yang matruk (yang ditinggalkan haditsnya).”
Hadits ini
didhaifkan pula oleh Ibnul Mulaqqin dalam Khulashah Al-Badrul Munir (2/78),
Abdul Haq di dalam Al-Ahkam, Ibnu Abdil Hadi dalam At-Tanqih (3/192) dan
Al-Imam Al-Albani t dalam Irwa`ul Ghalil (5/236, hadits no. 1398).
Ketahuilah,
setiap pinjam meminjam yang mendatangkan keuntungan teranggap riba. Salah satu
argumentasinya adalah hadits di atas. Namun karena haditsnya dhaif, tentunya
kita tidak boleh memakainya sebagai hujjah. Hanya saja makna hadits di atas
terpakai, diperkuat oleh ushul syariat dan telah dinukilkan adanya ijma’
(kesepakatan) para ulama dalam masalah ini. Sebagaimana dinukilkan oleh Imam
Ibnu Hazm Al-Andalusi t (dan yang lainnya) bahwa setiap pinjam meminjam yang di
dalamnya dipersyaratkan sebuah keuntungan, penambahan kualitas ataupun
kuantitas, termasuk riba. Pinjam meminjam pada asalnya adalah perbuatan
kebaikan di mana seseorang memberikan kepada yang lain suatu barang atau uang,
untuk nantinya dikembalikan yang sama pada waktu yang telah disepakati. Namun
manakala ada penambahan dalam pengembalian atau dikembalikan dengan sesuatu
yang lebih bagus/baik, terjadilah riba. (Al-Muhalla bil Atsar, 6/348, dan dalam
Maratibul Ijtima’, hal. 165)
Dalam hal ini
ada beberapa syubhat yang beredar di tengah kaum muslimin yang sengaja
disebarkan oleh ahlus syubhat yang dipandang tokoh oleh sebagian orang. Kami
nukilkan secara ringkas beberapa syubhat tersebut berikut jawabannya dari kitab
Syarhul Buyu’ war Riba Min Kitabid Darari (hal. 146-148) yang ditulis guru kami
Asy-Syaikh Abdurrahman bin ‘Umar bin Mar’i Al-’Adnani hafizhahullah.
Beliau
hafizhahullah menyatakan ada pihak-pihak yang tidak menganggap riba pinjam
meminjam (qardh) yang memberi faedah. Dalam hal ini mereka menggunakan dua
sudut pandang:
Pertama: Riba
yang diharamkan hanyalah riba jahiliah, yaitu riba dalam hutang piutang.
Misalnya, seseorang menghutangi orang lain dengan perjanjian akan dibayar dalam
tempo tertentu, namun ternyata sampai tempo yang ditentukan orang yang
berhutang belum melunasinya. Akibatnya si pemberi piutang memberi denda dengan
jumlah tertentu yang harus dibayarkan bersama hutang, sehingga bertambahlah
jumlah hutang dari orang yang berhutang tersebut (istilahnya: engkau bayar
sekarang atau hutangmu bertambah).
Adapun
pembayaran tambahan yang telah disebutkan (dipersyaratkan) di awal akad pinjam
meminjam, mereka mengatakan bahwa itu bukan riba yang diharamkan.
Mereka yang
berpendapat seperti ini di antaranya Muhammad Rasyid Ridha penulis Tafsir
Al-Manar dan murid Muhammad Abduh, serta diikuti oleh ‘Abdurrazzaq
As-Sanhawuri, seorang “pakar” hukum di masa ini. Mereka menguatkan pendapat
mereka dengan beberapa dalil/perkara berikut ini:
1. Gambaran riba jahiliah yang ayat-ayat
Al-Qur`an diturunkan tentangnya hanyalah berupa ‘engkau bayar sekarang (ketika
sudah jatuh tempo) atau hutangmu bertambah’.
Jawaban terhadap
dalil mereka ini adalah:
a. Hal ini tidak
bisa diterima, karena sebenarnya riba jahiliah itu memiliki dua bentuk:
Bentuk pertama:
Bentuk yang masyhur yaitu ‘engkau bayar sekarang (ketika sudah jatuh tempo)
atau hutangmu bertambah’
Bentuk kedua:
Penetapan adanya tambahan pembayaran/pengembalian (ziyadah) dari jumlah yang
semestinya dibayarkan sejak di awal akad. Bentuk seperti ini adalah riba
jahiliah, disebutkan dalam Ahkamul Qur`an (1/563-564) karya Al-Imam
Al-Jashshash.
b. Kalaupun
dianggap bahwa ayat-ayat tentang riba yang ada dalam surah Al-Baqarah hanya
mencakup bentuk yang pertama, namun sebenarnya ayat tersebut juga bisa
dijadikan sebagai dalil akan haramnya ziyadah yang dipersyaratkan di awal akad.
Karena kedua bentuk ini sama-sama menerima ziyadah hanya bila telah jatuh
tempo.
c. Ziyadah yang
dipersyaratkan dalam akad hutang piutang khususnya pada mata uang (dinar/emas
dan dirham/perak) serta yang serupa dengan keduanya sebagai alat pembayaran
seperti uang kertas, memang tidak dinyatakan keharamannya oleh ayat-ayat yang
berbicara tentang riba. Namun demikian, pengharamannya disebutkan dalam
As-Sunnah.
Untuk lebih
jelasnya perhatikanlah contoh berikut ini: Bila seseorang datang ke bank lalu
berkata, “Berikan pinjaman kepada saya sebesar Rp. 100.000,-.” Pihak bank
mengatakan, “Kami akan memenuhi permintaan anda namun kami catat dalam
pembukuan kami jumlah Rp. 120.000,- sampai akhir tahun.”
Memang ayat-ayat
tentang riba tidak menunjukkan keharaman bentuk seperti ini, namun
hadits-hadits Nabi n menunjukkan secara jelas keharamannya. Dalam hadits
tentang enam macam barang yang terkena hukum riba disebutkan:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ
وَالْبُرُّ بِالْبُرّ ِوَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ
وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، مِثْلاً بِمِثْلٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَمَنْ زَادَ أَوِ
اسْتَزْدَادَ فَقَدْ أَرْبَى
“Emas dengan
emas, perak dengan perak, burr (satu jenis gandum) dengan burr, sya’ir (satu
jenis gandum juga) dengan sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam,
harus sama timbangannya, dan tangan dengan tangan (serah terima di tempat).
Barangsiapa menambah atau minta tambah berarti dia jatuh dalam riba.” (HR.
Muslim no. 1587)
Bila pihak bank
memberikan pinjaman Rp. 100.000,- kepada orang tersebut namun dicatat jumlahnya
Rp. 120.000,- hingga waktu setahun, berarti pihak yang berhutang dan yang
memberi piutang tidak berpegang dengan dua ketetapan yang disebutkan dalam
hadits di atas yaitu: مِثْلاً
بِمِثْلٍ، يَدًا بِيَدٍ (harus sama
timbangannya dan tangan dengan tangan (serah terima di tempat). Mereka yang melakukan
muamalah seperti ini berarti telah mengumpulkan dua macam riba, riba fadhl dan
riba nasi`ah.
2. Menurut mereka, riba jahiliah dilarang
karena mengambil ziyadah dari pokok harta (yang dipinjamkan). Hal itu terjadi
karena tertundanya pembayaran hutang kepada pihak yang memberi piutang, bukan
disebabkan ingin memberikan kemanfaatan kepada si pemberi hutang.
Dijawab: Sebab
yang disebutkan ini juga ada pada akad pinjam meminjam yang mensyaratkan
pembayaran tambahan (ziyadah).
3. Muhammad Rasyid Ridha berdalil juga dari
sisi bahasa. Ia berkata, “Huruf alif dan lam
adalah lil-’ahd,
sehingga riba yang dilarang dan dicerca adalah riba yang dikenal, dimaklumi dan
diketahui kalangan orang-orang jahiliah yaitu ‘engkau bayar (ketika sudah jatuh
tempo) atau hutangmu bertambah’.
Dijawab:
Kalaulah dianggap alif dan lam yang ada pada kata riba tersebut lil-’ahd, yakni
Rabb kita menyebutkan (dalam ayat) keharaman riba atas sesuatu yang tertentu
yang biasa dilakukan orang-orang jahiliah, maka As-Sunnah telah menyebutkan
keharaman bentuk riba yang lain (tidak hanya yang disebutkan dalam ayat
Al-Qur`an). Sehingga lafadz riba menjadi sebuah hakikat syariat di mana
didudukkan pada seluruh bentuk riba. Apalagi memang di antara mereka ada yang
mengatakan, “Riba adalah lafadz yang global, penafsirannya disebutkan dalam
As-Sunnah.”
4. Muhammad Rasyid Ridha juga berdalil dengan
akal. Ia berkata, “Ancaman yang keras dan cercaan yang demikian menikam
tidaklah mungkin diberikan kecuali kepada dosa-dosa yang besar. Bila ada
seseorang menukar 1 real perak dengan 4 real perak dengan serah terima yang
ditunda sampai waktu tertentu, apakah bisa diterima oleh akal bahwa perbuatan
seperti ini dikenakan ancaman yang disebutkan dalam ayat-ayat yang melarang
riba berupa diperangi oleh Allah l dan Rasul-Nya? Yang bisa diterima oleh akal
hanyalah bila bentuknya seperti bentuk yang awal yaitu ‘engkau bayar (ketika
sudah jatuh tempo) atau hutangmu bertambah’.
Jawabannya:
Menggunakan akal dan pendapat dalam perkara yang telah disebutkan nash-nya
secara syar’i adalah sesuatu yang sia-sia. Sungguh keumuman dalil dari
Al-Qur`an dan As-Sunnah telah mencakup hal yang ditolak tersebut.
5. Muhammad Rasyid Ridha pun berdalil bahwa
riba jahiliah adalah riba yang menyebabkan kerusakan, kemudaratan, meruntuhkan
rumah-rumah, dan memutuskan silaturahim.
Dijawab:
Mensyaratkan tambahan pembayaran/pengembalian di awal akad justru lebih besar
dan lebih tampak kezalimannya daripada tambahan yang ditetapkan setelah jatuh
tempo. Karena dalam riba jahiliah, seseorang memberi satu pinjaman kepada orang
lain untuk dikembalikan dalam tempo sebulan misalnya. Ketika telah jatuh tempo,
orang yang meminjamkan berkata kepada pihak yang dipinjami, “Engkau bayar
sekarang atau hutangmu bertambah (didenda).” Sehingga persyaratan tambahan di
awal akad tentunya lebih tampak dan lebih jelas kezalimannya.
Kemudian, apa
yang dianggap masuk akal oleh Muhammad Rasyid Ridha justru bertentangan dengan
nash dan tidak sepantasnya ditanyakan “Mengapa?” dan “Bagaimana?” kepada nash.
Karena Allah l berfirman:
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا
إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا
وَأَطَعْنَا
“Hanyalah ucapan
kaum mukminin bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Allah dan
Rasul-Nya menghukumi (memutuskan perkara) di antara mereka, mereka akan
mengatakan, ‘Kami dengar dan kami taat’.” (An-Nur: 51)
6. Muhammad Rasyid Ridha berargumen dengan
ucapan-ucapan ulama untuk membatasi riba yang dilarang hanyalah ‘engkau bayar
atau hutangmu bertambah’. Di antara ulama yang disebutkannya adalah Malik,
Ath-Thabari, Al-Qurthubi, Ath-Thahawi, Asy-Syathibi, Ibnu Rusyd, Al-Mawardi,
An-Nawawi, dan Ibnu Hajar Al-Haitsami.
Jawabannya:
Dalam hal ini ada perbedaan antara membatasi bentuk dengan membatasi hukum.
Tatkala ulama yang disebutkan di atas menyebutkan hal itu, yang mereka maukan
adalah menerangkan tentang riba yang masyhur dan dikenal/dimaklumi yaitu riba
‘engkau bayar atau hutangmu bertambah’. Bukanlah maksud mereka untuk membatasi
hukum riba hanya pada bentuk seperti ini. Beda halnya dengan apa yang dipegangi
oleh Muhammad Rasyid Ridha. Dan ketahuilah, pada sebagian ucapan ulama yang
disebutkan justru didapatkan bantahan terhadap pendapat Muhammad Rasyid Ridha,
di mana mereka menyatakan bahwa ini adalah bentuk riba jahiliah dan Nabi n
telah menerangkan bentuk-bentuk riba lain yang diharamkan seperti riba fadhl
dan riba nasi`ah.
Kedua: Membatasi
riba hanya dalam jual beli saja. Adapun dalam pinjam meminjam, riba (qardh)
tidaklah berlaku. Mereka berdalil sebagaimana berikut:
1. Ayat-ayat riba menyebutkan secara global
dan ditafsirkan oleh hadits-hadits Rasulullah n. Namun dalam hadits tersebut
hanya disebutkan jual beli dan tidak ada penyebutan qardh.
Jawabannya:
Telah disebutkan adanya ijma’ (kesepakatan ulama) tentang berlakunya riba dalam
qardh.
2. Mereka berdalil dengan penukilan dari
fuqaha dan ulama Hanafiah yang membatasi riba hanya dalam jual beli.
Jawabannya:
Telah disebutkan penukilan yang lain dari ulama dan fuqaha tersebut tentang
penetapan adanya riba dalam qardh sebagaimana dalam jual beli.
3. Mereka berdalil bahwa sebagian fuqaha
Hanafiah menjadikan qardh sebagai analogi dari berderma, sehingga tidak terjadi
riba di dalamnya. Karena yang namanya riba hanya berlangsung pada sesuatu yang
di dalamnya ada penggantian.
Jawabannya: Para
fuqaha tersebut walaupun mereka menjadikan qardh sebagai perbuatan derma pada
awalnya, namun pada akhirnya mereka menjadikannya perlu penggantian, yang
berarti riba bisa terjadi di dalamnya. Mereka menyatakan hal ini secara jelas.
Adapun ucapan
mereka bahwa qardh adalah berderma, bila memang tujuannya untuk memberikan
manfaat dan berbuat baik. Sedangkan qardh yang disyaratkan adanya ziyadah di
dalamnya maka maksud atau tujuannya adalah meminta penggantian. Adanya syarat
‘minta tambah’ ini menjadikan muamalah tersebut sama dengan jual beli, bukan
lagi semata-mata qardh. Karena qardh hanyalah ditegakkan untuk tujuan berbuat
ihsan dan memberi manfaat bagi yang dipinjami. Beda halnya dengan qardh yang
ada syarat ‘minta tambah’. Qardh yang seperti ini bukan bertujuan berbuat ihsan
dan memberi manfaat tapi tujuannya meminta ganti, mendapat untung dan ziyadah.
4. Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang
menunjukkan bolehnya pengembalian dengan tambahan dalam masalah qardh, seperti
hadits:
خَيْرُكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً
“Sebaik-baik
kalian adalah yang paling baik pembayarannya.”
Jawabannya:
Hadits seperti ini dibawa pemahamannya kepada qardh yang tidak ada persyaratan
minta tambah dalam pengembalian. Sebagaimana orang yang meminjamkan telah
berbuat ihsan kepada orang yang dipinjami, maka disyariatkan pula bagi orang
yang dipinjami untuk berbuat ihsan kepada orang yang meminjamkan. Allah l
berfirman:
هَلْ
جَزَاءُ اْلإِحْسَانِ إِلاَّ اْلإِحْسَانُ
“Tidaklah
balasan kebaikan (perbuatan ihsan) melainkan kebaikan pula (perbuatan ihsan
pula).” (Ar-Rahman: 60)
Maka hal ini
masuk dalam permasalahan membalas kebaikan dengan kebaikan pula.
Demikian
beberapa syubhat yang ada dalam pinjam meminjam (qardh) yang mengandung unsur
riba. Sebagai akhir, bagus sekali untuk kita nukilkan di sini nasihat dari
Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan Alu Fauzan hafizhahullah. Beliau berkata,
“Wajib bagi seorang muslim untuk memerhatikan dan berhati-hati dari qardh
(pinjam meminjam) yang mensyaratkan adanya tambahan. Hendaklah ia mengikhlaskan
niatnya dalam qardh tersebut dan juga dalam melakukan amal shalih yang lain.
Karena tujuan dari qardh ini bukanlah untuk menambah harta secara hakiki, namun
hanyalah untuk menambah harta secara maknawi yaitu taqarrub (mendekatkan diri)
kepada Allah l dengan memenuhi hajat orang-orang yang membutuhkan dan hanya
menginginkan pengembalian yang sesuai dengan besarnya pinjaman (tanpa ada
syarat minta tambah atau syarat mendapatkan kemanfaatan lainnya, pent.). Bila
yang seperti ini menjadi tujuan dalam qardh niscaya Allah l akan menurunkan
barakah (keberkahan), penambahan/pertumbuhan dan kebaikan pada harta.”
(Al-Mulakhkhash Al-Fiqhiyyah, 2/53)
Wallahu ta’ala
a’lam bish-shawab.
Catatan Kaki:
1 Al-Imam Ash-Shan’ani berkata: “Hadits ini
tidak ditemukan dalam Shahih Al-Bukhari pada bab Al-Istiqradh. Al-Hafizh juga
tidak menisbahkannya kepada Al-Bukhari dalam kitabnya At-Talkhish…. Seandainya
hadits ini ada dalam Shahih Al-Bukhari, tentu beliau tidak akan menghilangkan
penisbahannya kepada Al-Bukhari.” (Subulus Salam, 3/82)
2 Nama lengkapnya Sawar ibnu Mush’ab Al-Hamdani
Al-Kufi Abu Abdillah Al-A’ma Al Mu`adzdzin. Al-Bukhari mengatakan bahwa dia
munkarul hadits. An-Nasa`i dan yang selainnya mengatakan bahwa dia matruk.
Sedangkan Abu Dawud mengatakan bahwa dia adalah rawi yang tidak bisa dipercaya.
(Mizanul I’tidal, 3/343)
3 Sama saja baik minta tambah (ziyadah) di sini
dinamakan keuntungan, faedah, hadiah, atau berupa izin menempati sebuah rumah
bagi yang meminjamkan atau izin mengendarai mobil sekalipun selama ziyadah,
hadiah, ataupun manfaat ini diberikan
sebagai persyaratan. Demikian dinyatakan oleh Fadhilatusy Syaikh Shalih bin
Fauzan Alu Fauzan hafizhahullah dalam kitab beliau Al-Mulakhkhash Al-Fiqhiyyah
(2/52).
4 Al-Hafizh Abul
Hasan Ibnul Qaththan t: “Para ulama bersepakat bahwa persyaratan pengembalian
hutang dengan tambahan atau yang lebih baik daripada pinjaman tersebut adalah
perkara yang haram, tidak dihalalkan.” (Al-Iqna’ fi Masa`il Al-Ijma’, 2/196)
Demikian pula
Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni, dan Ibnul Mundzir dalam Al-Ijma’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar