Jual Beli Dalam Sistem Dropship
Jan 31, 2017 | Asy Syariah Edisi 111, Kajian Utama |
Jual Beli Dalam Sistem Dropship
Dropship adalah sistem berjualan yang Anda tidak perlu
memiliki produk untuk dipasarkan, tetapi cukup mempromosikan lewat internet
messenger, website, atau media sosial. Jika ada pemesanan, pembeli mentransfer
uang ke rekening Anda. Anda menghubungi dan mentransfer uang ke supplier untuk
mengirimkan barang ke alamat pembeli Anda.
Ciri khas sistem dropship adalah supplier akan
mengirimkan paket dengan identitas pengirim atas nama Anda. Seolah-olah memang
Anda yang berjualan dan memiliki barang.
Dari penjelasan tentang sistem jual beli dropship di
atas, sekilas kami melihat paling tidak ada dua cacat dari sisi syariat.
Penjual
berpenampilan seolah-olah sebagai pemilik barang.
Padahal dia bukan pemiliknya dan bahkan barang
tersebut tidak bersamanya. Pembeli menganggapnya sebagai pemilik barang.
Transaksi terjadi atas nama pembeli dan penjual tersebut.
Hal ini bertentangan dengan sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang penuh hikmah,
وَلاَ تَبِعْ مَا
لَيْسَ عِنْدَكَ
“Jangan
kamu jual sesuatu yang bukan milikmu.” (HR. Ahmad)
Sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini jelas hikmahnya. Di antaranya untuk
menghindari penyebab pertikaian antara penjual dan pembeli. Sebab, ketika
seorang menjual barang yang bukan miliknya, bisa jadi barang tidak sesuai yang
diinginkan, bahkan ditipu. Bagaimana dia mau menjual kepada orang lain?
Barang langsung dikirimkan oleh pemilik
barang atau supplier kepada pembeli, tanpa melalui penjual.
Padahal
antara penjual dan pemilik barang hakikatnya juga terjadi transaksi jual beli.
Pada kenyataannya, ada dua transaksi. Transaksi pertama adalah antara pemilik
barang dan penjual. Transaksi kedua adalah antara penjual dan pembeli.
Dalam
kondisi seperti ini, mestinya ketika membeli dari pemilik barang pertama atau
produsen, penjual tidak boleh menjualnya lagi sampai dia menguasai terlebih
dahulu barang tersebut. Diistilahkan dalam syariat dengan istilah qabdh.
Setelah itu, boleh dia kirim ke pembeli. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
إِذَا ابْتَعْتَ طَعَامًا، فَلاَ تَبِعْهُ
حَتَّى تَسْتَوْفِيَهُ
“Apabila
kamu membeli makanan, jangan kamu menjualnya sampai kamu menguasainya.” ( HR.
Muslim dari Jabir radhiallahu ‘anhu)
Walaupun
hadits ini berbicara tentang membeli makanan, secara hukum dan hikmah berlaku
pula pada barang lain.
Hikmahnya
jelas. Di antaranya demi menjaga hak pembeli dan nama baik si penjual,
menghilangkan sebab pertikaian, dan terhindar dari kerugian atau penipuan
sehingga terjamin jual beli yang aman dan nyaman.
Penjual
tetap terjaga nama baiknya karena dia menjual barang setelah diterima,
diperiksa, dan dipastikan kualitasnya. Pembeli juga tidak rugi karena mendapat
barang yang kualitasnya terjamin dan sesuai spesifikasi.
Dengan
dua cacat pada transaksi dropship, penjualan dengan sistem tersebut tidak
diperbolehkan.
Solusi
Usulan
solusi, “penjual “ mestinya memposisikan dirinya sebagai wakil produsen. Dengan
transparan, dia menampilkan dirinya sebagai wakil penjual, bukan pemilik
barang. Dia menawarkan berbagai produk sebagai wakil penjual atau wakil
pembeli.
Ketika
ada pesanan, dia menghubungi pihak pemilik barang untuk mengirimkan ke pembeli.
Dia dapat menyepakati komisi penjualan dengan pemilik barang.
Dalam
proses semacam ini hanya ada satu transaksi, yaitu antara pemilik barang dan
pembeli. “Penjual” hanya sebagai wakil. Dengan demikian, barang dapat langsung
dikirimkan kepada pembeli. Dia terlepas dari larangan menjual sesuatu yang
bukan miliknya.
Wallahu
a’lam.
Ditulis
oleh al-Ustadz Qomar Suaidi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar