Makelar dalam Jual Beli
Jun 21, 2015 | Asy Syariah Edisi 098, Problema Anda |
Makelar dalam Jual Beli
Bismilah. Saya mau bertanya tentang permasalahan
seputar jual beli.
Jual beli
yang dikenal dengan istilah “belantik”, caranya menjualkan barang dari pemilik
barang kepada pembeli.
Contohnya, A berniat menjual sepeda seharga Rp50.000,
lalu saya menjualkan sepeda A kepada B sebagai pembeli dengan penawaran harga Rp100.000.
Si B membayar sepeda tersebut Rp100.000 kepada saya. Lalu saya bayarkan
Rp50.000 kepada A dan saya mendapat keuntungan Rp50.000 dari hasil menjualkan
sepeda A tersebut. Pertanyaannya, apakah jual beli yang saya lakukan tersebut
sesuai dengan syariat?
Saya
menitipkan dagangan kepada pemilik toko untuk dijualkan.
Caranya, saya titip barang ke toko dengan harga
Rp.1.000, lalu terserah toko, barang tersebut akan dijual dengan harga berapa.
Yang penting, jika barang terjual, toko membayar Rp.1.000 kepada saya, sesuai
dengan harga yang saya tetapkan.
Bolehkah jual beli seperti ini? Saya mohon
penjelasannya, karena saya berdagang dengan cara seperti ini. Saya khawatir
terjatuh ke dalam jual beli yang diharamkan.
Abu Abdul Aziz—Lampung
handshake
Dijawab oleh al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc.
Sistem jual beli yang ditanyakan hukumnya boleh. Hal
ini dikenal dalam syariat dengan istilah samsarah atau makelaran. Akan tetapi,
pada contoh yang pertama, makelar harus mendapat izin dari pemilik barang untuk
mengambil keuntungan sekehendaknya (tentunya dalam batas kewajaran).
Makelaran disebut dalam bahasa Arab samsarah atau
dallalah. Pelakunya atau makelar disebut simsar atau dallal. Upahnya dinamai
ujratu samsarah atau as-sa’yu, atau al-ju’’azza wa jalla atau ad-dallalah.
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), yang
dimaksud makelar adalah perantara antara penjual dan pembeli. Disebut pula
broker, makelar, cengkau, dan pialang.
Kriteria Seorang Makelar
Seorang makelar harus memiliki kriteria sebagai
berikut.
Berpengalaman menjual barang dagangan tersebut dan tentang barangnya.
Hal ini supaya dia tidak membuat kecewa atau merugikan
penjual atau pembeli.
Jujur dan
amanah.
Tidak
berbasa-basi dengan salah satu pihak, sehingga dia menerangkan kelebihan dan
kekurangan barang tersebut apa adanya.
Tidak menipu
pihak manapun.
Upah Makelar
Para ulama membolehkan upah makelar. Al-Imam Malik
pernah ditanya tentang upah makelar, beliau menjawab tidak mengapa.
Al-Imam al-Bukhari menyebutkan sebuah bab dalam kitab
Shahih al-Bukhari, “Bab Upah Makelar”.
Ibnu Sirin, Atha’, Ibrahim (an-Nakha’i), dan al-Hasan
(al-Bashri) memandang bolehnya upah bagi makelar.
Ibnu Abbas mengatakan, “Seseorang boleh mengatakan,
‘Juallah pakaian ini. Apa yang lebih dari (harga) sekian dan sekian, itu
untukmu’.”
Ibnu Sirin mengatakan, “Jika seseorang mengatakan,
‘Juallah barang ini dengan harga sekian, dan keuntungan selebihnya untukmu—atau
kita bagi dua,’ hal ini boleh saja. Sebab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
الْمُسْلِمُونَ
عِنْدَ شُرُوطِهِمْ…
”Kaum
muslimin itu sesuai dengan syarat-syarat mereka.”
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ نَهَى رَسُولُ اللهِ
، أَنْ يُتَلَقَّى الرُّكْبَانُ، وَلاَ يَبِيعَ حَاضِرٌ لِبَادٍ. قُلْتُ: يَا
ابْنَ عَبَّاسٍ، مَا قَوْلُهُ لاَ يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ. قَالَ: لاَ يَكُونُ
لَهُ سِمْسَارًا
Dari Ibnu
Abbas, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk menghadang
rombongan pedagang (yakni sebelum sampai pasar) dan melarang orang yang di kota
menjualkan barang milik orang yang datang dari pedesaan.”
Aku
(perawi) mengatakan, “Wahai Ibnu Abbas, apa maksudnya ‘orang yang di kota tidak
boleh menjualkan barang orang yang datang dari pedesaan’?”
Beliau menjawab,
“Tidak menjadi makelar bagi mereka.”
Sisi
pendalilan dari hadits di atas adalah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang orang kota menjualkan (barang) orang desa yang datang ke kota, berarti
selain itu adalah boleh. Orang kota menjualkan (barang) orang kota, orang desa
menjualkan (barang) orang desa, atau orang desa menjualkan (barang) orang kota.
Lihat keterangan yang semakna dengan ini pada Fathul Bari karya Ibnu Hajar.
Ibnu
Qudamah mengatakan, “Seseorang boleh menyewa makelar untuk membeli pakaian.
Ibnu Sirin, Atha’, dan an-Nakha’i membolehkan hal itu…
(Makelar)
boleh diberi waktu tertentu, seperti sepuluh hari, selama itu dia membelikan
barang, karena waktu dan pekerjaannya diketahui…
Apabila
pekerjaannya saja yang ditentukan, tetapi waktunya tidak, dan ditetapkan bahwa
dari setiap 1.000 dirham dia mendapat nominal tertentu, ini juga sah saja.
Apabila seseorang menyewa (makelar) untuk menjualkan pakaian, itu juga sah.
Pendapat
ini yang dipegang oleh al-Imam asy-Syafi’i, karena itu adalah pekerjaan mubah
yang boleh diwakilkan dan sesuatu yang telah diketahui. Maka dari itu,
diperbolehkan pula akad sewamenyewa padanya, seperti pembelian baju.”
Al-Lajnah ad-Daimah ditanya tentang masalah
berikut. Seorang pemilik kantor perdagangan bertindak sebagai perantara bagi
perusahaan tertentu untuk memasarkan produknya. Perusahaan tersebut mengirimkan
sampel kepadanya untuk dia tawarkan kepada para pedagang di pasar. Dia kemudian
menjual produk tersebut kepada konsumen dengan harga yang ditetapkan perusahaan
tersebut. Dia mendapatkan upah yang telah dia sepakati dengan perusahaan
tersebut. Apakah dia berdosa dengan pekerjaan ini?
Al-Lajnah
ad-Daimah menjawab bahwa apabila kenyataannya seperti yang disebutkan, ia boleh
mengambil upah tersebut dan tidak ada dosa padanya.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz pernah
ditanya tentang hukum seseorang mencarikan toko atau apartemen (untuk orang
lain) dan mendapatkan imbalan untuk itu.
Beliau
menjawab bahwa hal itu tidak mengapa. Ini adalah imbalan yang disebut as-sa’yu.
Hendaknya orang itu bersungguh-sungguh mencarikan tempat yang sesuai dengan
permintaan orang yang hendak menyewanya. Apabila dia membantunya dan mencarikan
tempat yang sesuai dengan permintaannya, lalu dia membantu mewujudkan kesepakatan
antara penyewa dan pemiliknya, dan disepakati pula upahnya, semua ini tidak
mengapa, insya Allah.
Akan
tetapi, hal ini dengan syarat tidak ada pengkhianatan dan penipuan, tetapi yang
ada adalah amanah dan kejujuran. Apabila dia jujur dan amanah ketika mencarikan
apa yang diminta (calon penyewa), tanpa menipu dan menzalimi (calon penyewa)
atau pemilik toko/apartemen, dia berada dalam kebaikan, insya Allah.
Ibnu Qudamah mengatakan, “Perwakilan
diperbolehkan, baik dengan upah maupun tidak. Sebab, Nabi mewakilkan kepada
sahabat Unais untuk melaksanakan hukuman had, dan mewakilkan kepada sahabat
Urwah dalam hal pembelian kambing, tanpa upah. Beliau juga pernah mengutus para
pegawai untuk mengambil zakat lalu memberi upah kepada mereka. Oleh karena itu,
kedua anak paman beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Seandainya saja Anda mengutus kami untuk
mengambil zakat sehingga kami tunaikan kepada Anda sebagaimana manusia
menunaikannya kepada Anda, dan kami mendapatkan sesuatu sebagaimana orang juga
mendapatkannya—yakni mendapat upah’.” (HR . Muslim)
Maka dari
itu, jika seseorang dijadikan wakil dalam penjualan dan pembelian, dia berhak
mendapatkan upah jika melakukannya.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan,
“Tidak mengapa menjadi makelar untuk penjual atau pedagang. Persyaratan upah
tersebut boleh.” (Fatawa Ibni Baz)
Al-Lajnah ad-Daimah pernah ditanya, “Banyak
perdebatan tentang rasio upah yang diperoleh oleh makelar. Ada yang mengatakan
2,5%, ada yang mengatakan 5%. Berapakah sebenarnya upah yang syar’i bagi
makelar? Ataukah hal itu tergantung kesepakatan antara penjual dan pembeli?”
Berikut
ini jawaban al-Lajnah ad- Daimah.
Apabila
terjadi kesepakatan antara makelar, penjual, dan pembeli, apakah makelar
mengambil upah dari pembeli, atau dari penjual, atau dari keduanya, upah yang
diketahui ukurannya maka hal itu boleh saja. Tidak ada batasan atau prosentase
upah tertentu.
Kesepakatan
yang terjadi dan saling ridha tentang siapakah yang akan memberikan upah, hal
itu boleh. Akan tetapi, semestinya itu semua sesuai dengan batasan kebiasaan
yang berjalan di tengah masyarakat tentang upah yang didapatkan oleh makelar
dapat imbalan pekerjaannya yang menjadi perantara antara penjual dan pembeli.
Selain itu, tidak boleh ada mudarat atas penjual maupun pembeli dengan upah
yang melebihi kebiasaan. (Fatawa al-Lajnah)
Apabila
prosentase upah itu dari laba, bukan dari harga penjualan, para fuqaha mazhab
Hanbali membolehkannya, dan itu menyerupai mudharabah. (Kasysyaful Qana’
[3/615], Mathalib Ulin Nuha [3/542], sebagian kutipan diambil dari Fatawa Islam
Sual wa Jawab)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar