Nov 16, 2011 |
Asy Syariah Edisi 029 |
(ditulis oleh:
Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi)
“Hai orang-orang
yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman. Jika kalian tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangi kalian. Dan jika kalian bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagi
kalian pokok harta kalian; kalian tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”
(Al-Baqarah: 278-279)
Penjelasan
mufradat ayat:
ذَرُوا
Maknanya:
“Tinggalkanlah.” Yaitu tinggalkan mencari sesuatu dari yang kalian miliki
sebagai modal kalian, sebelum menghasilkan riba.
فَأْذَنُوا
Pada lafadz ayat
ini terdapat dua bacaan. Yang pertama dengan huruf dzal yang di-fathah dan ini
merupakan bacaan kebanyakan ahli qira`ah. Sebagian ada yang membaca فَآذِنُوا dengan
huruf alif yang dipanjangkan dan dzal yang di-kasrah. Ini merupakan bacaan
Hamzah dan ‘Ashim dalam Ibnu ‘Ayyasy (lihat Tafsir Al-Alusi). Berdasarkan
bacaan yang pertama, maknanya adalah yakini dan ketahuilah. Sedangkan
berdasarkan bacaan yang kedua bermakna sampaikan dan kabarkanlah kepada mereka
bahwa kalian memerangi mereka (para pemakan riba). Ibnu Jarir At-Thabari
menguatkan makna yang pertama.
بِحَرْبٍ
Maknanya adalah
peperangan yang mengantarkan kepada pembunuhan. Adapula yang mengatakan bahwa
yang dimaksud adalah musuh. (Lihat Tafsir Al-Qurthubi)
رُؤُوْسُ أَمْوَالِكُمْ
“Pokok harta
kalian.” Yang dimaksud adalah harta yang dimiliki oleh seseorang yang masih ada
di tangan orang lain sebagai pinjaman, maka boleh bagi pemilik harta untuk mengambil
modal (harta)nya itu. Adapun keuntungan yang dihasilkan dari riba, maka tidak
boleh bagi dia untuk mengambilnya sedikitpun.
Penjelasan Makna
Ayat
Asy-Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t berkata: “Tatkala Allah menyebutkan tentang
orang-orang yang memakan riba dan merupakan perkara yang dimaklumi bahwa kalau
seandainya mereka orang-orang mukmin dengan keimanan yang memberi manfaat,
tentu tidak akan muncul (perbuatan) dari mereka apa yang telah nampak pada
mereka itu. Lalu Allah l menyebut keadaan kaum mukminin dan pahala mereka.
Allah l menyebut mereka dengan keimanan dan melarang mereka dari memakan hasil
riba jika mereka benar-benar sebagai mukmin. Mereka inilah orang-orang yang
menerima nasihat dari Rabb mereka dan tunduk terhadap perintah-Nya. Allah l
memerintahkan mereka agar bertakwa, dan di antara bentuk ketakwaan tersebut
adalah agar mereka meninggalkan apa yang tersisa dari harta riba, yaitu
muamalah (transaksi) yang sedang berlangsung pada saat itu. Adapun yang telah
lalu, maka barangsiapa yang menerima nasihat, Allah l akan memaafkan apa yang
telah lalu. Sedangkan orang yang tidak peduli akan nasehat dari Allah l dan
tidak menerimanya, sesungguhnya dia telah menyelisihi Rabb-nya dan
memerangi-Nya dalam keadaan dia lemah, tidak memiliki kekuatan untuk memerangi
Yang Maha Perkasa dan Maha Bijaksana, yang memberi kesempatan kepada orang yang
zalim (untuk bertaubat, pen.) namun Dia tidaklah membiarkannya. Sehingga jika
Allah l hendak menyiksa, maka Dia menyiksanya dengan siksaan yang kuat dan
tidak lemah sedikitpun. Jika kalian bertaubat dari bermuamalah dengan cara
riba, maka kalian boleh mengambil modal dasar dari harta kalian dan kalian
tidak menzalimi orang yang bermuamalah dengan kalian dengan cara mengambil
tambahan yang merupakan hasil riba. Kalian juga tidak dizalimi dengan
mengurangi modal dasar kalian.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman)
Berkenaan
tentang ayat ini, Rasulullah n menjelaskan tatkala beliau berdiri di hadapan
para shahabatnya pada haji wada’, di mana beliau bersabda:
أَلاَ
إِنَّ كُلَّ رِبًا مِنْ رِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوْعٌ، لَكُمْ رُؤُوْسُ
أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ
“Ketahuilah,
sesungguhnya setiap riba dari riba jahiliyyah adalah batil, bagi kalian modal
dasar dari harta yang kalian miliki. Kalian tidak menzalimi dan tidak pula
dizalimi.” (HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibnu Majah dari sahabat ‘Amr bin
Al-Ahwash. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud, no.
3087)
Hukuman bagi
Pelaku Riba
Pada bahasan
tafsir di edisi yang lalu, telah disebutkan dalil tentang haramnya riba. Riba
termasuk di antara dosa yang sangat besar yang mendatangkan kebinasaan bagi
pelakunya. Ini merupakan perkara yang telah disepakati umat ini. Al-Imam
Asy-Syaukani t mengatakan ketika mengomentari ayat ini: “Ayat ini menunjukkan
bahwa memakan hasil riba dan bekerja dengan menghasilkan riba termasuk di
antara dosa besar. Tidak ada perselisihan dalam hal ini.” (lihat Tafsir Fathul
Qadir, karya Al-Imam Asy-Syaukani)
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah t berkata: “Adapun riba, maka pengharamannya di dalam Al-Qur’an
lebih keras.” Lalu beliau menyebut ayat ini dan berkata: “Nabi n menyebut riba
di antara dosa-dosa besar, sebagaimana yang diriwayatkan dalam Shahihain
(Al-Bukhari dan Muslim) dari hadits Abu Hurairah z.” (Majmu’ Al-Fatawa, jilid
29 hal. 23)
Berkenaan dengan
hukuman pelaku riba di dunia, maka ayat ini telah menjelaskan bahwa Allah Jalla
jalaluhu telah menyatakan perang, yang mengantarkan kepada pembunuhan. Oleh
karenanya para ulama menjelaskan bahwa barangsiapa telah mendapatkan penjelasan
tentang haramnya hasil riba, namun tidak mengindahkannya, maka hukumnya adalah
dibunuh. Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas z bahwa beliau berkata:
“Barangsiapa yang tetap berada di atas amalan ribanya dan tidak melepaskan diri
darinya, maka wajib atas pemimpin kaum muslimin untuk meminta dia bertaubat.
Jika ia melepaskan dirinya (maka ia selamat dari hukuman) dan jika tidak, maka
pemimpin kaum muslimin memenggal lehernya.”
Al-Hasan
Al-Bashri dan Muhammad bin Sirin juga berkata: “Demi Allah, sesungguhnya para
pemberi pinjaman uang (yang menerapkan riba, ed.) adalah para pemakan riba dan
sesungguhnya mereka telah mengetahui adanya pernyataan perang dari Allah l dan
Rasul-Nya. Jika kaum muslimin memiliki pemimpin yang adil yang meminta mereka
bertaubat di mana jika mereka bertaubat (maka mereka selamat) dan jika tidak,
maka mereka ditebas dengan pedang.”
Demikian pula
yang dinukilkan dari Qatadah dan Rabi’ bin Anas t. (lihat Tafsir Ibnu Katsir)
Ibnu Khuwairiz
Mandad –ulama dari kalangan Malikiyyah– berkata: “Kalau sekiranya sebuah
penduduk negeri sepakat untuk menghalalkan riba, maka mereka telah menjadi
murtad. Hukum terhadap mereka sama seperti hukum terhadap orang-orang yang
murtad. Jika mereka tidak menghalalkannya, boleh bagi penguasa memerangi
mereka. Tidakkah engkau melihat Allah telah memberikan izin untuk itu dalam
firman-Nya: “Maka yakinlah akan peperangan (terhadap mereka) dari Allah dan
Rasul-Nya.” (lihat Tafsir Al-Qurthubi)
Riba Termasuk Perbuatan Zalim
Di dalam ayat
yang mulia ini juga menjelaskan bahwa bermuamalah dengan cara riba termasuk
salah satu bentuk kezaliman terhadap yang lainnya. Dari sisi inilah riba itu
diharamkan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menguraikan permasalahan ini, di mana
beliau berkata:
“Sesungguhnya
perkara-perkara yang diharamkan dalam syariat, kembali kepada perkara
kezaliman. Baik terhadap hak Allah l dan ada kalanya terhadap hak seorang hamba
atau hak hamba-hamba-Nya. Setiap kali seorang berbuat zalim terhadap hak para
hamba, maka hamba (yang berbuat zalim itu) itu telah menzalimi dirinya sendiri
dan tidak sebaliknya. Maka setiap dosa yang dikerjakan termasuk dalam bentuk
kezaliman hamba tersebut terhadap diri sendiri. Orang yang pertama mengakui hal
ini adalah bapak seluruh manusia (Adam u), tatkala ia menerima beberapa kalimat
dari Rabb-nya, maka ia berkata:
قَالاَ
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا
لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Keduanya
berkata: ‘Ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika
Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami
termasuk orang-orang yang merugi’.” (Al-A’raf: 23)
Dalam kalimat
ini terdapat pengakuan terhadap dosa yang telah dilakukannya dan meminta kepada
Rabb-nya dengan menampakkan sikap sangat butuh serta berharap maghfirah dan
rahmat-Nya. Maghfirah (permohonan ampun) adalah bentuk menghilangkan kesalahan,
sedangkan rahmat adalah menurunkan kebaikan. Ini berkenaan tentang menzalimi
diri sendiri, bukan menzalimi orang lain. Musa u juga mengatakan tatkala
menyebutkan seseorang yang tergolong dari musuhnya:
فَقَضَى
عَلَيْهِ قَالَ هَذَا مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ عَدُوٌّ مُّضِلٌّ مُّبِين
ٌقَالَ رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لِي فَغَفَرَ لَهُ إِنَّهُ هُوَ
الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Dan matilah
musuhnya itu. Musa berkata: ‘Ini adalah perbuatan setan, sesungguhnya setan
adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata (permusuhannya).’ Musa berdoa: ‘Ya
Rabbku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah
aku.’ Maka Allah mengampuninya, sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (Al-Qashash: 15-16)
Ia mengakui akan
perbuatannya yang menzalimi dirinya sendiri dari kejahatan yang ia lakukan
terhadap orang lain, yang ia tidak diperintah untuk melakukannya.Yunus u juga
mengatakan:
لاَ إلَهَ إلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ إنِّي كُنْتُ مِنَ
الظَّالِمِينَ
“Tidak ada Ilah
(yang berhak disembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku
termasuk orang-orang yang zalim.” (Al-Anbiya`: 87)
Dalam hadits
yang shahih disebutkan bahwa doa yang pernah Nabi n ajarkan kepada Abu Bakr z
agar berdoa dalam shalatnya:
اللَّهُمَّ إنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا
وَلاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إلاَّ أَنْتَ فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِك
وَارْحَمْنِي إنَّك أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Ya Allah,
sesungguhnya aku telah menzalimi diriku dengan kezaliman yang banyak dan tidak
ada yang mengampuni segala dosa kecuali Engkau, maka ampunilah aku dengan
ampunan dari sisi-Mu dan rahmatilah aku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (Muttafaq ‘alaihi)
Doa ini sesuai
dengan doa Nabi Adam u dalam hal mengakui kezaliman terhadap diri sendiri dan
meminta ampunan dan rahmat-Nya. Demikian pula Nabi n apabila telah berada di
atas kendaraannya, beliau mengucapkan hamdalah, tasbih dan takbir, lalu
berkata:
لاَ إلَهَ إلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَك ظَلَمْت نَفْسِي
فَاغْفِرْ لِي
“Tiada Ilah yang
berhak disembah kecuali Dia, Maha Suci Engkau. Aku telah menzalimi diriku
sendiri, maka ampunilah aku.”
Lalu beliau
tertawa.1 Hadits ini mahfuzh dari hadits Ali bin Abi Thalib z.
Jika demikian
halnya, maka kezaliman itu ada dua macam: Melalaikan al-haq dan melampaui
batas, sebagaimana yang telah saya terangkan bukan di satu tempat. Maka
meninggalkan kewajiban merupakan kezaliman, sebagaimana halnya melakukan
perkara haram juga kezaliman. (Majmu’ Al-Fatawa, 29/277-278)
Bertaubat dari Muamalah Riba
Al-Imam
Al-Qurthubi t berkata: “Para ulama kita berkata: Sesungguhnya cara bertaubat
dari orang yang di tangannya terdapat harta yang haram, jika dari hasil riba,
maka hendaklah dia kembalikan kepada yang telah dia ambil ribanya. Ia harus
mencari orang tersebut jika dia tidak mengetahui keberadaannya. Jika ia telah
putus asa (setelah berusaha keras) untuk menemukannya, maka hendaklah ia
sedekahkan harta tersebut atas nama orang itu. Jika ia mengambilnya dengan cara
zalim, maka hendaklah ia melakukan hal yang sama terhadap orang yang pernah
dizaliminya. Jika tersamarkan olehnya, sehingga dia tidak mengetahui berapa
jumlah harta yang haram dibanding yang halal yang ada di tangannya, maka
hendaklah ia berusaha mengetahui kadar apa yang ada di tangannya dari harta
yang harus dikembalikannya, sampai dia tidak ragu lagi bahwa apa yang tersisa
di tangannya telah bersih. Lalu dia kembalikan harta yang telah dia pisahkan
dari miliknya tersebut kepada orang yang pernah dia zalimi (hartanya) atau yang
dia ambil riba darinya. Jika telah putus asa dalam mencari orang tersebut, maka
dia bersedekah dengan harta tersebut atas nama orang itu.
Jika telah
menumpuk kezaliman yang ada dalam tanggungannya dan dia mengetahui bahwa dia
wajib mengembalikan sesuatu yang dia tidak mampu membayar selamanya karena
demikian banyak jumlahnya, maka cara bertaubatnya adalah dia melepaskan semua
apa yang ada di tangannya, baik kepada orang-orang miskin atau kepada sesuatu
yang mendatangkan kemaslahatan bagi kaum muslimin. Sampai tidak ada lagi yang
tertinggal di tangannya kecuali yang paling minimal berupa pakaian yang dapat
menutupinya dalam shalat. Yaitu yang menutup auratnya, antara pusar sampai
lututnya. Juga yang mencukupi kebutuhan makanannya dalam sehari, karena itulah
yang boleh baginya untuk dia mengambil dari harta orang lain dalam kondisi
darurat, walaupun orang yang diambil barangnya tersebut merasa benci.” (lihat
Tafsir Al-Qurthubi dalam menjelaskan ayat ini dalam permasalahan yang ke-36)
Masalah: Hukum pelaku riba yang meninggalkan harta
riba untuk ahli warisnya
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah t ditanya tentang seseorang yang bermuamalah dengan cara riba,
lalu meninggalkan harta dan seorang anak, dalam keadaan anak tersebut
mengetahui keadaan ayahnya. Apakah harta tersebut halal bagi anaknya sebagai
warisan atau tidak?
Maka beliau
menjawab:
“Adapun kadar
jumlah yang diketahui oleh si anak bahwa itu hasil riba maka hendaklah ia
keluarkan (dari harta warisan), dengan mengembalikan kepada para pemilik harta
tersebut jika memungkinkan. Jika tidak maka ia sedekahkan. Sedangkan yang
tersisa, tidak diharamkan atasnya. Namun pada kadar yang masih tersamarkan
(apakah termasuk bagian dari riba atau tidak, pen.), disukai baginya untuk
meninggalkannya. Jika tidak, wajib untuk diarahkan guna melunasi hutang atau
menafkahi keluarga. Dan jika sang ayah memperolehnya dengan cara muamalah riba
yang dibolehkan oleh sebagian para ahli fiqih, maka boleh bagi ahli waris
tersebut untuk memanfaatkannya. Jika bercampur antara harta yang halal dan yang
haram sementara tidak diketahui kadar masing-masing darinya, maka dia
membaginya menjadi dua bagian.” (Majmu’ Al-Fatawa, 29/307)
Demikian pula
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz t, pernah ditanya tentang seseorang yang
meninggal yang di masa hidupnya dia bermuamalah dengan cara riba. Apakah ada
cara yang syar’i bagi kerabatnya yang hidup dan ingin menebus dosanya yang
meninggal?
Beliau menjawab:
“Disyariatkan bagi ahli warisnya agar menentukan secara teliti kadar yang masuk
ke dalam hartanya dari hasil riba lalu dia sedekahkan atas nama yang meninggal
dan mendoakannya dengan maghfirah dan ampunan.” (lihat Al-Fatawa Al-Islamiyyah,
2/hal. 387, yang disusun oleh Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad)
Catatan Kaki:
1 Yang dimaksud
tertawa disini adalah tersenyum, sebagaimana yang disebutkan oleh Aisyah x
dalam riwayat Al-Bukhari dalam Shahih-nya, Kitabul Adab, Bab At-tabassum wadh
dhahik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar