Sistem Murabahah
Nov 16, 2011 |
Asy Syariah Edisi 029 |
(ditulis oleh:
Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin)
Di antara sistem
akad jual beli yang cukup banyak ditemukan pada bank-bank adalah apa yang
mereka sebut dengan istilah murabahah. Sistem transaksi ini sering dijumpai di
bank-bank yang mengatasnamakan dirinya “Bank Islam.” Banyak kaum muslimin yang
terlena dengan embel-embel Syariah atau nama-nama berbahasa Arab pada
produk-produknya. Sehingga jarang di antara mereka yang memerhatikan atau
mempertanyakan dengan seksama sistem transaksi yang terjadi.
Maka menerangkan
masalah seperti ini dipandang lebih wajib daripada sistem-sistem riba yang
berlaku di bank-bank konvensional, sebab amat sedikit kaum muslimin yang
mengetahuinya.
Istilah tersebut
di atas sesungguhnya telah ada dan diulas oleh para ahli fiqih sejak dahulu.
Namun kini istilah tersebut dipakai untuk sebuah hakekat permasalahan yang
tidak sama dengan apa yang dahulu mereka ulas. Di kalangan ahli fiqih dikenal
sebuah transaksi dengan istilah “jual beli amanah.” Disebut demikian karena
seorang penjual wajib jujur dalam menyebutkan harga sebuah barang kepada
seorang pembeli.
Transaksi ini
ada 3 jenis:
1. Murabahah
Gambarannya
adalah ‘Amr –misalkan– membeli HP seharga Rp. 500 ribu lalu dia jual dengan
keuntungan Rp. 100 ribu –misalkan–.
2. Wadhi’ah.
Gambarannya
adalah seseorang membeli sepeda seharga Rp. 1.000.000,- kemudian karena
terdesak kebutuhan, maka dijualnya dengan harga Rp. 900.000,-
3. Tauliyah
Gambarannya
adalah seseorang membeli barang seharga Rp. 10.000,- lalu dijual dengan harga
yang sama.
Transaksi-transaksi
di atas diperboleh-kan dengan kesepakatan para ulama, kecuali poin satu
(murabahah) di mana sebagian kecil ulama memakruhkannya. Namun yang rajih
adalah boleh dan ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Adapun sistem
murabahah yang terjadi di bank-bank “Islami”, gambarannya sebagai berikut:
1. Calon pembeli datang ke bank, dia berkata
kepada pihak bank: “Saya bermaksud membeli mobil X yang dijual di dealer A
dengan harga Rp. 90 juta. Pihak bank lalu menulis akad jual beli mobil tersebut
dengan pemohon, dengan mengatakan: “Kami jual mobil tersebut kepada anda dengan
harga Rp. 100 juta, dengan tempo 3 tahun.” Selanjutnya bank menyerahkan uang
Rp. 90 juta kepada pemohon dan berkata: “Silahkan datang ke dealer A dan beli
mobil tersebut.”
Transaksi di
atas dilakukan di kantor bank.
2. Sama dengan gambaran pertama, hanya saja
pihak bank menelpon showroom dan berkata “Kami membeli mobil X dari anda.”
Selanjutnya pembayarannya dilakukan via transfer, lalu pihak bank berkata
kepada pemohon: “Silahkan anda datang ke showroom tersebut dan ambil mobilnya.”
Hukum transaksi
ini adalah haram sebab pihak bank menjual sesuatu yang belum dia terima.
3. Sama dengan gambaran sebelum-nya, hanya
saja pihak bank datang langsung ke showroom membeli mobil tersebut dan berkata
kepada pihak showroom: “Berikan mobil ini kepada si fulan (pemohon).”
Sementara, akad
jual beli dengan tambahan keuntungan antara pihak bank dan pemohon sudah purna
sebelum pihak bank berangkat ke showroom.
Hukum transaksi
inipun haram, sebab pihak bank menjual sesuatu yang tidak dia miliki.
Hakekat akad ini
adalah pihak bank menjual nominal harga barang (90 juta) dibayar dengan nominal
harga jual (100 juta) dengan formalitas sebuah mobil, dan ini adalah riba
fadhl.
4. Sama dengan yang sebelumnya, hanya saja
pihak bank datang ke showroom membeli mobil tersebut dan berkata: “Biarkan
mobil ini di sini sebagai titipan.” Lalu pihak bank mendatangi pemohon dan
mengatakan: “Pergi dan ambil mobil tersebut di showroom.”
Hukum akad ini
juga haram, sebab Rasulullah n melarang jual beli barang hingga barang tersebut
dipindahkan oleh sang pedagang ke tempat mereka sendiri. Maka transaksi di atas
termasuk menjual sesuatu yang belum diterima.
5. Seorang pemohon datang ke bank dan dia
butuh sebuah barang, maka pihak bank mengatakan: “Kami akan mengusahakan barang
tersebut.” Bisa jadi sudah ada kesepakatan tentang keuntungan bagi pihak bank,
mungkin pula belum terjadi. Lalu pihak bank datang ke toko dan membeli barang
selanjutnya dibawa ke halaman bank, kemudian terjadilah transaksi antara
pemohon dan pihak bank.
Pada akad di
atas, pihak bank telah memiliki barang tersebut dan tidak dijual kecuali
setelah dipindahkan dan dia terima barang tersebut. Hukum transaksi ini
dirinci:
– bila akadnya dalam bentuk keha-rusan (tidak
bisa dibatalkan) maka haram, karena termasuk menjual sesuatu yang tidak dia
miliki.
– bila akadnya tidak dalam bentuk keharusan
dan bisa dibatalkan oleh pihak penjual atau pembeli, maka masalah ini ada
khilaf di kalangan ulama masa kini:
a. Mayoritas ulama sekarang membo-lehkan
transaksi tersebut, sebab tidak me-ngandung pelanggaran-pelanggaran syar’i. Ini
adalah fatwa Asy-Syaikh Ibnu Ibn Baz, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan dan Al-Lajnah
Ad-Da`imah.
b. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mela-rang
transaksi ini dengan alasan bahwa akad tersebut adalah tipu daya menuju riba,
dan beliau memasukkan akad ini ke dalam sistem ‘inah bahkan lebih parah lagi.
Hakekatnya
adalah pinjam meminjam uang dengan bunga, di tengah-tengahnya ada sebuah barang
sebagai formalitas. Kenyataan yang ada, pihak bank sendiri tidak akan mau
dengan cara ini. Dia pasti membuat perjanjian-perjanjian, saksi-saksi, dan
jaminan-jaminan atas barang tersebut.
Gambaran kelima
di atas hampir tidak dijumpai di bank-bank yang ada, kecuali dengan bentuk
keharusan (tidak bisa dibatalkan).
Maka transaksi
di atas juga tidak diperbolehkan dan kita harus berhati-hati dari sistem-sistem
yang diberlakukan oleh bank manapun. Wallahu a’lam bish-shawab. (Syarhul Buyu’,
hal. 90 -92)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar