Jual Beli Sesuai Tuntunan Nabi
( Al-Ustadz Muhammad Afifuddin )
Nov 16, 2011 | Asy Syariah Edisi 025 |
(ditulis oleh: Al-Ustadz Muhammad Afifuddin)
Salah satu bentuk interaksi antar manusia yang paling
sering dijumpai adalah jual beli. Oleh karena itulah, Islam mengatur ini semua
agar terwujud tatanan kehidupan yang sarat dengan keadilan.
Termasuk rahmat Allah I kepada segenap umat manusia
adalah dihalal-kannya jual beli di kalangan mereka dalam rangka melestarikan
komunitas Bani Adam hingga hari penghabisan. Serta melanggeng-kan hubungan
antar mereka sebagai makhluk yang membutuhkan orang lain. Lalu bagaimanakah
jual beli yang sesuai petunjuk Nabi n itu?
Secara global, kajian berikut akan mengupas
pokok-pokok kaidah dalam masalah ini disertai beberapa rincian seperlunya.
Wallahul muwaffiq lish-shawab.
Definisi(Jual Beli)
Secara bahasa adalah pertukaran harta dengan harta.
Secara syariat, makna
(bai’) telah disebutkan beberapa definisinya oleh para fuqaha (ahli
fiqh). Definisi terbaik adalah: Pertukaran/pemilikan harta dengan harta
berdasarkan saling ridha melalui cara yang syar’i. (Syarah Buyu’, hal. 1)
Hukum Jual Beli
Hukum asal jual beli adalah halal dan boleh, hingga
ada dalil yang menjelaskan keharamannya. Dalil kebolehannya adalah Al-Qur`an, hadits,
dan ijma’ ulama.
Dalil dari Al-Qur`an di antaranya firman Allah I:
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba…” (Al-Baqarah: 275)
Adapun hadits, di antaranya sabda Rasulullah n:
“Sesungguhnya jual beli itu dengan sama-sama ridha.” (HR.
Ibnu Majah no. 2185, dari Abu Sa’id Al-Khudri z,, dari jalan Abdul ‘Aziz bin
Muhammad, dari Dawud bin Shalih Al-Madani, dari ayahnya, dari Abu Sa’id.
Sanadnya shahih, lihat Al-Irwa` 1283)
Para ulama di sepanjang masa dan di belahan dunia
manapun telah sepakat tentang bolehnya jual beli. Bahkan ini merupakan
kesepakatan segenap umat, sebagaimana dinukil oleh Al-Imam An-Nawawi.
Syarat-syarat Jual Beli
Jual beli dianggap sah secara syar’i bila memenuhi
beberapa persyaratan berikut:
1. Keridhaan
kedua belah pihak (penjual dan pembeli).
2. Yang
melakukan akad jual beli adalah orang yang memang diperkenankan menangani
urusan ini.
3. Barang
yang diperjualbelikan harus halal dan ada unsur kemanfaatan yang mubah.
4. Barang
yang diperjualbelikan dapat diserahterimakan.
5. Akad jual
beli dilakukan oleh pemilik barang atau yang menggantikan kedudukannya (yang
diberi kuasa).
6. Barang
yang diperjualbelikan ma’lum (diketahui) dzatnya, baik dengan cara dilihat atau
dengan sifat dan kriteria (spesifikasi)-nya.
Masing-masing syarat di atas mengan-dung sekian banyak
permasalahan yang terkaitan dengan jual beli. Jika dirinci, akan diketahui mana
mekanisme yang diperboleh-kan dan mana yang terlarang secara syar’i. Bila telah
tuntas uraiannya, yang tersisa hanya beberapa bab saja dalam masalah jual beli,
seperti bab Khiyarat dan Riba.
Karena keterbatasan lembar majalah ini, maka akan kami
uraikan seperlunya dan kami sebutkan masalah-masalah yang masyhur saja, bi
idznillahi ta’ala (dengan izin Allah I).
SYARAT PERTAMA
Keridhaan Kedua Belah Pihak
Dalil persyaratan ini disebutkan dalam firman Allah I:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kailan saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali de-ngan jalan
perniagaan yang berlaku dengan saling ridha di antara kalian.” (An-Nisa`: 29)
Juga dalam sabda Rasulullah n:
“Sesungguhnya jual beli itu dengan keridhaan.”
Akal yang sehatpun menerima persyaratan ini. Karena
jika tidak ada persyaratan ini, maka masing-masing orang akan saling mendzalimi
dan bertindak melampaui batas terhadap orang lain.
q Masalah 1:
Jual beli orang yang dipaksa
Jumhur ulama berpendapat bahwa jual beli orang yang
dipaksa hukumnya tidak sah. Mereka berhujjah dengan ayat dan hadits di atas,
juga dengan hadits berikut:
“Sesungguhnya Allah I memaafkan dari umatku tindakan
kesalahan, kealpaan, dan keterpaksaan.” (HR. Ibnu Majah 2045 dan Al-Baihaqi
dalam Al-Kubra 7/356-357 dari Ibnu ‘Abbas c dengan sanad hasan karena banyak
penguatnya. Lihat Nashbur Rayah, 4/64-66, dan Al-Maqashidul Hasanah hal.
369-371, no. 528)
Termasuk faedah dalam bab ini adalah jual beli
seseorang karena malu, sebab tidak terwujud persyaratan keridhaan padanya.
qMasalah 2:
Jual beli orang yang bergurau
Misalnya, ada orang bergurau dengan orang lain, dia
berkata: “Saya jual mobilku kepadamu dengan harga Rp. 500 ribu.” Jual beli
seperti ini tidak sah, karena tidak ada niatan jual beli dan juga tidak ada
keridhaan dari sang penjual.
Kita bisa mengetahui sang penjual sedang bergurau
dengan qarinah (tanda/bukti-bukti). Bila tidak ada tanda-tanda gurauan, maka
jual belinya sah. Sang penjual harus bisa mendatangkan bukti-bukti yang kuat
bahwa dia tengah bergurau.
q Masalah 3:
Jual beli dengan orang yang tengah membutuhkan (uang)
Ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang
masalah ini:
1. Jumhur
ulama berpendapat, jual beli seperti ini sah namun makruh. Sebab, umumnya orang
yang sedang butuh akan menjual barangnya dengan harga murah.
2. Al-Imam
Ahmad, dikuatkan oleh Al-Imam Asy-Syaukani, berpendapat, haram hukumnya jual
beli dengan orang yang sedang butuh. Beliau berhujjah dengan hadits:
“Rasulullah n melarang jual beli orang yang sedang
butuh.”
3. Syaikhul
Islam (Ibnu Taimiyyah) berpendapat, jual belinya sah tanpa ada hukum makruh.
Sebab, jika dilarang mem-beli barang orang yang tengah membutuh-kan tadi,
justru akan menambah mudharat (kesusahan) bagi yang bersangkutan.
Yang rajih (pendapat yang kuat), insya Allah, adalah
pendapat Ibnu Taimiyyah. Karena, hadits yang dijadikan hujjah untuk melarang
sanadnya dha’if. Hadits itu diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur, Abu Dawud dan
Al-Baihaqi, dari jalan seorang syaikh dari Bani Tamim, dari ‘Ali bin Abi
Thalibz.
Sanad ini di-dha’if-kan karena tidak diketahui siapa
syaikh di atas. Meski ada penguat lain dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yamanz,
yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur, namun dalam sanadnya ada perawi yang
bernama Kautsar bin Hakim, di mana dia matruk (ditinggalkan hadits–nya).
Sanadnya juga terputus antara Makhul dan Hudzaifah. Wallahu a’lam.
Ijab
Qabul dalam Jual Beli
Termasuk
dalam persyaratan pertama ini adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan ijab
qabul. Ijab adalah ucapan penjual: “Saya jual”, sedangkan qabul adalah ucapan
pembeli: “Saya terima.”
q Masalah
4:
Apakah
disyaratkan lafadz-lafadz tertentu dalam jual beli?
Ada
perbedaan pendapat di kalangan ulama:
1.
Pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i dan satu pendapat dalam madzhab Ahmad: Tidak sah
jual beli kecuali dengan lafadz ijab dan qabul. Mereka beralasan bahwa ridha
adalah perkara batin, dan kita tidak mungkin tahu adanya keridhaan dengan
semata-mata perbuatan tanpa lafadz. Diamnya sang penjual terkadang karena
kelalaiannya, dianggap akadnya main-main, atau diam untuk melihat sejauh mana
sang pembeli mematok harganya.
Yang
mendekati pendapat ini adalah pendapat Ibnu Hazm: Tidak sah kecuali dengan
lafadz “Saya jual” atau “Saya beli”.
2.
Pendapat Abu Hanifah, satu pendapat dalam madzhab Ahmad, dan satu sisi pendapat
Syafi’iyah: Jual belinya tetap sah dengan tindakan tanpa lafadz tertentu dalam
perkara-perkara yang sering terjadi padanya jual beli, dengan ketentuan
barangnya remeh, tidak besar, atau mahal.
Menurut
mereka, jual beli barang yang besar atau mahal tidak sah kecuali dengan lafadz
ijab dan qabul.
3.
Pendapat Malik, Ahmad, sejumlah ahli tahqiq dari kalangan Syafi’iyah, seperti
Ar-Ruyani. Pendapat ini juga dikuatkan oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim,
Ash-Shan’ani, dan Asy-Syaukani: Jual beli sah dengan apa saja yang dianggap
oleh masyarakat sebagai jual beli, baik dengan lafadz atau dengan perbuatan.
Pendapat
inilah yang rajih, sebab masalah ini tidak ditentukan batasannya secara syar’i
atau bahasa Arab. Sehingga dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat setempat.
Kaidah umum menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak ditentukan batasannya
secara syar’i atau bahasa, maka dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat.
q Masalah
5:
Bila
masalah di atas telah dipahami, jual beli mu’athah yang disebutkan dalam
kitab-kitab fiqh adalah sah.
Gambaran
mu’athah adalah: Pembeli memberikan uang kepada penjual dan mengambil barang
tanpa lafadz ijab qabul.
Mu’athah
ini bisa dari sang penjual. Misalnya, pembeli berkata: “Apakah kamu menjual
barang ini kepadaku dengan harga sekian?” Lalu penjual memberikan barang-nya
tanpa mengucapkan lafadz: “Saya terima.”
Mu’athah
juga bisa dari sang pembeli. Misalnya, sang penjual berkata: “Maukah kamu
membeli barang ini dengan harga sekian?” Lalu sang pembeli mengeluarkan uang
dan mengambil barang tadi tanpa lafadz ijab qabul.
q Masalah
6:
Bila sang
pembeli berkata kepada penjual dalam bentuk pertanyaan: “Apakah engkau menjual
barangmu ini?” Lalu penjual mengatakan: “Saya terima.”
Tidak ada
perbedaan pendapat di kalangan para ulama bahwa akad ini tidak sah, karena
tidak diketahui keridhaan sang pembeli. Demikian yang dinukilkan Ibnu Qudamah
dan yang lainnya.
q Masalah
7:
Jual beli
dalam bentuk janji
Misalnya,
sang penjual berkata: “Maukah engkau membeli barang ini dengan harga sekian?”
Pembeli berkata: “Nanti akan saya beli.”
Janji
seperti ini tidak dianggap sebagai akad jual beli, bagaimanapun bentuknya.
Penjual tidak diharuskan menyimpan barang tadi (artinya dia boleh menjualnya
kepada orang lain). Pembeli pun tidak diharuskan membeli barang tadi, walaupun
telah menyerahkan DP (downpayment-, persekot/uang muka). Wallahu a’lam.
Jual Beli
Menggunakan Alat-alat Modern Masa Kini
Termasuk
dalam bab ini adalah jual beli dengan piranti masa kini.
q Masalah
8:
Jual beli
lewat telepon
Al-Imam
An-Nawawi t pernah menyebutkan satu masalah: Jika ada dua orang yang saling berbicara
dari tempat jauh, satu sama lain tidak saling melihat, yang terdengar hanyalah
suaranya saja dan pembicaraannya adalah masalah akad jual beli, maka akadnya
adalah sah.
Demikian
pula lewat telepon. Dengan syarat, aman dari penipuan suara. Jika terjadi
penipuan, maka dikembalikan kepada kaidah-kaidah umum jual beli.
q Masalah
9:
Jual beli
lewat telegram, faksimili, atau Short Message Service (SMS)
masalah
ini masuk dalam permasa-lahan jual beli lewat tulisan yang diper-bincangkan
para fuqaha.
1. Kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah
berpendapat tidak boleh. Karena adanya kemungkinan penipuan, kecuali bagi yang
tidak mampu seperti orang bisu.
2. Kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan pendapat
sejumlah ahli tahqiq dari kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah, bahwa jual belinya
tetap sah, bila kedua belah pihak saling mempercayai dan aman dari penipuan.
Umumnya, alat-alat ini sendiri terpercaya di kalangan masyarakat.
Pendapat
inilah yang rajih (kuat). Karena yang dimaksud dalam jual beli adalah
keridhaan. Dan keridhaan bisa dengan lafadz atau perbuatan, seperti tulisan.
Allah I memerintahkan kita untuk menulis hutang piutang dan mendahulukan
tulisan daripada gadai, dalam firman-Nya:
“Jika
kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedangkan kalian
tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang (oleh yang berpiutang).” (Al-Baqarah: 283)
Perhatian:
Ini semua dengan satu syarat penting, yakni barang-barang yang dibeli tidak
termasuk barang-barang yang disyaratkan harus diserahterimakan di tempat.
Pembahasan masalah ini, insya’ Allah, dalam bab Riba.
Faedah:
Saya (penulis) pernah bertanya kepada Syaikhuna (guru saya) Abu Abdillah
Abdurrahman Mar’i Al-’Adani hafizhahu-llahu wa syafaahu sewaktu di Yaman, di
Masjid Mazra’ah perumahan keluarga di Dammaj, tentang masalah jual beli lewat
internet (secara on line). Beliau menjawab (secara makna): “Tidak apa-apa,
selama barang yang dibeli tersebut tidak termasuk barang yang harus
diserah-terimakan di tempat.”
Wallahu
a’lam.
SYARAT
KEDUA
Orang
yang melakukan akad adalah orang yang diperbolehkan menangani urusan tersebut
dalam hal
ini adalah seorang yang berakal dan baligh. Dengan syarat ini, ada beberapa
orang yang diperbincangkan para ulama tentang akad jual beli mereka. Di
antaranya adalah:
1. Orang
Gila
Para
ulama telah sepakat bahwa akad jual beli orang gila tidaklah sah. Demikian pula
orang yang sedang pingsan, dengan dasar hadits:
“Pena
(takdir) diangkat dari 3 orang….”
Namun
bila penyakit gilanya tidak menentu (kadang kambuh, kadang normal), maka di
saat gila, tidak sah akad jual belinya. Dan di saat dia sadar, maka akadnya
sah.
2. Orang
yang sedang Mabuk
Ada dua
keadaan:
a. Mabuk secara menyeluruh (hilang ingatan)
ada
perbedaan pendapat di kalangan para ulama:
– Jumhur ulama berpendapat, tidak sah jual
belinya, karena hilang ingatan dan akalnya.
– Kalangan Hanafiyah, Syafi’iyah dan satu
riwayat dari Ahmad berpendapat sah, sebagai hukuman atasnya. Mereka juga
beralasan: Siapa yang tahu dia itu mabuk? Jangan-jangan dia hanya berpura-pura
saja.
Yang
rajih adalah pendapat jumhur, karena keadaan dia seperti orang gila, maka masuk
pada hadits di atas.
b. Mabuk tidak menyeluruh (tidak hilang
ingatannya)
Tidak ada
perbedaan pendapat di kalangan para ulama, bahwa jual belinya sah.
3. Anak
Kecil
ada 2
keadaan:
a. Belum mumayyiz (memahami dan membedakan)
Tidak ada
perbedaan pendapat tentang ketidaksahan akad jual belinya.
b. Telah mumayyiz
Ada
perbedaan pendapat di kalangan para ulama:
1.
Asy-Syafi’i dan Abu Tsaur berpen-dapat: Tidak sah jual belinya walaupun seizin
walinya.
2. Jumhur
ulama berpendapat: Bila dengan izin dari sang wali, maka sah.
Mereka
mensyaratkan, anak kecil itu tidak tertipu dengan tingkat penipuan yang parah.
Bila hal ini terjadi, maka sang wali punya hak untuk meminta kembali barang
yang dijual dari sang pembeli. Pada kasus seperti ini tidak sah akad jual
belinya.
Faedah:
Al-Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih membolehkan anak kecil berjual beli
barang-barang yang remeh walaupun tanpa seizin wali. Adapun barang-barang yang
mahal/besar, maka harus dengan izin wali. Wallahu a’lam bish-shawab.
SYARAT KETIGA
Barang
yang diperjualbelikan harus halal dan ada unsur kemanfaatan yang mubah
Pada
pembahasan syarat ini akan diuraikan benda/barang yang haram diperjualbelikan
untuk dihindari. Sedangkan perkara yang mubah, tidak mungkin dapat diuraikan
karena banyaknya. Sebab hukum asal sesuatu adalah halal untuk
diperjual-belikan, kecuali bila ada dalil yang meng-haramkannya.
Jual Beli
Khamr
Khamr
adalah segala sesuatu yang memabukkan, baik terbuat dari anggur, tomat atau
bahan-bahan lainnya, apapun namanya, baik dulu maupun sekarang. Jual beli khamr
adalah haram menurut kesepa-katan para ulama, berdasarkan hadits:
“Sesungguhnya
Allah I mengharamkan jual beli khamr dan bangkai.” (Muttafaqun ‘alaih dari
Jabir bin Abdillah z)
Pendapat
yang membolehkannya adalah batil dan nyleneh. Demikian pula pendapat Abu
Hanifah yang membolehkan seorang muslim mewakilkan jual beli khamrnya kepada
kafir dzimmi. Semuanya batil dan bertentangan dengan hadits di atas.
Kejanggalan:
Dalam Shahih Al-Bukhari diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas z, beliau berkata: “Si
fulan telah menjual khamr.” Maka ‘Umar bin Al-Khaththab z berkata: “Semoga
Allah I memerangi si Fulan.”
Disebutkan
dalam Shahih Muslim dan lainnya bahwa si fulan tersebut adalah shahabat Samurah
bin Jundub z. Bagaimana dengan perbuatan beliau ini?
Jawabannya:
Para ulama menyebut-kan beberapa udzur untuk shahabat tadi, di antaranya:
1. Beliau mengambil khamr tadi dari upeti Ahli
Kitab, lalu beliau jual lagi kepada mereka.
2. Beliau tahu keharaman khamr, namun tidak
tahu keharaman jual beli khamr.
3. Beliau menjual sari anggur kepada seseorang
yang kemudian mengolahnya menjadi khamr.
4. Beliau telah mengolahnya menjadi cuka, lalu
menjual cuka tersebut.
Jual Beli
Bangkai
Bangkai
adalah semua hewan yang mati dengan sendirinya tanpa disembelih dengan cara
yang syar’i.
Para
ulama telah sepakat bahwa bangkai tidak boleh diperjualbelikan, dengan dasar
hadits yang telah lewat pada masalah khamr.
Termasuk
dalam kategori bangkai adalah bagian-bagian tubuh hewan yang merupakan inti
kehidupan seperti: daging, otak, lemak (gajih) serta tulang.
q Masalah
10:
Hukum
menjual bulu hewan yang telah menjadi bangkai
Para
ulama telah sepakat bahwa boleh menggunakan dan memperjualbelikan bulu hewan
yang masih hidup.
Adapun
hewan yang telah menjadi bangkai, maka mereka berbeda pendapat:
1. Jumhur
ulama berpendapat: Boleh diperjualbelikan.
2.
Asy-Syafi’i dan ‘Atha` berpenda-pat: Tidak boleh diperjualbelikan.
Yang
rajih adalah pendapat jumhur, dengan dasar firman Allah I:
“(Dia
jadikan pula) dari bulu domba, bulu onta dan bulu kambing, alat-alat rumah
tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu).” (An-Nahl: 80)
Ayat ini
umum dan mencakup hewan yang masih hidup ataupun yang telah mati.
Juga
dengan dasar hadits:
“Sesungguhnya
yang diharamkan adalah memakannya.”
Sehingga
boleh dipergunakan kecuali daging, tulang, gajih (lemak), dan yang semisalnya.
q Masalah
11:
Bolehkah
menjual kulit bangkai sebelum disamak?
Perlu
diketahui bahwa kulit bangkai adalah najis. Adapun kulit hewan yang disembelih
dengan cara yang syar’i, maka suci dan boleh dipergunakan tanpa disamak. Adapun
tentang kulit bangkai yang belum disamak, para ulama berbeda pendapat:
1. Jumhur
ulama berpendapat bahwa itu termasuk dalam kategori bangkai. Mereka berhujjah
dengan hadits:
“Sesungguhnya
Allah mengharamkan jual beli beli khamr dan bangkai.”
2. Abu Hanifah, Az-Zuhri, Al-Laits dan yang
dipilih oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya, berpendapat boleh
diperjualbelikan dengan dasar hadits:
“Kenapa
tidak kalian manfaatkan?” (HR. Abu Dawud, no. 4120-4121. Lihat Ash-Shahihah no.
2163 dari Maimunah)
Yang
rajih adalah pendapat jumhur. Wallahu a’lam. Adapun hadits Maimunah di atas,
pengertiannya dibawa kepada masalah kulit bangkai yang telah disamak.
q Masalah
12:
Kulit
bangkai yang telah disamak
Ada
perbedaan pendapat di kalangan ulama:
1. Jumhur ulama berpendapat boleh
diperjualbelikan.
2. Ahmad dan Malik berpendapat tidak boleh
diperjualbelikan.
Yang
rajih adalah pendapat jumhur dengan dasar hadits:
“Bila
kulit telah disamak, maka telah suci.” (HR. Muslim dari Ibnu ‘Abbas c)
Jual Beli
Babi
Para
ulama telah bersepakat bahwa babi haram diperjualbelikan, dengan dasar hadits:
“Sesungguhnya
Allah I mengharam-kan jual beli beli khamr, bangkai, dan babi.” (Muttafaqun
‘alaih, dari Jabir z)
Keharaman
ini juga berlaku untuk kulit dan bulu babi, menurut pendapat yang rajih. Dan
ini adalah pendapat jumhur ulama.
q Masalah
13:
Apakah
diperbolehkan beternak babi atau memeliharanya?
Hal ini
tidak diperbolehkan menurut kesepakatan para ulama.
Jual Beli
Patung
Yang
dimaksud dengan patung di sini adalah segala sesuatu yang disembah selain Allah
I yang memiliki bentuk, baik terbuat dari besi, kayu ataupun batu, dan yang
lainnya.
Jual beli
patung tidak diperbolehkan secara mutlak dengan dasar hadits:
“Sesungguhnya
Allah I mengha-ramkan jual beli beli khamr, bangkai, babi, dan patung.”
(Muttafaqun ‘alaih, dari Jabir bin Abdillah z)
q Masalah
14:
Jual beli
patung untuk dimanfaatkan serpihan-serpihannya
Bila
telah dihancurkan maka diperbo-lehkan menjual atau membeli
serpihan-serpihannya, sebab dia tidak lagi dalam bentuk patung. Adapun bila
masih dalam wujud patung maka ada perbedaan pendapat di kalangan fuqaha:
1. Jumhur ulama berpendapat tidak
diperbolehkan.
2. Sebagian ulama dari kalangan Syafi’iyah
membolehkannya.
Yang
rajih adalah pendapat jumhur, karena masuk pada keumuman larangan hadits di
atas. Wallahu a’lam.
q Masalah
15:
Hukum
jual beli mainan anak-anak (boneka)
Dalam hal
ini ada rinciannya yaitu:
Apabila
mainan tersebut mirip dengan insan yang hakiki, bisa bersuara dan bisa
menangis, atau hal-hal lain yang menyeru-pai ciptaan Allah I, maka tidak boleh diperjualbelikan.
Bila tidak terdapat hal-hal di atas, maka jumhur ulama memperboleh-kannya,
dengan dasar hadits A’isyah x (Muttafaqun ‘alaih), bahwasanya dia x biasa bermain dengan boneka-boneka wanita,
dan Rasulullah n biasa memanggil teman-teman wanita ‘Aisyah untuk bermain
dengannya.
Dalam
riwayat Abu Dawud dan An-Nasa`i disebutkan bahwa Aisyah x membuat mainan kuda
yang memiliki dua sayap dari sobekan kain. Wallahu a’lam.
Jual Beli
Anjing
Para
ulama berbeda pendapat tentang jual beli anjing:
1. Jumhur
berpendapat bahwa anjing tidak boleh diperjualbelikan secara mutlak, baik
anjing kecil (anak anjing) atau anjing besar, anjing untuk berburu ataupun
tidak.
Mereka
berhujjah dengan hadits:
“Nabi
melarang dari harga anjing.” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Mas’ud Al-Anshari z,
HR. muslim dari jabir z, HR. Al-Bukhari dari Abu Juhaifah z)
2. Abu
Hanifah berpendapat diper-bolehkan jual beli anjing secara mutlak. Pendapat ini
tidak berdasarkan dalil, bahkan bertolak belakang dengan hadits di atas.
3. Jabir,
‘Atha`, dan Ibrahim An-Nakha’i berpendapat tidak diperbolehkan jual beli
anjing, kecuali anjing untuk berburu. Mereka berhujjah dengan lafadz tambahan
pada hadits di atas dalam riwayat An-Nasa`i (7/309, no. 4669):
“Kecuali
anjing berburu.”
Yang
rajih -wallahu a’lam- adalah pandapat jumhur, berdasarkan nash hadits di atas.
Adapun lafadz tambahan pada hadits di atas yang menyebutkan penge-cualian,
derajatnya dha’if. Bahkan An-Nasa`i sendiri menyatakan mungkar. Di antara ulama
ahli hadits yang mendha’ifkan adalah An-Nasa`i, At-Tirmidzi, Ad-Dara-quthni.
Bahkan An-Nawawi dalam syarah muslim dan Al-Majmu’ menyatakan: “Tambahan ini
dha’if, dan ini adalah kesepakatan ahli hadits. Wallahu a’lam.”
Termasuk
yang tidak diperbolehkan adalah menyewakan anjing. Karena sewa- menyewa
termasuk bab jual beli, sementara anjing merupakan hewan yang haram
diperjualbelikan, sama halnya dengan babi.
q Masalah
16:
Hukum
jual beli hewan yang telah dimumi atau diawetkan
Tidak
boleh memperjualbelikan hewan yang telah dimumi, baik dalam bentuk burung
ataupun yang lainnya, baik dari hewan yang halal dipelihara ataupun yang haram
dipelihara. Alasannya adalah:
1. Termasuk celah/pintu menuju kesyirikan.
2. Penyebab tersebar luasnya gambar makhluk
hidup.
3. Menyia-nyiakan harta.
4. Termasuk tindakan pemborosan
(tabdzir/israf).
Demikian
kesimpulan secara ringkas fatwa dari Al-Lajnah Ad-Da`imah (Komisi Fatwa Dewan
Ulama Besar Kerajaan Saudi Arabia) yang diketuai Asy-Syaikh Ibnu Baz, Wakil:
Asy-Syaikh Abdur Razzaq Afifi, Ang-gota: Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan
(11/715, no. fatwa 5350). Ini juga merupakan fatwa ‘Permata Yaman’ Asy-Syaikh
Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i t.
Jual Beli
Kucing
Ada
perbedaan pendapat di kalangan para ulama:
1. Jumhur berpendapat, boleh
mem-perjualbelikan kucing
2. Tidak diperbolehkan jual beli kucing. Ini
adalah pendapat Abu Hurairah, Mujahid, Thawus, Jabir bin Zaid, Azh-Zhahiriyah,
satu riwayat dari Ahmad. Dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnul
Qayyim, Ibnu Rajab, dan dirajihkan oleh Ash-Shan’ani serta Asy-Syaukani.
Permasalahan
ini sesungguhnya kembali kepada derajat hadits Jabir z, riwayat Muslim (no.
1569):
“Rasulullah
n melarang dari harga anjing dan kucing.”
Para
ulama berbeda pendapat tentang derajatnya.
Al-Imam
Ahmad, Ibnu Abdil Barr, Al-Khaththabi, Ibnul Mundzir dan selain mereka
berpendapat hadits ini dha’if. At-Tirmidzi menyatakan sanadnya goncang
(mudhtharib). Adapula yang menyatakan mauquf, yakni ucapan Jabir z dan bukan
sabda Rasulullah n.
Sebagian
ulama yang lain meyakini keshahihannya.
Jual Beli
Darah
Para
ulama berbeda pendapat, apakah yang dimaksud dengan larangan jual beli beli
darah? Apakah upah dari bekam (pengobatan untuk mengeluarkan darah kotor)
ataukah jual beli darah itu sendiri?
Yang
rajih dari penjelasan para ulama adalah larangan jual beli darah itu sendiri,
dengan dalil firman Allah I:
“Diharamkan
atas kalian (memakan) bangkai dan darah…” (Al-Ma`idah: 3)
Adapun
hadits yang melarang jual beli darah, diriwayatkan dari shahabat Abu Juhaifah
z, riwayat Al-Bukhari (no. 2238). Disebutkan bahwa Rasulullah n:
“Mengharamkan
harga darah.”
Jual beli
darah hukumnya haram dengan kesepakatan para ulama, demikian dinukil Al-Hafizh.
Faedah:
Dikecualikan dari hukum darah adalah hati dan jantung, dengan dasar hadits Ibnu
‘Umar, riwayat Ahmad (2/97), Ibnu Majah (1037), Al-Baihaqi dalam Al-Kubra
(1/254), yang dirajihkan oleh Abu Zur’ah dan Abu Hatim bahwa ucapan ini mauquf
(ucapan Ibnu ‘Umar c) namun dihukumi marfu’ (sabda Rasulullah n). Lihat
Al-Maqashidul Hasanah (36) hal. 67.
q Masalah 17:
Memindahkan
darah dari satu jasad ke jasad lain (donor darah)
Hal ini
termasuk dalam keharaman di atas. Tidak diperbolehkan makan darah, baik
langsung dengan mulut, lewat infus, atau dengan cara lainnya. Kecuali dalam
keadaan darurat maka diperbolehkan, dengan syarat sang pendonor tidak menjual
darahnya kepada pihak yang membutuhkan. Juga tidak mensyaratkan bayaran baik
secara dzahir maupun batin.
Syarat
secara dzahir sangat jelas. Adapun secara batin ialah kebiasaan masyarakat
setempat. Misalnya setiap ada orang yang donor darah pasti diberi sejumlah
uang, jika tidak dia pasti marah.
Ini
adalah fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah no. 8096, yang diketuai Asy-Syaikh Ibnu Baz,
Wakil: Asy-Syaikh Abdur Razzaq Afifi, Anggota: Asy-Syaikh Abdullah bin
Ghudayyan.
Dalilnya adalah
hadits di atas. Juga hadits Ibnu Abbas c:
“Sesungguhnya
jika Allah I meng-haramkan atas suatu kaum memakan sesuatu, Allah I juga
mengharamkan atas mereka harganya.” (HR. Ahmad, 3/370 dan Abu Dawud no. 3488.
Dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad 1/471)
q Masalah
18:
Jual beli
misk
Misk
adalah darah yang berkumpul pada pusar kijang setelah dia berlari kencang, lalu
diikat beberapa saat hingga terlepas dari badan kijang tersebut. Dari inilah
kemudian dibuat minyak wangi misk. Sehingga asal misk adalah darah.
Apakah
misk itu suci atau boleh diperjualbelikan?
Ada
perbedaan pendapat di kalangan para ulama:
1. Al-Hasan Al-Bashri dan ‘Atha` memakruhkan
jual beli misk.
2. Jumhur ulama berpendapat boleh
diperjualbelikan dan suci.
Al-Hafizh
dalam Al-Fath pada penjelasan hadits no. 2101 menjelaskan:
“Hadits
ini menunjukkan bolehnya jual beli misk dan hukumnya suci, sebab Nabi n memuji
dan menyukainya. Di sini terdapat bantahan terhadap ulama yang memakruhkannya,
sebagaimana dinukil dari Al-Hasan Al-Bashri, ‘Atha` dan yang lainnya. Kemudian
perbedaan pendapat ini berakhir, dan tetaplah ijma’ (kesepakatan ulama) atas
sucinya misk dan kebolehan memperjualbelikannya.”
Jual Beli
Perkara yang Diharamkan
Yang
dimaksud dengan perkara yang diharamkan di sini meliputi 2 hal:
a. Barang yang diharamkan untuk dimakan
ataupun dimanfaatkan, seperti babi dan patung.
b. Barang yang diharamkan untuk dimakan, namun
bisa diambil manfaatnya.
q Masalah
19:
Bagaimana
dengan perkara yang boleh dijual namun tidak boleh dimakan, seperti keledai
peliharaan, bighal, dan budak?
Jawab:
Bila dijual dengan tujuan untuk dimakan, maka hukumnya haram, masuk pada hadits
Ibnu ‘Abbas c di atas. Bila dijual untuk diambil manfaatnya, maka
diperbolehkan. Wallahu a’lam.
Dalam bab
ini terdapat masalah yang cukup banyak, di antaranya jual beli pupuk yang
terbuat dari kotoran.
Pupuk
sendiri ada 2 jenis:
1. Terbuat dari kotoran hewan, seperti
kambing, sapi dan lain-lain.
Bagi
ulama yang berpendapat bahwa kotoran hewan tidak najis, maka memperbo-lehkan
jual beli kotoran unta, sapi, kambing, dan lain sebagainya untuk pupuk tanah.
2. Terbuat dari kotoran manusia, yang
merupakan najis.
Pendapat
yang rajih, insya Allah, adalah diperbolehkan jual beli kotoran manusia untuk
pupuk. Ini adalah satu pendapat madzhab Maliki, Abu Hanifah, Ibnu Hazm, dan
pendapat ini yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, yang berhujjah
dengan keumuman ayat:
“Dan
Allah menghalalkan jual beli.” (Al-Baqarah: 275)
q Masalah
20:
Jual beli
alat-alat musik
Jumhur
ulama menyatakan keharam-annya karena dalil-dalil yang tegas menunjukkan
keharaman alat-alat musik. Asy-Syaikh Al-Albani mempunyai risalah khusus
tentang masalah ini, lengkap dengan dalil dan bantahannya terhadap syubhat yang
membolehkannya.
Di antara
ulama yang tergelincir dan membolehkan jual beli alat-alat musik adalah Ibnu
Hazm dan Abu Turab Azh-Zhahiri. Asy-Syaikh Hamud At-Tuwaijiri telah
membantahnya dalam risalah khusus dengan bantahan tuntas dan memuaskan.
Wabillahit Taufiq.
Faedah:
Bila alat-alat musik telah dihancurkan atau dipecahkan, maka jumhur ulama
berpendapat tidak boleh diperjual-belikan untuk diambil manfaatnya. Wallahu
a’lam.
q Masalah
21:
Jual beli
minyak atau pelumas yang najis
Misalnya
gajih pada bangkai bila dileburkan, masih melekat sifat najisnya. Tentang
hukumnya, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama:
1. Abu Hanifah dan Laits memboleh-kannya.
2. Jumhur ulama mengharamkannya. Dan inilah
pendapat yang rajih dengan dasar hadits Jabir z:
“Tidak
boleh (jual beli gajih bangkai), dia haram.” (Muttafaqun ‘alaih)
Juga
hadits yang telah lewat:
“Sesungguhnya
Allah mengharamkan jual beli khamr dan bangkai.”
Faedah:
Adapun minyak yang kejatuhan benda najis, maka yang rajih, insya Allah, adalah
boleh diperjualbelikan dan disucikan dengan cara:
– Ditambahkan minyak yang cukup banyak
– Dimasak hingga mendidih
– Dijemur dan diangin-anginkan hingga hilang
najisnya.
q Masalah
22:
Jual beli
binatang buas
Binatang
buas dalam masalah ini ada 2 macam:
1. Yang bisa dipakai untuk berburu
Jumhur
ulama membolehkan jual belinya dalam rangka diambil manfaatnya untuk berburu,
dan boleh pula dipelihara sebab tidak ada ancaman bagi orang-orang yang
memeliharanya.
2. Tidak bisa dipakai berburu
Jumhur
ulama berpendapat tidak boleh diperjualbelikan, dengan dua alasan:
– Larangan dari semua binatang buas yang
bertaring
– Menyia-nyiakan harta
Lihat
Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah no. 18564, Ketua: Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz Alu Syaikh,
Anggota: Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid, Asy-Syaikh Shalih Fauzan, dan Asy-Syaikh
Abdullah Al-Ghudayyan.
q Masalah
23:
Jual beli
monyet
Monyet
termasuk hewan yang haram dimakan. Dalil terkuat adalah bahwa Allah I mengubah
bentuk orang-orang Yahudi menjadi monyet.
Adapun
masalah jual beli monyet, maka Al-Lajnah Ad-Da`imah (no. 18564) berfatwa:
“Tidak diperbolehkan jual beli kucing, monyet, anjing dan binatang buas yang
bertaring/yang berkuku tajam yang sejenisnya. Karena Nabi n telah melarang dan
menegurnya. Juga hal ini termasuk menyia-nyiakan harta, sedangkan Nabi n telah
melarang perbuatan tersebut.” Ketua: Asy-Syaikh Ibnu Baz, Wakil: Asy-Syaikh
Abdul Aziz Alu Syaikh, Anggota: Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid, Asy-Syaikh Shalih
Fauzan, dan Asy-Syaikh Abdullah Al-Ghudayyan. Wallahu a‘lam.1
q Masalah
24:
Jual beli
burung
Burung
diklasifikasikan oleh para ulama menjadi dua, yaitu:
1. Yang bisa diambil manfaat dari warna atau
suaranya yang indah.
Jumhur
ulama berpendapat boleh memperjualbelikannya, karena melihat atau mendengarkan
suara burung adalah perkara yang mubah. Tidak ada dalil yang melarangnya.
Bahkan Rasulullah n berkata kepada saudara Anas yang masih kecil:
“Wahai
Abu ‘Umair, apa yang dilakukan oleh si Nughair (burung kecil miliknya)…”
Pendapat
ini yang dikuatkan oleh Al-Lajnah Ad-Da`imah (fatwa no. 18248) Ketua:
Asy-Syaikh Ibnu Baz, Wakil: Asy-Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh, Anggota:
Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid, Asy-Syaikh Shalih Fauzan, dan Asy-Syaikh Abdullah
Al-Ghudayyan.
2. Yang tidak ada manfaatnya.
Jumhur
ulama tidak memperbolehkan. Namun bila ada unsur kemanfaatan yang lain, seperti
untuk bulu panah dan yang semisalnya maka diperbolehkan. Wallahu a’lam.
q Masalah
25:
Jual beli
hasyarat (serangga, hewan kecil)
Tentang
hal ini juga ada rinciannya:
1. Tidak ada unsur kemanfaatannya, seperti: Kumbang
kelapa, kalajengking, ular berbisa, tikus, dan yang semisalnya.
Hewan
seperti di atas tidak boleh diperjualbelikan karena tidak ada unsur manfaat.
Juga termasuk menyia-nyia-kan harta. Bahkan sebagiannya termasuk hewan yang
diperintahkan untuk dibunuh, karena membahayakan.
2. Ada
unsur kemanfaatannya seperti: cacing untuk memancing ikan, lintah untuk
menyerap darah kotor akibat gigitan anjing, atau yang semisalnya.
Yang
rajih di antara pendapat ulama adalah boleh diperjualbelikan untuk kemanfaatan
tersebut. Ini adalah pendapat mazhab hanbali dan pendapat yang shahih pada
madzhab Syafi’i.
q Masalah
26:
Jual beli
ulat sutra dan benihnya
Ada
perbedaan pendapat di kalangan ulama:
1. Jumhur berpendapat boleh, karena dia adalah
hewan yang suci.
2. Abu hanifah berpendapat tidak boleh. Dalam
riwayat lain disebutkan, boleh bila disertai sutranya. Bila tidak, maka tidak
boleh diperjualbelikan karena termasuk serangga yang tidak ada kemanfatannya.
Yang
rajih adalah pendapat jumhur ulama dan tidak ada yang melarangnya kecuali abu
hanifah saja.
q Masalah
27:
Jual beli
lebah
Ada
perbedaan pendapat di kalangan ulama:
1. Jumhur
ulama berpendapat boleh, karena suci dan bermanfaat.
2. Abu
Hanifah berpendapat tidak boleh, kecuali dengan madunya.
Yang
rajih adalah pendapat jumhur ulama.
q Masalah
28:
Jual beli
lebah dalam sarangnya
Bila
diketahui jumlahnya berdasarkan pengalaman seorang ahli atau dilihat dari
keluar masuknya, maka diperbolehkan. Bila tidak diketahui, maka sebagian ulama
melarangnya karena termasuk jual beli sesuatu yang majhul (tidak diketahui).
q Masalah
29:
Jual beli
ular
Tidak
diperbolehkan, karena Nabi n memerintahkan untuk membunuhnya.
Bila
telah dibunuh, apakah boleh diperjualbelikan? Jawabannya: Tetap tidak boleh,
karena termasuk kategori bangkai, sementara bangkai tidak boleh
diperjual-belikan.
q Masalah
30:
Jual beli
perkara mubah yang ada unsur keharamannya, seperti sepeda yang ada musiknya,
mobil yang ada gambar makhluk bernyawa, dan yang semisal-nya.
Dalam
masalah ini ada rinciannya:
1. Bila
yang dituju dalam jual beli adalah perkara yang haram tersebut, seperti musik
atau gambar bernyawanya, maka hukumnya haram.
2. Bila
yang dituju adalah barang-barang yang mubah, maka diperbolehkan. Dengan syarat,
menghilangkan perkara yang haram tadi, dengan mencongkel alat musiknya atau
merusak gambarnya.
q Masalah
31:
Jual beli
majalah atau koran yang ada gambar makhluk bernyawa
Masalah
ini ada 2 macam:
1. Majalah atau surat kabar yang penuh dengan
gambar wanita telanjang atau semi telanjang.
Jual beli
majalah seperti ini hukumnya haram, sebab gambar itulah yang dijadikan sajian
utamanya. Juga merupakan jalan menuju kepada tindakan keji dan kejahatan,
sekaligus termasuk perbuatan tolong-menolong di atas dosa dan permusuhan.
Demikian fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah (no 8321 dan 14816).
2.
Majalah atau surat kabar harian atau yang berisikan berita politik dan yang
semisalnya.
Asy-Syaikh
Ibnu Baz dan Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin menjelaskan bahwa hal ini tidak
mengapa. Karena gambar (makhluk bernyawa) tersebut bukanlah sajian utama-nya,
bukan pula maksud dia membelinya.
Rincian
di atas dikomentari oleh Syaikhuna Abdurrahman Al-‘Adani dengan ucapannya:
“Rincian yang bagus.” Wallahul muwaffiq.
Jual Beli
Air
Diriwayatkan
oleh Ahmad (3/417 dan 4/138), Abu Dawud (no. 3478), An-Nasa`i (no. 4662), dan
At-Tirmidzi (no. 1271) dengan sanad yang dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi
Al-Wadi’i dalam Shahihul Musnad (1/100) dari Iyas bin Abdullah:
“Bahwasanya
Nabi n melarang jual beli sisa air.”
Hadits
ini juga diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya (1565) dari Jabir z dengan
lafadz yang semakna.
Diriwayatkan
juga dari Abu Hurairah z (Muttafaqun ‘alaih) dengan lafadz:
“Tidak
boleh dihalangi dari kelebihan air sehingga menghalangi kelebihan rerumputan.”
Maksudnya,
janganlah melarang orang memberi minum ternaknya, karena akan berakibat mereka
terhalang menggembala-kan ternaknya di sana. (Karena mereka tidak tidak bisa
menggembalakan ternak kecuali bila mendapatkan air untuk ternaknya itu, ed).
Wallahu a’lam.
Masalah
jual beli air ada perincian di kalangan ulama sebagai berikut:
1. Air
yang telah ditampung oleh seseorang dalam jerigen, gentong, tandon, atau
tempat-tempat yang lain
Ada
perbedaan pendapat di kalangan ulama:
a. Sebagian Syafi’iyah berpendapat, air yang
tertampung dalam sebuah tempat, maka si empunya lebih berhak atas air tersebut
daripada orang lain. Hanya saja air itu tidak boleh dimiliki dan dijual.
b. Ibnu Hazm melarang jual beli air secara
mutlak, berpegang dengan dzahir hadits di atas.
c. Jumhur ulama menyatakan kebo-lehannya,
dengan dasar hadits Az-Zubair bin Al-’Awwam z, riwayat Al-Bukhari:
“Sungguh
salah seorang di antara kalian mengambil talinya, lalu memikul seikat kayu
kering di atas punggungnya kemudian menjualnya hingga Allah menahan wajahnya
dengan itu, lebih baik daripada mengemis (meminta-minta) kepada orang yang
entah diberi ataukah tidak.”
Hadits
ini menunjukkan bolehnya berjual beli idzkhir (nama sejenis tanaman), padahal
idzkhir termasuk kategori al-kala`. Demikian pula air jika sama-sama sudah
ditampung di tempatnya. Keduanya masuk dalam sabda Rasulullah n:
“Manusia2
berserikat (kongsi) dalam 3 perkara: air, rumput/tetumbuhan, dan api.”
Yang
rajih adalah pendapat jumhur ulama. Atas dasar ini, bila ada seseorang yang
datang ke padang pasir luas dan tak bertuan, lalu dia menemukan mata air, sumur
atau yang semisalnya kemudian dipagari sebagai tanda kepemilikannya, lalu dia
pasang pompa air, pipa dan peralatan lainnya, maka dia boleh menjualnya.
2. Danau
dan sungai besar
Air seperti
ini tidak boleh dimiliki dan diperjualbelikan, karena semua orang berhak atas
air itu. Sampai-sampai kalangan Syafi’iyah menyatakan: “Jual beli air yang
demikian hanya menghambur-hamburkan harta.”
q Masalah
32:
Sungai
kecil dan mata air yang mengalir di perbukitan/ pegunungan
Air
seperti ini tidak boleh diperjual-belikan, karena semua orang berhak atasnya.
Yang paling berhak adalah yang paling dekat dengan air tersebut. Dia boleh
menyirami tanaman dan mengairi sawah-nya hingga mencapai kedua mata kakinya,
lalu dialirkan ke tetangganya. Dengan dasar hadits Az-Zubair z, riwayat
Al-Bukhari dan lainnya:
“Airi
(sawahmu) wahai Zubair, hingga air kembali ke al-jadr3 lalu alirkan ke
tetanggamu.”
Kembalinya
air sampai ke al-jadr diukur oleh para ulama adalah setinggi kedua mata kaki.
3. Sumur
dan mata air yang mengalir dari tanah berpemilik
Ada
perbedaan pendapat di kalangan ulama:
a. Satu riwayat dari Ahmad, satu sisi pendapat
dari Syafi’iyah, dan ini adalah pendapat sejumlah ulama dan dinisbatkan kepada
jumhur ulama: Boleh dimiliki dan diperjualbelikan, sedangkan orang lain tidak
mempunyai hak, selain pemiliknya.
b.
Riwayat lain dari Ahmad, dzahir madzhab Hambali, dan satu sisi pendapat
Syafi’iyah. Dan ini adalah pendapat yang dipegang oleh kalangan ulama ahli
tahqiq: Tidak boleh dimiliki dan diperjualbelikan. Namun si empunya lebih
berhak atas air tersebut. Dia ambil secukupnya untuk keluarga, tanaman dan
hewan ternaknya, lalu diberikan kepada orang lain.
Pendapat
inilah yang rajih, karena keumuman hadits di atas yang melarang jual beli sisa
air. Namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
q Bila
dia yang menggali sumur itu hingga memancarkan air dan mengeluarkan biaya untuk
itu, dia boleh melarang orang lain untuk mengambil air dari sumurnya sampai kembali
biaya yang dikeluarkannya. Ini adalah fatwa Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi
Al-Wadi’i.
q Bila
sumur tadi tidak mencukupi kebutuhan dia sehari-hari, dia diperbolehkan
melarang orang yang datang untuk mengambil airnya. Karena Rasulullah n hanya
melarang jual beli sisa air, sementara dalam kondisi ini tidak ada air yang
tersisa.
q Bila
sumur tadi berada di dalam rumah, sedangkan keluar masuknya orang lain akan
membuat keluarganya terlihat atau merasa keberatan, dia boleh melarang orang
untuk masuk kecuali pada waktu-waktu tertentu.
Wallahu
a’lam bish-shawab.
SYARAT
KEEMPAT
Barang
yang diperjualbelikan dapat diserahterimakan
Banyak
sistem jual beli terlarang yang tidak memenuhi persyaratan ini, dan hampir
seluruhnya masuk dalam kategori:
1. Jual
beli gharar
Yang
dimaksud dengan gharar adalah yang tidak diketahui akibatnya. Sistem jual beli
ini haram hukumnya dengan dalil Al-Qur`an, As-Sunnah dan kesepakatan para ulama
secara global. Adapun ayat yang menerangkannya adalah firman Allah I:
“Hai
orang-orang yang beriman, sesung-guhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkor-ban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan setan. Maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian menda-pat keberuntungan.”
(Al-Ma`idah: 90)
Juga
firman-Nya:
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian
dengan jalan yang batil…” (An-Nisa`:29)
Adapun
dari As-Sunnah, di antaranya hadits Abu Hurairah z:
“Nabi n
melarang jual beli dengan sistem gharar.” (HR. Muslim no. 1153)
Para
ulama telah bersepakat bahwa hukum asal sistem gharar adalah haram. Namun
mereka berbeda pendapat pada beberapa kasus dan rinciannya.
q Masalah
33:
Ada dua
perkara yang dikecuali-kan dari sistem gharar ini:
1.
Sesuatu yang harus terbeli dan tidak mungkin dihindarkan. Contohnya jual beli
rumah dengan pondasinya, atau jual beli kambing yang sedang hamil.
2.
Terdapat gharar namun relatif ringan, dan ketentuannya dikembalikan kepada
kebiasaan masyarakat setempat.
Contohnya:
– Sewa
menyewa bulanan/tahunan dengan penanggalan hijriyah, yang terkadang sebulan
berjumlah 30 hari dan terkadang 29 hari.
– WC umum
yang bayar, terkadang airnya terpakai banyak, terkadang sedikit.
Para
ulama bersepakat bahwa gharar yang sedikit ini dimaafkan dan dimaklumi. Wallahu
a’lam bish-shawab.
q Masalah
34:
Kuis
Berhadiah
Gambarannya,
penyelenggara kuis menjual kartu berhadiah yang berisi pertanyaan atau
semisalnya. Lalu jawaban yang benar dikumpulkan dan diundi, dan pemenangnya
diumumkan serta berhak mendapatkan hadiah yang telah disediakan.
Hukum
masalah ini adalah haram. Karena mengandung unsur gharar dan pertaruhan (judi).
Orang yang ikut akan dihadapkan pada dua kemungkinan, yaitu menang atau kalah.
Adapun
pemberian hadiah atas jawaban yang benar dari pertanyaan yang diajukan tanpa
membeli kupon/kartu, hukum asalnya adalah mubah. Namun tidak sepantasnya
seorang thalibul ilmi (penuntut ilmu) mengikuti perkembangan masalah seperti
ini, baik melalui majalah, radio, TV dan semisalnya. Karena perbuatan tersebut
mengurangi muru`ah (harga diri) dan membuang waktu untuk perkara yang belum
pasti kemanfaatannya. Wabillahit taufiq.
q Masalah
35:
Hadiah
yang ada pada barang dagangan
Masalah
ini ada dua bentuk. Dan keduanya merupakan kaidah untuk meng-hukumi masalah
lain yang semisal.
1. Bila sang pembeli dihadapkan pada dua
pilihan (taruhan) antara untung atau rugi, maka hal ini tidak diperbolehkan.
Ada dua contoh dalam hal ini:
a. Sebuah barang dijual dengan harga lebih
mahal dari sebelumnya, di dalamnya terdapat kupon berhadiah langsung atau diundi.
Terkadang hadiahnya murahan dan terkadang pula mahal.
b. Seseorang membeli sebuah barang –dalam
jumlah besar– yang ada kupon berhadiahnya yang sebenarnya tidak dia butuhkan.
Dia memborong barang tersebut hanya karena ingin mendapatkan hadiah yang
dijanjikan/disediakan.
2. Bila
sang pembeli dihadapkan pada satu pilihan, antara keuntungan atau kesela-matan
(tidak rugi), maka diperbolehkan. Contohnya:
a. Sebuah barang dijual dengan harga normal
seperti biasanya, dan di dalamnya terdapat kupon atau hadiah langsung.
b. Sang pembeli membeli barang tersebut secara
normal untuk kebutuhan sehari-hari. Lalu dia mendapatkan kupon atau hadiah
langsung di dalamnya.
Wallahul
muwaffiq.
q Masalah
36:
Jual beli
ikan yang masih di dalam air
Jual beli
ikan yang masih ada di lautan, danau atau sungai besar adalah haram, dengan
beberapa alasan:
1. Ikan tersebut tidak bisa diserahkan.
2. Tidak diketahui sifat-sifat dari sisi
ukuran dan jenisnya.
3. Ada unsur gharar dan taruhan.
Termasuk
dalam masalah ini adalah sistem jual beli ikan di tambak dengan cara sampling
(mengambil contoh). Maksudnya, sang petambak atau pembeli mengambil/menjaring
sejumlah ikan di tambak. Ikan yang terjaring dijadikan contoh/tolak ukur untuk
ikan-ikan yang ada di tambak tersebut secara keseluruhan. Sistem ini diharamkan
karena beberapa sebab:
1. Ada unsur taruhan dan gharar.
2. Tidak diketahui secara pasti ukuran semua
ikan yang ada di tambak. Bisa jadi lebih kecil dari sampelnya, dan mungkin pula
lebih besar.
3. Tidak diketahui jumlah ikan yang ada di
tambak. Bisa jadi sangat banyak, bisa jadi pula hanya sedikit.
Faedah:
Diperbolehkan jual beli ikan yang masih di dalam air dengan tiga syarat:
1. Ikan tersebut berpemilik.
2. Mungkin dan mudah diambil, seperti di kolam
kecil.
3. Airnya bening sehingga ikan tersebut bisa
terlihat dengan sangat jelas dan transparan. Wallahu a’lam.
q Masalah
37:
Sistem
habalil habalah
Ada dua
gambaran tentang sistem ini:
1. Penjual dan pembeli sepakat bah-wa uang
pembelian hewan tersebut diserah-kan setelah hewan tersebut melahirkan, atau
anak hewan tersebut melahirkan.
Yang
tidak diketahui di sini adalah waktu pembayarannya. Adapun barangnya telah
diketahui, yaitu hewan tadi atau anaknya atau cucunya.
Ketidakjelasan
waktu pembayaran punya andil besar dalam penentuan harga. Bisa jadi, saat jatuh
pembayaran harganya lebih mahal atau mungkin lebih murah.
2. Penjual dan pembeli sepakat untuk jual beli
apa yang ada di perut hewan tersebut atau yang ada di perut anaknya nanti.
Yang tidak
diketahui di sini adalah barangnya. Jual beli hewan yang masih di perut
induknya adalah haram menurut kesepakatan ulama. Dalilnya adalah hadits Ibnu
‘Umar c:
“Bahwasanya
Nabi n melarang dari jual beli habalil habalah.” (HR. Muslim no. 1514)
Dalam Ash-Shahihain
(Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim) diriwayat-kan dari Ibnu ‘Umar bahwa
orang-orang jahiliyah dahulu biasa melakukan jual beli daging unta sampai
habalil habalah. Yaitu, unta betina tadi melahirkan anaknya, lalu anaknya tadi
bunting dan melahirkan. Rasulullah n melarang hal tersebut. (HR. Al-Bukhari no.
2143 dan Muslim no. 1514)
Di antara
sebab-sebab keharamannya adalah:
a. Tidak diketahui sifatnya
b. Tidak jelas, hewan tersebut hidup atau mati
c. Tidak diketahui jenisnya
d. Tidak bisa diserahkan barangnya
Wallahu
a’lam.
q Masalah
38:
Sistem
munabadzah dan mulamasah
Gambaran
munabadzah adalah sese-orang melemparkan bajunya –misalnya– kepada lelaki lain
tanpa melihat barang tadi. Dan hal itu dijadikan sebagai akad jual beli mereka.
Ada
beberapa perkara yang tergolong dalam sistem munabadzah ini:
1. Barang yang dilempar itulah yang
diperjualbelikan.
2. Tindakan melempar barang terse-but
dijadikan sebagai tanda selesainya akad jual beli dan tidak ada lagi khiyar
(pilihan) bagi sang pembeli.
3. Yang dimaksud dengan sistem munabadzah
adalah sistem hashat (lempar batu), yang akan dijelaskan nanti insya Allah.
Adapun
mulamasah adalah jual beli dengan sistem meraba/memegang barang yang dijual
tanpa melihatnya. Ada beberapa gambaran lain yang juga tergolong dalam
mulamasah:
1. Barang yang dipegang adalah yang
diperjualbelikan.
2. Tindakan memegang barang dijadi-kan syarat
dan tidak ada khiyar.
3. Jual beli dengan istilah sekarang: ‘Pegang
barang harus dibeli’.
4. Sang pembeli memegang/meraba barang
dagangan dan dia tidak melihatnya karena tertutup atau keadaan gelap. Lalu sang
penjual berkata: “Saya jual barang itu dengan harga sekian, dengan syarat
rabaan-mu sebagai ganti pandanganmu. Dan tidak ada khiyar bagimu kalau kamu sudah
meli-hatnya.”
Semua
sistem munabadzah dan mulamasah di atas adalah haram, karena:
a. Ada
unsur gharar
b. Ada
unsur taruhan (judi)
c. Ada
unsur ketidaktahuan jenis dan nilai barang.
Dasarnya
adalah hadits Abu Sa’id Al-Khudri dalam Ash-Shahihain:
“Rasulullah
n melarang sistem mula-masah dan munabadzah dalam jual beli.”
q Masalah
39:
Sistem
hashat (lempar batu)
Sistem
ini ada beberapa jenis dan gambaran, di antaranya:
1. Sang pembeli melempar dengan kerikil/batu
kepada tumpukan/kumpulan baju, misalnya. Baju mana yang terkena batu, maka
itulah yang terbeli dengan harga yang disepakati sebelumnya. Ini adalah sistem
jahiliyah dahulu.
2. Seseorang membeli sebidang tanah dari sang
penjual di tempat yang luas. Keduanya sepakat bahwa sang pembeli melempar batu,
dan tempat jatuhnya batu itulah yang dijadikan batas tanah yang terbeli, dengan
harga yang sudah disepakati sebelumnya.
3. Menjadikan lemparan batu sebagai tanda
selesainya akad dan tidak ada khiyar bagi pembeli.
4. Seseorang membeli sesuatu dari penjual,
lalu sang penjual meraup kerikil dengan tangannya dan berkata: “Berikan uang
kepada saya sejumlah kerikil ini.”
Jual beli
dengan semua gambaran di atas adalah haram menurut kesepakatan para ulama. Ibnu
Qudamah menukilkan bahwa tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang
masalah ini. Dasarnya adalah hadits Abu Hurairah z:
“Nabi n
melarang jual beli sistem hashat dan yang ada unsur gharar.” (HR. Muslim no.
1513)
Wallahul
muwaffiq.
Faedah:
Termasuk jual beli yang terlarang karena adanya unsur gharar adalah:
1. Susu
yang ada di puting (ambing) sapi atau kambing sebelum diperah.
2. Budak
yang kabur dan tidak diketa-hui rimbanya. Demikian pula hewan yang kabur.
3. Burung
yang sedang terbang di udara, yang bukan miliknya, atau miliknya namun burung
tadi tidak terbiasa kembali ke sarangnya.
4.
Rampasan perang yang belum dibagi. Termasuk dalam hal ini adalah shadaqah atau
hadiah dari pemerintah atau pihak lain, yang belum diterima.
5. Bulu
yang masih ada di badan hewan yang masih hidup, kecuali bila langsung
dipangkas, atau jarak antara akad dan memangkas tidak terlalu lama.
6. Barang
yang diperjualbelikan dalam jumlah besar dengan beragam jenis, ukuran dan
kualitas, dalam keadaan tertutup dan tidak terlihat barangnya.
q Masalah
40:
Jual beli
sesuatu yang tertanam dalam tanah, seperti wortel, bawang merah, bawang putih
dan semisalnya
Ada
perbedaan pendapat di kalangan para ulama:
1. Jumhur
ulama berpendapat tidak diperbolehkan, hingga dicabut dan dilihat oleh sang
pembeli. Alasannya karena ada unsur jahalah (ketidaktahuan) dan gharar.
2. Malik,
Al-Auza’i, Ishaq, satu riwayat dari Ahmad, dan pendapat yang dipilih oleh Ibnu
Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syaikh As-Sa’di, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan
sejumlah ulama lainnya, bahwa hal ini diperbolehkan. Alasannya:
a. Para
ahli tanaman tersebut dapat mengetahui dengan baik tanaman yang ada di dalam
tanah. Biasanya mereka melihat bagian atas yang tampak untuk mengetahui yang
ada di dalam tanah.
b.
Kalaupun terjadi gharar yang ringan atau sesuatu yang tidak mungkin dielakkan,
maka hal itu dimaafkan.
c.
Terdapat hal yang sangat membe-ratkan pemilik tanaman yang berjumlah besar itu.
Karena mereka membutuhkan alat yang dapat menjaga tanaman tersebut sete-lah
dicabut atau dipanen agar tidak rusak. Terkadang mereka tidak mendapat-kannya.
Juga akan berakibat penjual diper-mainkan oleh sang pembeli, misalnya sudah
dicabut ternyata tidak jadi dibeli. Ujungnya, kalau tidak ada alat untuk
menjaganya dari keru-sakan adalah hancurnya tanaman tersebut.
Yang
rajih adalah dirinci:
– Bila
yang disebutkan oleh pendapat kedua adalah terjadi dan nyata, maka tidak
mengapa dan tidak termasuk jual beli yang memiliki unsur gharar.
– Bila
tidak benar dan tidak nyata, maka wajib dicabut hingga terlihat oleh sang
pembeli.
Ini adalah
rincian dari Asy-Syaukani dalam As-Sailul Jarrar.
Wallahu
a’lam.
Jual Beli
Buah-buahan
Dalam
masalah ini ada 2 bagian:
1. Yang
disepakati oleh para ulama tentang ketidakbolehannya, yaitu jual beli
buah-buahan yang belum tercipta.
Termasuk
dalam masalah ini adalah:
q Masalah
41:
Jual beli
Sistem Mu’awamah/Sinin
Yaitu
menjual hasil sawah/kebun untuk beberapa tahun ke depan dalam satu akad. Hal
ini terlarang, karena ada unsur gharar dan taruhan. Begitu juga menjual
buah-buahan yang belum tumbuh. Insya Allah akan dirinci pada poin kedua.
Adapun
dasar pelarangan sistem mu’awamah adalah hadits Jabir z:
“Rasulullah
n melarang …. dan mela-rang sistem mu’awamah.” (HR. Muslim, 1536/85)
Yang
perlu diperhatikan adalah bahwa yang terlarang di sini adalah jual beli dzat
buahnya. Adapun bila yang diperjualbelikan adalah sifatnya maka tidak mengapa,
kare-na masuk dalam sistem salam.
Sistem
salam adalah menyerahkan uang pembayaran di muka dalam majelis akad untuk
membeli suatu barang dengan sifat yang diketahui, tidak ada unsur gharar
padanya, dengan jumlah yang diketahui, takaran/timbangan yang diketahui dan
waktu serah terima barang yang diketahui pula. Mudah-mudahan ada pembahasan
khusus tentang sistem ini pada edisi lain, insya Allah.
2. Yang masih diperselisihkan ulama adalah
buah-buahan yang sudah tumbuh namun belum tampak matang:
a. Jumhur ulama berpendapat tidak boleh
diperjualbelikan secara mutlak hingga nampak matang. Mereka berhujjah dengan
keumuman hadits yang melarang hal ini. Di antaranya hadits Ibnu ‘Umar c:
“Bahwasanya
Nabi n melarang jual beli buah-buahan hingga nampak matang, beliau melarang
penjual dan pembeli.” (Muttafaqun ‘alaih)
Hadits
semakna juga diriwayatkan dari Anas z (Muttafaqun ‘alaih) dan Abu Hurairah z
(HR. Muslim, 1538/58).
b. Ibnu Hazm berpendapat diboleh-kannya jual
beli buah-buahan yang belum bertangkai, walaupun dengan syarat dibiar-kan di
tangkainya. Adapun bila sudah bertangkai, maka tidak diperbolehkan hingga
nampak matang.
c. Sejumlah ulama seperti Asy-Syaikh Ibnu Baz
dan Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi dalam Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah (14/82-83,
no. 3476), berpendapat diperboleh-kan jual beli buah-buahan yang belum tampak
matang dengan dua syarat:
– Dipanen waktu itu juga.
– Ada unsur kemanfaatan, seperti untuk makanan
ternak atau semisalnya.
Jumhur
ulama menyepakati syarat yang kedua ini, kecuali Ibnu Abi Laila dan Sufyan
Ats-Tsauri.
Yang
rajih adalah pendapat ketiga. Karena hukum itu berjalan bersama ‘illat
(sebab)-nya, ada atau tidaknya. ‘Illat (sebab) pelarangannya adalah seperti
yang dise-butkan dalam hadits Zaid bin Tsabit z (HR. Abu Dawud no. 3372 dengan
sanad yang shahih, lihat Shahih Abu Dawud no. 3372), yaitu bahwa para shahabat
dahulu berjual beli buah-buahan sebelum nampak matang. Tatkala datang waktu panen,
sang pembeli datang untuk mengambil buah-buahannya. Ternyata buah tersebut
sudah rusak terkena hama, maka terjadilah keri-butan di antara mereka.
Rasulullah n pun bersabda sebagai musyawarah yang beliau tawarkan:
“Kalau
tidak (mau berhenti), hendak-nya kalian jangan jual beli buah-buahan kecuali
bila nampak matang.”
Dengan
adanya dua persyaratan di atas, tidak ada lagi keributan yang dikha-watirkan.
Wallahul muwaffiq.
q Masalah
42:
Membeli
buah-buahan yang belum nampak matang dari penjual di kiosnya
Masalah
ini tidak termasuk pemba-hasan di atas. Karena masalah di atas adalah
buah-buahan yang belum nampak matang yang masih ada di pohonnya. Ada-pun bila
sudah ada di kios atau di tangan penjual, maka boleh diperjualbelikan, baik
buah-buahan yang sudah matang ataupun belum. Hujjahnya adalah hadits Anas z:
“Bagaimana
pendapatmu bila Allah menahan buah tersebut? Bagaimana salah seorang kalian
menghalalkan harta saudara-nya tanpa hak?!” (Muttafaqun ‘alaih)
Faedah:
Ketentuan matangnya buah-buahan tergantung jenis buahnya juga. Misalnya, tanda
matangnya korma adalah memerah atau menguning.
q Masalah
43:
Jual beli
buah-buahan yang telah matang
Jumhur
ulama berpendapat diperbo-lehkan, baik langsung dipanen atau dibiarkan di
pohonnya untuk beberapa waktu. Karena tidak termasuk larangan hadits di atas.
Jual Beli
Barang yang Belum Diterima
Para
ulama –kecuali ‘Atha` dan ‘Utsman Al-Butti– bersepakat bahwa seseorang yang
membeli makanan lalu menjualnya kepada orang lain sebelum makanan tadi dia
terima adalah haram. Dengan dasar hadits Jabir z, bahwa Rasulullah n bersabda:
“Bila
engkau membeli makanan maka janganlah engkau jual hingga engkau terima
sepenuhnya.” (HR. Muslim no. 1529)
q Masalah
44:
Apakah
larangan di atas khusus untuk makanan saja?
Ada
perbedaan pendapat di kalangan ulama:
1. Larangan tersebut umum meliputi semua
barang dagangan, baik berupa makanan, atau aqar (tanah dan rumah), atau sesuatu
yang berpindah (kendaraan), atau lainnya. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas,
Jabir bin Abdillah, Asy-Syafi’i, Ats-Tsauri, Muhammad bin Al-Hasan, satu
riwayat dari Ahmad, dan yang dipilih oleh Ibnu Hazm dan dirajihkan oleh Ibnul
Qayyim dan Ibnu ‘Utsaimin.
2. Larangan tersebut untuk barang-barang yang
ditakar atau ditimbang. Adapun yang selain itu diperbolehkan. Ini adalah
pendapat ‘Utsman, Sa’id bin Al-Musayyib, Al-Hakam bin ‘Utbah, Ibrahim
An-Nakha’i, Al-Auza’i, Ahmad, Ishaq dan pendapat yang masyhur dari madzab
Hambali.
3. Larangan tersebut umum, kecuali aqar (rumah
dan tanah). Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Abu Yusuf.
4. Larangan tersebut hanya pada makanan dan
minuman. Ini adalah pendapat Malik, Abu Tsaur dan yang dirajihkan oleh Ibnul
Mundzir.
Yang
rajih adalah pendapat pertama, dengan beberapa dalil berikut:
a. Hadits Zaid bin Tsabit z:
“Bahwasanya
Nabi n melarang men-jual barang dagangan di tempat dibelinya, hingga
dipindahkan oleh pedagang ke tempat mereka.” (HR. Abu Dawud no. 3499 dengan
sanad yang hasan)
Lafadzbersifat
umum, menca-kup semua barang yang diperjualbelikan.
b. Hadits Hakim bin Hizam z:
“Bila
engkau membeli sesuatu, maka janganlah engkau jual hingga engkau menerimanya.”
(HR. Ahmad, 3/402, dengan sanad yang dha’if, namun menjadi hasan dengan hadits
Zaid bin Tsabit z di atas)
Lafadzmencakup
semua barang yang diperjualbelikan. Wallahul muwaffiq.
Perkecualian
dalam Jual Beli
Maksudnya
adalah menjual barang dengan mengecualikan sesuatu darinya. Masalah ini
memiliki dua bagian:
1. Sesuatu yang dikecualikan adalah perkara
yang diketahui. Misalnya, menjual 10 baju kecuali satu baju yang berwarna
merah.
Dinukil
adanya kesepakatan ulama bahwa masalah ini diperbolehkan, karena tidak ada
unsur gharar di dalamnya.
2. Sesuatu yang dikecualikan tidak diketahui
(majhul). Ada perbedaan pendapat dalam hal ini:
a. Jumhur ulama berpendapat tidak
diperbolehkan
b. Malik membolehkannya
Yang
rajih adalah pendapat jumhur ulama, dengan dasar hadits Jabir z:
“Nabi n
melarang perkecualian dalam jual beli, yakni mengecualikan sesuatu yang majhul
(tidak diketahui).” (HR. Muslim, 1536/85)
Juga ada
alasan bahwa tidak diketa-huinya sesuatu yang dikecualikan akan berakibat tidak
diketahuinya barang yang diperjualbelikan. Sehingga hal ini termasuk dalam
‘jual beli sesuatu yang tidak diketahui’. Dan ini tidak diperbolehkan karena
ada unsur gharar dan taruhan.
Misalnya
seseorang menjual rumah yang memiliki 4 kamar. Lalu dia mengecuali-kan satu
kamar tanpa ditentukan kamar yang mana. Hal ini akan mengakibatkan tidak
diketahuinya kamar yang hendak diperjualbelikan. Wallahul muwaffiq.
Najsy
dalam Jual Beli
Najsy
ialah menaikkan harga barang dari seseorang yang tidak ingin membelinya. Ada
beberapa alasan seseorang melakukan hal tersebut, di antaranya:
1. Menguntungkan sang penjual. Untuk hal ini,
biasanya sudah ada kesepa-katan sebelumnya.
2. Merugikan sang pembeli. Terkadang sang
pembeli sangat membutuhkan barang tersebut, sehingga dia rela merogoh kocek-nya
semahal apapun.
3. Menampakkan kekayaannya di depan para
saudagar besar.
4. Hanya ingin main-main.
Semua
tujuan di atas adalah haram. Para ulama bersepakat bahwa pelakunya telah
bermaksiat dengan perbuatan itu.
Bentuk
najsy yang terlarang cukup banyak, di antaranya:
a. Sang penjual memberitahu dengan berdusta
bahwa dia membeli barang tersebut dengan harga lebih mahal dari yang sebenarnya.
Misalnya sang penjual berkata: “Saya membeli barang ini Rp. 1000, hendak-nya
kamu beri laba kepadaku.” Padahal dia membelinya dengan harga Rp. 500.
b. Pelakunya adalah sang penjual sendiri.
Gambarannya: Penjual menaruh barang kepada seseorang. Lalu dia menda-tanginya
layaknya pembeli, dan menaikkan/meninggikan harganya untuk kemasla-hatannya.
c. Sang pelaku memuji dan menyan-jung barang
tersebut setinggi langit, hingga sang pembeli tertipu.
d. Sang penjual menaikkan harga barang
setinggi mungkin sebagai persiapan menghadapi ‘perang tawar-menawar barang’.
Lalu sang penjual menurunkan sedikit harganya setelah ‘perang sengit’. Padahal
dia telah memperoleh keuntungan yang besar. Hal ini diharamkan menurut Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah.
e. Sang penjual berdusta bahwa dia kulakan
barang tersebut lebih mahal dari penawaran sang pembeli.
f. Iklan barang di berbagai media cetak atau
elektronik dengan sifat yang berlebihan dan ada unsur dusta, sehingga membuat
konsumen sangat tertarik untuk membelinya walau dengan harga yang sangat mahal.
Semua
jenis najsy di atas adalah haram, termasuk dalam hadits Ibnu ‘Umar c:
“Rasulullah
n melarang dari najsy.” (Muttafaqun ‘alaih)
SYARAT
KELIMA
Akad jual
beli dari pemilik barang atau yang menggantikan posisinya
Dalilnya
adalah firman Allah I:
“Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan harta di antara kalian
dengan cara yang batil kecuali berupa perdagangan yang diadakan atas keridhaan
masing-masing di antara kalian. Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian.
Sesungguhnya Allah Maha Pengasih terhadap kalian.” (An-Nisa`: 29)
Karena
itu tidak diperbolehkan meng-urusi harta orang lain tanpa seizin pemilik-nya.
Juga dengan dalil hadits:
“Janganlah
engkau menjual sesuatu yang bukan milikmu (tidak ada padamu).” (HR. Ahmad
3/401, 403 dan Ashhabus Sunan dengan sanad shahih, lihat Al-Irwa` no. 1292)
Adapun
pihak yang menggantikan posisi pemilik, terbagi menjadi 2 kategori:
1. Pihak yang diizinkan secara syar’i, yaitu
wali.
Wali ini
dibagi menjadi 2 macam:
a. Wali khusus, yaitu pihak yang mengurusi
harta anak kecil/yatim, orang gila, atau orang yang tidak bisa mengelola
hartanya.
b. Wali umum, yaitu pemerintah. Mereka
mengurusi hal-hal berikut:
– Harta benda yang tidak diketahui
pemiliknya.
– Harta anak yatim yang tidak mem-punyai wali
khusus yang mengurusi hartanya.
– Menjual harta/aset seseorang yang telah
wajib membayar hutangnya jika yang bersangkutan tidak mau menjual hartanya
untuk memenuhi kewajibannya.
2. Pihak yang diizinkan oleh sang pemilik
barang/harta.
Mereka
terdiri dari 3 jenis:
a. Al-Wakil, yaitu seseorang yang mengurusi
harta orang lain semasa hidupnya dengan izinnya.
b. Al-Washi, yaitu seseorang yang mengurusi
harta orang lain sepeninggalnya dengan izin atau wasiat darinya. Dalam masalah
ini ada catatan:
– Harta yang diurusi tidak boleh lebih dari
sepertiganya
– Diperbolehkan bagi salah seorang ahli waris
untuk menjadi al-washi
c. Pengurus harta wakaf, yaitu sese-orang yang
mengurus harta wakaf sesuai dengan kemaslahatannya. Orang yang seperti ini ada
2 jenis:
– Diberi
izin oleh pewakaf.
– Diberi
izin oleh pemerintah.
q Masalah
44:
Jika ada
seseorang datang lalu meng-ambil barang dagangan orang lain dan menjual barang
tersebut di depan sang pemilik. Kemudian dia menyerahkan uangnya kepada sang
pemilik dalam keadaan sang pemilik diam saja, tidak menyetujui dan tidak pula
menging-kari. Apakah jual belinya sah?
Ada
perbedaan pendapat di kalangan para ulama:
1. Jumhur
ulama berpendapat jual belinya tidak sah.
2. Ibnu
Abi Laila berpendapat jual belinya sah.
Yang
rajih adalah pendapat jumhur ulama, karena sang pemilik tidak memberi-nya izin.
Adapun sikap diamnya tidaklah menunjukkan keridhaan atau persetujuan-nya.
q Masalah
45:
Jual beli
fudhuli (orang yang melakukan tindakan spekulasi)
Fudhuli
adalah seseorang yang tidak memiliki barang, dan tidak pula diizinkan dalam
akad oleh sang pemilik barang.
Jika
seorang Fudhuli membeli atau menjual barang untuk seseorang tanpa seizin
pemiliknya, bagaimana hukumnya?
Dalam
masalah ini ada perbedaan pendapat:
1. Asy-Syafi’i dan satu riwayat dari Ahmad
menyatakan batalnya akad jual beli tersebut.
2. Jumhur ulama berpendapat bahwa akad itu
tergantung izin orang lain tersebut. Kalau dia mengizinkan maka sah, kalau tidak
maka tidak sah.
Yang
rajih adalah pendapat jumhur ulama, dengan dasar hadits ‘Urwah Al-Bariqi z, dia
berkata: “Rasulullah n memberiku 1 dinar agar aku membelikan beliau seekor
kambing. (Dengan uang itu) aku belikan 2 ekor kambing, lalu aku jual salah satunya
dengan harga 1 dinar. Lalu aku bawa kambing dan 1 dinar tadi kepada beliau n.
Maka diceritakan kepada beliau n perkara kambing tersebut, dan beliaupun
berdoa:
“Semoga
Allah I memberkahimu pada perdaganganmu.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah,
dihasankan Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/79)
Dalam
hadits di atas, ‘Urwah Al-Bariqi melakukan 2 tindakan fudhuli sekaligus:
1. Membeli 2 ekor kambing, padahal dia
diperintahkan untuk membeli 1 ekor kambing.
2. Menjual salah satunya.
Beberapa
Masalah Seputar Makelar/Broker
1. Apa
hukum upah makelar?
Jumhur
ulama berpendapat bahwa hal itu diperbolehkan, dengan dasar hadits Ibnu ‘Abbas
c riwayat Al-Imam Al-Bukhari, bahwa Rasulullah n melarang orang kota menjualkan
barang orang dusun. Maka Thawus bertanya kepada Ibnu ‘Abbas c: “Apa maksudnya?”
Beliau menjawab:
“Tidak
boleh (orang kota) jadi makelar-nya (orang dusun).”
Sisi
pendalilannya, jika orang kota dilarang menjadi makelar orang dusun, berarti
orang kota boleh menjadi makelar orang kota, orang dusun boleh menjadi makelar
orang dusun, dan orang dusun boleh menjadi makelar orang kota.
2. Apa
hukumnya mengambil upah yang diberikan perusahaan dagang tertentu (supplier)
kepada karyawan bagian pembelian dari perusahaan lain?
Tidak
diperbolehkan mengambil upah/uang tersebut kecuali dengan izin dari perusahaan
yang menugasinya. Wallahu a’lam. Demikian jawaban dari Syaikhuna Abdurrahman
Al-‘Adani hafizhahullah. Lihat juga Fatwa Al-Lajnah (13/126).
3. Karyawan bagian pembelian barang sebuah
perusahaan datang kepada perusahaan dagang lainnya (perusahaan pemasok
barang/sup-plier), lalu dia meminta kepada perusahaan tersebut agar menaikkan
harga barang dalam catatan notanya. Apa hukumnya?
Jawab:
Perbuatan di atas sangat jelas keharamannya, dan termasuk memakan harta orang
dengan kebatilan. Juga mengandung unsur menipu/membohongi perusahaannya
sendiri.
4. Si A memberikan uang kepada si B sejumlah
Rp. 100.000,- untuk membeli sebuah barang. Lalu si B membelinya dengan harga
Rp. 80.000,-
Si B
tidak boleh mengambil sisa uang itu kecuali dengan izin si A. Begitu pula kalau
si A menyuruh si B untuk menjual barang dengan harga Rp. 80.000,- lalu si B
menjualnya dengan harga Rp. 100.000,- maka si B tidak diperkenankan mengambil
kelebihan uang tersebut kecuali seizin si A.
5. Bolehkah menentukan upah makelar dengan 5%,
10%, atau semisal-nya?
Masalah
ini dijawab oleh Al-Lajnah Ad-Da`imah (13/129-130): “Bila memang ada
kesepakatan antara makelar, penjual dan pembeli, bahwa makelar akan mendapatkan
komisi dari penjual atau pembeli atau dari keduanya dengan prosentase tertentu,
maka diperbolehkan. Tidak ada batasan tertentu dalam hal ini. Ini tergantung
kesepakatan dan kerelaan dari pihak yang memberikan komisi tersebut. Namun
seyogyanya hal itu masih dalam batas keumuman yang ada di masyarakat, untuk
memberikan manfaat kepada makelar atas upaya dan usaha yang dia kerahkan dalam
menyelesaikan akad antara penjual dan pembeli. Juga tidak ada unsur merugikan
penjual atau pembeli dengan tambahan yang di luar kebiasaan. Wabillahit
taufiq.”
Ketua:
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Wakil: Asy-Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh,
Anggota: Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid dan Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan.
SYARAT
KEENAM
Barang
yang diperjualbelikan harus diketahui dengan cara dilihat atau dengan
kriteria/spesifikasinya
Masuk
pula dalam syarat ini: harga dan tempo harus diketahui. Syarat ini dijadikan
oleh sebagian ulama sebagai syarat ketujuh.
Kalimat
‘dengan cara dilihat’, mencakup barang yang harus dilihat keseluruhannya dan
barang yang bisa dilihat sebagiannya untuk mewakili lainnya.
Termasuk
di sini adalah yang mungkin diketahui dengan mencium, mendengar, dan
merasakannya.
q Masalah
46:
Menjual
barang tidak di tempat, yang tidak dilihat sebelumnya dan tidak diketahui
spesifikasinya.
Ada
perbedaan pendapat di kalangan ulama:
1. Jumhur ulama berpendapat tidak sah dan
tidak diperbolehkan, karena ada unsur gharar (penipuan). Mereka berhujjah
dengan hadits-hadits yang melarang hal tersebut, juga dengan ayat:
“Kecuali
berupa perdagangan yang diadakan atas keridhaan masing-masing di antara
kalian.”
Sementara
tidak mungkin tercapai kata saling ridha pada jual beli sesuatu yang tidak
diketahui jenisnya.
2. Abu Hanifah, satu riwayat Ahmad, satu
pendapat Asy-Syafi’i, dan yang dirajihkan Ibnu Taimiyyah, Asy-Syaukani dalam
As-Sail, serta Ibnu Utsaimin. Mereka berpendapat bahwa jual belinya sah, dan
sang pembeli punya khiyar (pilihan) untuk melihat barang tersebut. Mereka
berhujjah dengan atsar ‘Utsman bin ‘Affan z dalam masalah ini.
Yang
rajih adalah pendapat jumhur ulama. sedangkan atsar ‘Utsman bin ‘Affan
diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dengan sanad yang dha’if. Wallahu a‘lam, lihat
fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah (13/86-87).
q Masalah
47:
Jual beli
barang tidak di tempat namun diketahui spesifikasinya.
Ada
perbedaan pendapat di kalangan ulama:
1. Yang mashyur dari madzhab Asy-Syafi’i, satu
riwayat dari Ahmad, dan pendapat yang dipilih Asy-Syaukani dalam As-Sail, bahwa
jual beli tersebut tidak sah.
2. Ibrahim An-Nakha’i, Al-Hasan Al-Bashri,
Asy-Sya’bi, Makhul, Al-Auza’i, Ats-Tsauri, dan Ashabur Ra`yi berpedapat bahwa
jual belinya sah, dan sang pembeli punya hak khiyar (memilih untuk meneruskan
atau membatalkan) baik barangnya sesuai dengan kriteria ketika dilihat ataupun
tidak.
3. Malik, Ahmad, Ibnu Sirin, Ayyub, Ishaq, Abu
Tsaur, Ibnul Mundzir, Azh-Zhahiriyah, dan mayoritas ahlul Madinah berpendapat
bahwa jual belinya sah, dan sang pembeli punya hak khiyar bila barang tersebut
tidak sesuai dengan spesifikasi yang ditawarkan. Bila sesuai, maka dia tidak
punya hak khiyar.
Pendapat
terakhir inilah yang shahih dengan dasar hadits tentang masalah jual beli
sistem salam4. Wallahu a’lam.
q Masalah
48:
Jual beli
sampel/contoh
Maksudnya,
sang penjual membawa contoh barang yang hendak dijual, kemudian ditaruh di
tokonya atau etalase, di mana barang serupa masih banyak di gudang. Jika ada
pembeli datang dan membeli salah satu satu barang, maka dia ambilkan di gudang.
Dalam hal
ini ada perbedaan pendapat di antara ulama:
1. Yang mashyur dalam madzhab Hambali adalah
jual beli tersebut batil. Karena sang pembeli tidak melihat barang sesungguhnya
sewaktu akad.
2. Syafi’iyah berpendapat boleh bila contoh
yang dipajang termasuk barang yang dijual. Misalnya, ia memajang 1 gelas kaca,
sedangkan di gudang ada 11 barang lainnya. Bila dia menjual 1 lusin gelas tadi
maka sah, tapi kalau tidak mau menjual contoh-nya maka tidak sah.
3. Malikiyah, Hanafiyah, satu riwayat dari
Ahmad, dan yang dirajihkan oleh As-Sa’di dan Ibnu ‘Utsaimin: Jual belinya sah.
Dan inilah yang shahih, wallahu a‘lam.
q Masalah
49:
Jual beli
dengan orang buta
Ada
perbedaan pendapat di kalangan ulama:
1. Ulama Syafi’iyah menyatakan tidak sah,
sebab barang yang dijual harus dilihat.
2. Jumhur ulama berpendapat jual belinya sah.
Adapun untuk mengetahui barang bisa dengan cara meraba, mencium, merasakan atau
dengan gambaran yang disebutkan orang lain yang dia ridha.
Pendapat
ini yang benar, dengan dasar keumuman ayat:
“Padahal
Allah telah menghalalkan jual beli.” Wallahu a‘lam.
q Masalah
50:
Jual beli
dengan nomor
Maksudnya
sang penjual mencantum-kan harga masing-masing pada barang itu sendiri berikut
dengan nomornya.
Jawab:
Bila sang penjual dan pembeli mengetahui harga yang tergantung berupa nomor
pada barang tersebut, maka diperbo-lehkan tanpa ada perbedaan pendapat.
Termasuk
Syarat Jual Beli adalah Harga dan Tempo Diketahui
Dalil
untuk persyaratan tempo adalah firman Allah I:
“Hai
orang-orang yang beriman, apa-bila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (Al-Baqarah: 282)
Juga
dengan kesepakatan ulama yang dinukil oleh Ibnu Abdil Barr, begitu pula
An-Nawawi dengan ucapannya: “Para ulama sepakat bahwa tidak diperbolehkan jual
beli dengan harga tertentu sampai pada tempo yang tidak diketahui.”
q Masalah 51:
Hukum
tempo sampai panen atau dapat gaji bulanan
Ada
perbedaan pendapat di kalangan ulama:
1. Jumhur ulama berpendapat tidak sah jual
beli dengan cara pembayaran seperti ini. Sebab, gaji atau panen kadang
terlam-bat atau bahkan tidak ada sama sekali.
2. Malik, Abu Tsaur, dan satu riwayat dari
Ahmad, membolehkan sistem tempo dengan cara di atas. Sebab, secara kebiasa-an
waktunya diketahui yaitu akhir/awal bulan/tahun.
Yang
rajih adalah pendapat kedua. Wallahu a‘lam.
q Masalah
52:
Hukum
tempo hingga ada kemudahan
Ada
perbedaan pendapat di kalangan ulama:
1. Jumhur ulama berpendapat tidak sah. Sebab
tidak diketahui kapan tercapai-nya kemudahan.
2. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hazm, dipilih oleh
Ash-Shan’ani dan yang dirajihkan Ibnu ‘Utsaimin, bahwa sistem tersebut
diperbolehkan, dengan dalil berikut:
a. Firman Allah I:
“Dan
apabila ia memiliki kesusahan maka diberi tangguh hingga ia mendapatkan
kemudahan.”
b. Hadits
‘Aisyah, riwayat At-Tirmidzi (4/404), Ahmad (6/147) bahwa Rasulullah n membeli
2 baju dari orang Yahudi, hingga waktu maisarah (kemudahan).
Hadits
ini dimasukkan Asy-Syaikh Muqbil dalam Shahihul Musnad 2/488-489 dan beliau
berkata: “Hadits shahih atas syarat Syaikhain.”
Yang
rajih adalah pendapat kedua. Dan masalah ini menunjukkan kuatnya pendapat yang
dirajihkan pada masalah sebelumnya, karena waktu kemudahan lebih tidak dapat
dipastikan lagi. Wabillahit taufiq.
Adapun
alasan persyaratan ‘Harga harus diketahui nilai/ukurannya’ adalah sebagai
berikut:
a. Jual beli dengan harga yang tidak diketahui
termasuk sistem gharar (penipu-an). Dan hal itu terlarang, sebagaimana telah
dibahas sebelumnya.
q Masalah
53:
Jual beli
dengan harga “seperti yang dijual/dibeli si fulan”
Gambarannya,
sang pembeli berkata kepada sang penjual: “Berapa harga barang ini?” dan
dijawab: “Seperti yang dijual si fulan”, atau “Seperti harga pasaran”, atau
yang semisalnya, dalam keadaan sang pembeli tidak mengetahui harga pasarnya.
Masalah-masalah
ini ada perbedaan pendapat:
1. Jumhur ulama berpendapat, tidak sah karena
harga tidak diketahui (ada unsur gharar).
2. Satu sisi pendapat Ahmad yang dipilih oleh
Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim: diperbolehkan dan harganya dipatok berdasarkan
harga pasar barang tersebut.
Asy-Syaikh
Abdurrahman As-Sa’di t berkata: “Masalah ini dan yang semisalnya yang dikatakan
tidak diketahui atau diketahui, harus dilihat hakikatnya. Bila diyakini ada
unsur gharar maka dilarang. Kalau tidak ada maka hukum asalnya adalah boleh.”
Yang
rajih adalah pendapat kedua dengan rincian dari As-Sa’di. Sehingga bila harga
pasar baku/tidak berubah-ubah, maka tidak mengapa. Wallahu a‘lam.
Demikian
uraian singkat tentang perniagaan dalam Islam, bila persyaratan di atas
terpenuhi maka sah-lah akad jual beli itu. Namun bila salah satunya tidak
terpenuhi, maka berubah menjadi jual beli yang terlarang.
Bila
masalah-masalah di atas dipa-hami, maka pada edisi berikutnya kita akan
membahas seputar masalah khiyar dan riba untuk melengkapi pembahasan edisi ini,
insya Allah.
Wallahul muwaffiq.
Maraji’:
1. Syarah Buyu’ min Kitab Ad-Darari, karya
Syaikhuna Abdurrahman Al-‘Adani.
2. Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah, Kibarul Ulama
Kerajaan Saudi Arabia.
Catatan
Kaki:
1 Dalam
masalah ini ada pendapat lain yang membolehkan jual beli monyet jika bisa
dimanfaatkan, seperti untuk jaga toko. (Syarhul Buyu’, hal .18, -ed)
2 Hadits
ini dengan lafadz tersebut yaitu an-naas (manusia) dihukumi syadz
(ganjil/keliru) oleh Asy-Syaikh Al-Albani t. Riwayat yang benar adalah dengan
lafadz al-muslimun (kaum muslimin). Lihat Al-Irwa` (6/6-8). -ed
3 Makna
al-jadr adalah pangkal pohon korma atau penahan air, -ed.
4 Sistem
salam yaitu seseorang memberikan uang di majelis transaksi, dengan syarat nanti
penjual memberikan barang sesuai yang dipesan, sampai waktu tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar