Adab Jual Beli
(ditulis oleh: Al-Ustadz
Qomar Suaidi)
ADAB JUAL BELI
Secara garis besar, penghasilan itu ada pada tiga
kelompok: industri, pertanian atau peternakan, dan perdagangan (Faidhul Qadir,
1/547).
Namun dalam pembahasan kami lebih terfokus pada
perdagangan. Karena dengan perdagangan seseorang akan lebih banyak berinteraksi
dengan orang lain yang majemuk. Itu berarti seseorang perlu lebih berhati-hati.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, pun telah banyak memberikan bimbingannya
dalam masalah ini. Adapun perdagangan itu sendiri pada dasarnya hukumnya mubah
menurut Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan qiyas.
Allah subhanahu wata’ala, berfirman:
”Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
(Al-Baqarah: 275)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda:
الْبَيِّعَانِ
بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا
فِي بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
“Dua
orang yang bertransaksi jual beli itu punya hak khiyar (memilih) selama belum
berpisah. Bila keduanya jujur dan menerangkan (apa adanya), maka keduanya akan
diberi barakah dalam jual belinya. Tapi bila mereka berdusta dan menyembunyikan
(cacat) maka akan dihilangkan keberkahan jual beli atas keduanya.” (Shahih, HR.
Al-Bukhari dan Abu Dawud)
Para
ulama juga bersepakat atas mubahnya jual beli secara global. Qiyas juga
mendukungnya, karena kebutuhan manusia menuntut adanya jual beli. Di mana
kebutuhan manusia terkait dengan apa yang ada di tangan orang lain baik berupa
uang atau barang, dan seseorang tidak akan mengeluarkannya kecuali bila ada
tukar gantinya. Demi sampainya kepada tujuan tersebut maka dibolehkan berjual
beli. (Lihat kitab Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi)
Jadilah
Pedagang yang Bertakwa
Dari
Rifa’ah radiallahu anhu:
أَنَّهُ خَرَجَ مَعَ رَسُولِ اللهِ n إِلَى الْبَقِيعِ وَالنَّاسُ
يَتَبَايَعُونَ فَنَادَى: يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ. فَاسْتَجَابُوا لَهُ
وَرَفَعُوا إِلَيْهِ أَبْصَارَهُمْ، وَقَالَ: إِنَّ التُّجَّارَ يُبْعَثُونَ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ فُجَّارًا إِلاَّ مَنِ اتَّقَى وَبَرَّ وَصَدَقَ
Bahwasanya
ia keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, menuju Baqi’
sementara orang-orang sedang berjual beli. Maka beliau n berseru: “Wahai pada
pedagang.” Maka mereka menyambut seruan beliau dan mengarahkan pandangan mereka
kepadanya. Beliaupun berkata: “Sesungguhnya para pedagang pada hari kiamat
nanti akan dibangkitkan sebagai orang-orang yang jahat, kecuali orang yang
bertakwa, berbuat baik, dan jujur.” (HR. Ibnu Hibban, 11/277 no. 4910. Lihat
juga Shahih Jami’ Shaghir no. 1594)
Adab
dalam Mencari Rezeki
Agama
Islam dengan kelengkapannya dan keindahan ajarannya telah mengatur pemeluknya
untuk beradab dalam segala hal. Termasuk dalam melakukan transaksi jual beli
atau pinjam meminjam, atau bentuk muamalah yang lain. Agar seorang muslim
diridhai Allah subhanahu wata’ala, dalam usahanya dan terjaga dari tindak
kezaliman terhadap dirinya ataupun terhadap orang lain, hendaknya transaksi
yang dilakukan seseorang memenuhi empat perkara:
Sah menurut agama
Mengandung keadilan
Mengandung kebaikan
Sayang terhadap agamanya
Untuk itu
kami akan memberikan sedikit perincian atas empat hal tersebut agar seorang
muslim berada di atas pengetahuan tentang agamanya.
SAH MENURUT AGAMA
Sebuah
akad/transaksi dalam jual beli akan sah bila terpenuhi padanya syarat-syarat
pada tiga rukunnya. Tiga rukun itu adalah pelaksana akad, barang yang
diperjualbelikan, serta ijab dan qabul dalam akad jual beli.
Rukun
pertama: Pelaksana akad.
Dipersyaratkan
pada pelaksana akad beberapa hal:
Saling ridha antara keduanya, sehingga jual
beli tidak sah bila salah satunya melangsungkan akad jual beli karena dipaksa.
Sebab Allah subhanahu wata’ala, berfirman:
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama
suka (saling ridha) di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu;
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (An-Nisa’: 29)
Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, juga bersabda:
إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ
“Hanyalah
jual beli itu (sah) bila saling ridha di antara kalian.” (HR. Ibnu Majah, Ibnu
Hibban, dan Al-Baihaqi)
Lain
halnya bila pemaksaan itu dengan cara dan alasan yang benar maka jual beli
tetap sah. Semisal bila pemerintah/hakim memaksa seseorang untuk menjual
hartanya untuk membayar utangnya, maka itu adalah bentuk pemaksaan yang benar.
Disyaratkan pada dua belah pihak, pelaksana
akad adalah seorang yang boleh secara syar’i untuk ber-tasharruf
(bertransaksi), yaitu seorang yang merdeka bukan budak, mukallaf (di sini
bermakna baligh dan berakal), dan rasyid, yakni mampu membelanjakan harta
dengan benar. Sehingga tidak sah transaksi oleh anak kecil yang sudah mumayyiz
(kecuali pada barang yang sepele), safih (lawan dari rasyid), atau orang gila,
juga seorang budak yang tanpa seizin tuannya.
Pelaksana akad harus seseorang yang memiliki
barang yang diperjualbelikan, atau sebagai wakil darinya. Karena Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, berkata kepada Hakim bin Hizam z:
لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
”Jangan
kamu jual sesuatu yang bukan milikmu.”
Al-Wazir
mengatakan: ”Para ulama sepakat bahwa seseorang tidak boleh menjual barang yang
tidak berada dalam kekuasaannya dan bukan miliknya. Bila dia langsungkan
penjualan dan orangpun membelinya, maka batal dan tidak sah.”
Rukun
kedua: barang yang diperjualbelikan atau uang/alat tukarnya.
Dipersyaratkan
padanya tiga hal:
Sebagaimana sesuatu yang dibolehkan untuk
dimanfaatkan secara mutlak menurut syariat, maka tidak sah jual beli yang
diharamkan untuk dimanfaatkan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
bersabda:
إِنَّ اللهَ حَرَّمَ بَيْعَ الْمَيْتَةِ
والْخَمْرِ وَالْأَصْنَامِ
“Sesungguhnya
Allah mengharamkan jual beli bangkai, khamr (minuman keras), dan berhala.”
(Muttafaqun ‘alaihi)
Dalam
hadits yang lain:
وَإِنَّ اللهَ إذا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ
أَكْلَ شَيْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ
”Sesungguhnya
bila Allah haramkan atas sebuah kaum suatu makanan maka Allah haramkan juga
harganya.” (HR. Abu Dawud no. 3488, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Sunan
Abi Dawud)
Di antara
yang diharamkan untuk diperjualbelikan adalah khamr atau minuman keras,
bangkai, babi, patung, anjing, darah, air mani pejantan dan segala yang haram.
Demikian secara global, adapun perinciannya maka dibahas dalam bab hukum jual
beli.
Barang atau uang/alat tukarnya adalah
sesuatu yang berada dalam kekuasaan pelaksana akad. Bila tidak, maka hal itu
serupa dengan sesuatu yang tidak ada wujudnya. Atas dasar itu tidak sah jual
beli unta yang lari, burung di udara, atau yang semakna dengan itu.
Barang atau uang/alat tukar adalah sesuatu
yang diketahui kadarnya oleh kedua belah pihak. Karena ketidaktahuan adalah
bagian dari gharar (ketidakpastian) dan hal itu dilarang dalam agama. Sehingga
tidak boleh jual beli sesuatu yang tidak dapat dilihat atau sudah dilihat namun
belum dapat diketahui benar.
Rukun
ketiga: ijab dan qabul dalam akad/transaksi jual beli
Ijab
adalah lafadz yang diucapkan penjual semacam mengatakan: ”Saya jual barang
ini.”
Qabul
adalah lafadz yang diucapkan pembeli, semacam mengatakan: ”Saya beli barang
ini.”
Namun
terkadang ijab qabul ini bisa dilakukan dengan perbuatan, yaitu pedagang
memberikan barang dan pembeli memberikan uang, walaupun tanpa bicara. Atau
terkadang dengan ucapan dan perbuatan sekaligus.
Dengan
demikian, seorang muslim harus menghindari segala bentuk transaksi yang
melanggar aturan agama, karena segala yang menyalahi agama itu tertolak. Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ
أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
”Barangsiapa
yang mengamalkan suatu amalan yang tidak di atas ajaran kami maka itu
tertolak.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Ibnu
Rajab t menerangkan, di antara bentuk amalan yang tertolak dalam bidang jual
beli adalah semua akad/transaksi yang terlarang dalam syariat, baik disebabkan
karena barangnya tidak boleh diperjualbelikan, karena syaratnya tidak
terpenuhi, karena terjadi kezaliman (kerugian) bagi pihak pelaksana transaksi
dan pada barang yang ditransaksikan, atau karena akan menyibukkan dari dzikrullah
yang wajib saat waktunya terbatas (semacam saat khutbah Jum’at, pent.).
Beliau
menerangkan bahwa pendapat yang rajih (kuat) dalam hal hukum akad-akad
tersebut, bilamana larangannya terkait dengan hak Allah subhanahu wata’ala,
maka transaksi tersebut tidak sah, yakni tidak menjadikan berpindahnya
kepemilikan. Yang dimaksud dengan hak Allah subhanahu wata’ala, yakni larangan
itu tidak gugur dengan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi.
Bila
larangan tersebut terkait dengan hak orang tertentu, di mana larangan akan
gugur dengan kerelaannya, maka keabsahan akadnya tergantung dengan kerelaannya.
Kalau dia rela maka akadnya sah dan berakibat berpindahnya kepemilikan Jika
tidak rela, maka akad menjadi batal.
Contoh
ketentuan di atas, untuk bagian yang pertama adalah transaksi riba. Allah
subhanahu wata’ala, telah melarangnya dengan begitu keras. Maka transaksi riba
tidak mejadikan berpindahnya kepemilikan, dan syariat memerintahkan untuk
dikembalikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sendiri telah memerintahkan
seseorang yang menukarkan satu sha’ (2,76 kg) kurma dengan dua sha’ kurma untuk
mengembalikannya, walaupun mereka saling ridha (karena ini termasuk transaksi
riba fadhl).
Contohnya
juga menjual khamr (minuman keras), bangkai, babi, patung, anjing dan seluruh
yang dilarang untuk diperjualbelikan, yang tidak boleh saling rela antara kedua
belah pihak.
Contoh
untuk bagian kedua adalah membelanjakan harta orang lain tanpa seizin
pemiliknya. Sebagian ulama berpendapat bahwa semacam ini tidak batal
sepenuhnya, bahkan tergantung kepada izin pemilik. Jika ia izinkan maka sah,
dan jika tidak maka tidak sah.
Contohnya
juga jual beli mudallas (penipuan) seperti apa yang disebut Al-Musharrat
(membiarkan unta untuk tidak diperah susunya sehingga nampak gemuk dan susunya
banyak, lalu dijual), jual beli najsy (penawaran barang dari sebagian pihak
tapi bukan untuk membelinya namun untuk menipu pembeli lain), atau juga
talaqqir rukban (mencegat orang pedesaan yang tidak tahu harga lalu membeli
barang mereka sebelum sampai pasar). Hukum yang benar dari contoh-contoh tadi
bahwa keabsahan transaksi itu tergantung kepada izin atau kerelaan mereka yang
terzalimi atau dirugikan, karena telah terdapat riwayat yang shahih dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa dalam peristiwa Al-Musharrat bahwa beliau n
memberikan khiyar (hak memilih antara membatalkan atau meneruskan kepada
pembeli hewan tersebut). Sebagaimana beliau n juga memberikan hak khiyar kepada
para pedagang yang dari pelosok tersebut bila mereka telah sampai ke pasar (dan
mengetahui harga pasar). Ini semua menunjukkan bahwa transaksi dalam jenis ini
tidak batal begitu saja. (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam syarah hadits no. 5)
MENGANDUNG KEADILAN
Hendaknya
muamalah yang dia lakukan mengandung keadilan dan menjauhi kezaliman. Yang kami
maksud dengan kezaliman adalah suatu perbuatan yang dengannya orang lain
terugikan atau tersakiti, baik itu mengenai masyarakat umum atau yang mengenai
pihak tertentu. Demikian dijelaskan dalam kitab Mukhtashar Minhajul Qashidin.
Di antara
Bentuk Muamalah yang Mengandung Kezaliman
Ihtikar
Ihtikar
dalam bahasa kita berarti menimbun. Yang kami maksud dengan menimbun di sini
adalah bentuk tertentu darinya, yaitu menahan sesuatu yang merugikan atau mencelakakan
masyarakat, dengan tujuan menaikkan harga. (Mu’jam Lughatil Fuqaha’ karya
Qal’aji hal. 46)
Ibnu
Qudamah t menyebutkan beberapa syarat ihtikar yang diharamkan:
– Ia
membeli barang yang dia tahan tersebut dari daerah setempat bukan dari luar
daerah.
– Barang
tersebut adalah makanan pokok.
Namun
pendapat yang lebih kuat bahwa tidak dipersyaratkan harus berupa makanan pokok.
Bahkan segala sesuatu yang ditimbun dan dengan ditimbunnya menyusahkan
masyarakat umum maka tidak boleh, semacam menimbun BBM.
– Dengan
pembelian tersebut, manusia menjadi susah terkait barang tersebut. Jadi syarat
diharamkannya adalah bahwa saat itu orang-orang membutuhkannya. (Syarhul Buyu’
hal. 59 dengan diringkas)
Dari
Ma’mar dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, telah bersabda:
لاَ يَحْتَكِرُ إِلاَّ خَاطِئٌ
“Tidaklah
melakukan ihtikar (penimbunan barang) kecuali orang yang berdosa.” (Shahih, HR.
Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Abi Syaibah, dan Ibnu Hibban
dari sahabat Ma’mar z)
Ghisy
Ghisy
berarti menipu atau curang. Kata ini tentu bermakna sangat umum, sehingga
meliputi segala bentuk penipuan atau kecurangan dalam akad jual beli,
sewa-menyewa, pinjam-meminjam, gadai atau muamalah lainnya. Contoh konkretnya
adalah apa yang terjadi di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana
tersebut dalam hadits Abu Hurairah z berikut:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ n مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ
فِيْهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلًا، فَقَالَ: مَا هَذَا يَا صَاحِبَ
الطَّعَامِ؟ قَالَ: أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يا رَسُولَ اللهِ. قَالَ: أَفَلَا
جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَيْ يَرَاهُ النَّاسُ؛ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, melewati tumpukan makanan (yang dijual) lalu
beliau masukkan tangannya ke dalamnya maka mendapati tangan beliau basah. Maka
beliau mengatakan: “Ada apa ini wahai pemilik makanan ini?” “Terkena hujan, ya
Rasulullah,” jawabnya. Beliau mengatakan: “Tidakkah engkau letakkan di bagian
atas makanan itu supaya orang melihatnya? Orang yang menipu bukan dari golongan
kami.” (Shahih, HR. Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan
Ath-Thabarani)
Sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dalam hadits yang lain, dari Ibnu Mas’ud z,
ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda:
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا
وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي النَّارِ
“Barangsiapa
yang berbuat curang kepada kami maka dia bukan dari golongan kami, dan makar
serta penipuan itu di neraka.” (Hasan Shahih, HR. At-Thabarani dalam kitab
Mu’jam Al-Kabir dan Ash-Shaghir dengan sanad yang bagus dan Ibnu Hibban dalam
kitab Shahih-nya. Lihat Shahih At-Targhib, 2/159 no. 1768)
Tathfiif
Tathfiif
berarti mengurangi hak orang lain dalam takaran atau timbangan. Perbuatan ini
telah dilarang keras oleh Allah subhanahu wata’ala, dalam Al-Qur’an. Di
antaranya:
“Kecelakaan
besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila
menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka
menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah
orang-orang itu yakin, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu
hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Rabb semesta
alam?” (Al-Muthaffifin: 1-6)
Ibnu
Katsir t menafsirkan: “Yang dimaksud dengan tathfiif di sini adalah merugikan
timbangan. Bisa dengan melebihkan timbangan ketika seseorang meminta pelunasan
dari orang lain, atau dengan mengurangi timbangannya ketika sedang melunasi
mereka. Oleh karenanya, Allah menafsiri Al-Muthaffifin yang Dia ancam dengan
kerugian dan kebinasaan bahwa mereka adalah apabila menimbang dari manusia
mereka memenuhi timbangannya, yakni mengambil hak mereka sepenuhnya dan
melebihinya. Akan tetapi bila mereka menimbang untuk orang lain mereka
mengurangi. Sungguh Allah subhanahu wata’ala, telah memerintahkan untuk
memenuhi timbangan dan takaran. Allah subhanahu wata’ala, berfirman:
“Dan
sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar dan timbanglah dengan neraca yang
benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Al-Isra’:
35)
“Dan
sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban
kepada seseorang melainkan sekadar kesanggupannya.” (Al-An’am: 152)
“Dan
tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca
itu.” (Ar-Rahman: 9)
Allah
subhanahu wata’ala, juga telah membinasakan kaum Syu’aib dan menghancurkan
mereka ketika mereka mengurangi takaran atau timbangan manusia. Selanjutnya,
Allah berfirman mengancam mereka yang berbuat demikian (artinya): ‘Tidakkah
mereka yakin bahwa mereka bakal dibangkitkan pada hari yang agung.’ Yakni,
tidakkah mereka merasa takut untuk bangkit di hadapan Dzat Yang Maha mengetahui
rahasia dan isi qalbu pada hari yang sangat mengerikan, sangat menakutkan, dan
sangat menyusahkan? Barangsiapa yang merugi maka akan dimasukkan ke dalam
neraka. Firman-Nya (artinya) ‘Di hari manusia bangkit menghadap Rabb semesta
alam.’ Yakni saat mereka bangkit dalam keadaan tak beralas kaki, telanjang, dan
belum dikhitan. Dalam situasi yang sempit lagi susah bagi seorang yang berdosa,
ketetapan Allah subhanahu wata’ala, menyelimuti mereka. Sebuah keadaan yang
segala kemampuan dan panca indera tak mampu menghadapinya. Al-Imam Malik t
meriwayatkan dari Ibnu Umar c, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, bersabda: “Hari di mana orang-orang menghadap Rabb sekalian
alam, sampai-sampai seseorang tenggelam dalam keringatnya hingga pertengahan
telinganya.”1 (Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim)
As-Sa’di
t juga mengatakan dalam tafsirnya: “Allah subhanahu wata’ala, mengancam mereka
yang mengurangi timbangan, dan heran terhadap keadaan mereka serta tetapnya
mereka dalam keadaan ini. Maka Allah subhanahu wata’ala, berfirman (artinya):
‘Tidakkah orang-orang itu yakin, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan,
pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap
Rabb semesta alam?’ Berarti, yang membuat mereka berani untuk melakukan ini
adalah tidak imannya mereka kepada hari akhir. Karena, seandainya mereka beriman
dengannya dan tahu benar bahwa mereka akan dibangkitkan di hadapan-Nya, serta
Allah subhanahu wata’ala, akan menghitung amal mereka sedikit maupun banyak,
tentu mereka akan berhenti darinya dan bertaubat.” (Taisir Al-Karimirrahman)
Dari Ibnu
Abbas c, ia berkata:
لَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ n الْمَدِيْنَةَ كَانُوا مِنْ أَخْبَثِ
النَّاسِ كَيْلًا، فَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ {ﯖ ﯗ } فَأَحْسَنُوا الْكَيْلَ
بَعْدَ ذَلِكَ
“Ketika
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, datang ke Madinah dalam keadaan mereka
adalah orang-orang yang paling jahat dalam timbangan, maka Allah menurunkan
ayat (artinya): ‘Celakalah orang-orang yang mengurangi sukatan (takaran)’, maka
merekapun memperbaiki penimbangan mereka setelah itu.” (Hasan, HR. Ibnu Majah,
Ibnu Hibban dalam Shahih-nya dan Al-Baihaqi. Lihat Shahih At-Targhib, 2/157 no.
1760)
Dari Ibnu
Umar c, ia berkata:
أَقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللهِ n فَقَالَ: ياَ مَعْشَرَ الْمُهَاجِرِينَ،
خَمْسُ خِصَالٍ إِذَا ابْتُلِيْتُمْ بِهِنَّ -وَأَعُوذُ بِاللهِ أَنْ
تُدْرِكُوهُنَّ- …وَلَمْ يَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيْزَانَ إِلاَّ أُخِذُوا
بِالسِّنِينَ وَشِدَّةِ الْمُؤْنَةِ وَجَوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ…
Rasulullah
menghadap kami lalu mengatakan: “Wahai orang-orang Muhajirin, ada 5 perkara
bila kalian tertimpa dengannya –dan aku berlindung kepada Allah untuk kalian
tertimpa dengannya– …(lalu beliau mengatakan) dan tidaklah orang-orang
mengurangi takaran dan timbangan kecuali mereka tertimpa oleh paceklik,
kesusahan (dalam memenuhi) kebutuhan, dan kejahatan penguasa….” (Shahih Lighairihi,
HR. Ibnu Majah dan ini lafadz beliau, juga riwayat Al-Bazzar dan Al-Baihaqi.
Lihat Shahih At-Targhib, 2/157 no. 1761)
Najsy
Najsy
adalah menaikkan harga barang oleh orang yang tidak hendak membelinya dengan
cara menawarnya dengan harga yang tinggi, baik dengan tujuan menguntungkan
penjual, mencelakakan pembeli, atau hanya main-main.
Ibnu Abi
Aufa t mengatakan: “Orang yang melakukan najsy adalah pemakan riba dan
pengkhianat.”
Ibnu
Abdul Bar t mengatakan: “Ulama sepakat bahwa pelakunya bermaksiat kepada Allah
subhanahu wata’ala, bila tahu larangan tersebut.” (Lihat kitab Jami’ul ‘Ulum
Wal Hikam)
Larangan
yang dimaksud adalah sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah z, ia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللهِ n أَنْ يَبِيعَ حَاضِرٌ لِبَادٍ، وَلاَ تَنَاجَشُوا،
وَلاَ يَبِيعُ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ، وَلاَ يَخْطُبُ عَلَى خِطْبَةِ
أَخِيهِ، وَلاَ تَسْأَلُ الْمَرْأَةُ طَلَاقَ أُخْتِهَا لِتَكْفَأَ مَا فِي
إِنَائِهَا
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, melarang orang kota untuk menjualkan milik orang
pelosok, janganlah kalian saling melakukan najsy, janganlah seseorang menjual
atas penjualan saudaranya, jangan pula melamar atas lamaran saudaranya, dan
jangan pula seorang wanita meminta (suaminya) untuk menceraikan madunya demi
memenuhi bejananya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari, Muslim, dan At-Tirmidzi)
Bila
terjadi najsy, apakah jual beli tersebut sah? Jumhur ulama berpendapat bahwa
bilamana terjadi penipuan yang tidak wajar maka pembeli punya hak
khiyar/memilih. Tapi bila penipuannya tidak begitu besar maka pembeli tidak
punya hak khiyar. Oleh karenanya, pembeli semestinya juga berhati-hati dan
mencari informasi terlebih dahulu. (Lihat kitab Syarhul Buyu’ hal. 49)
Memaksa pihak lain
Yakni
jangan sampai berlangsung akad jual beli antara penjual dan pembeli kecuali
keduanya saling ridha. Ini merupakan syarat sahnya jual beli. Islam
mengharuskan demikian karena Islam hendak menghindarkan tindak kezaliman pada
manusia. Sehingga tidak halal bagi seseorang mengambil harta orang lain yang
keluar tanpa kerelaannya.
Dalam
hadits disebutkan:
لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ
إِلاَّ بِطِيْبِ نَفْسٍ مِنْهُ
“Tidak
halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan dari jiwanya.” (Shahih, HR.
Abu Dawud. Lihat Shahih Jami’: 7662)
Tentang
keharusan saling ridha ini Allah subhanahu wata’ala, berfirman:
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama
suka di antara kamu.” (An-Nisa’: 29)
Dalam hadits
Abu Hurairah z, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda:
لَا يَفْتَرِقَنَّ اثْنَانِ إِلاَّ عَنْ
تَرَاضٍ
“Janganlah
sekali-kali keduanya (yakni penjual dan pembeli) berpisah kecuali saling
ridha.” (Hasan Shahih, HR. Abu Dawud, Shahih Sunan Abi Dawud no. 3458)
Dari Abu
Said Al-Khudri z ia berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda:
إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ
“Jual
beli itu hanyalah jika saling ridha.” (Shahih, HR. Ibnu Majah, lihat Shahih
Al-Jami’ no. 2323)
Menyembunyikan aib
Seorang
muslim diharuskan untuk berkata dan berbuat jujur dalam segala perbuatannya,
termasuk tentunya dalam jual beli. Jika ia jujur maka Allah subhanahu wata’ala,
akan berikan barakah dalam transaksi mereka. Sebaliknya, bila tidak maka
keberkahan itu akan dicabut oleh Allah subhanahu wata’ala,. Disebutkan dalam
hadits dari Hakim bin Hizam z, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, bersabda:
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ
يَتَفَرَّقَا -أَوْ قَالَ: حَتَّى يَتَفَرَّقَا- فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا
بُورِكَ لَهُمَا في بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ
بَيْعِهِمَا
“Penjual
dan pembeli itu punya hak khiyar (memilih antara membatalkan atau tidak) selama
mereka belum berpisah -atau: sehingga keduanya berpisah-. Bila keduanya jujur
dan menerangkan, maka akan diberkahi jual beli mereka. Namun bila keduanya
menyembunyikan serta berdusta maka akan dicabut keberkahan jual beli mereka.”
(Shahih, HR. Al-Bukhari dan Abu Dawud)
Ulama
telah bersepakat tentang haramnya menyembunyikan aib dan bahwa pelakunya
berdosa. Adapun aib yang dimaksud adalah semua aib atau cacat yang terdapat
pada barang/produk yang dijual dan terhitung mengurangi barang tersebut atau
mengurangi harganya dengan kadar kekurangan yang menghilangkan tujuan
(pembelian). Sehingga boleh dikembalikan bila biasanya pada barang sejenis
tidak ada aib/cacat semacam itu. (lihat Syarhul Buyu’ hal. 98, 99)
Oleh
karenanya, para ulama menetapkan adanya khiyar aib yakni hak khiyar yang disebabkan
karena adanya cacat, walaupun cacat tersebut baru diketahui setelah sekian
waktu. (lihat Syarhul Buyu’ hal. 102)
Gharar
Gharar
adalah sesuatu yang tersembunyi atau belum diketahui akhirnya apakah akan
menguntungkan atau akan merugikan. Jual beli yang mengandung unsur gharar
semacam ini dilarang. Para ulama sepakat akan dilarangnya hal itu, karena Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda dalam hadits dari Abu Hurairah z, ia
berkata:
نَهَى رَسُولُ اللهِ n عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“Rasulullah
melarang jual beli hashat2 dan melarang jual beli gharar.” (Shahih, HR. Muslim)
Di antara
gambaran jual beli gharar, seseorang menjual hewannya yang lari atau barang
yang tertutup dan belum diketahui isinya, menjual hewan yang masih dalam
kandungan kecuali bila bersama induknya, atau apa saja yang memiliki kriteria
di atas. Kecuali bila unsur gharar itu sangat sedikit dan sudah dimaklumi
semacam menyewa kamar mandi, tentu kadar air yang dipakai tidak sama antara
satu pemakai dengan yang lain. (lihat Syarhul Buyu’ hal. 24)
Termasuk
yang demikian bila menjual ikan yang masih dalam kolam, sementara kolamnya
dalam dan besar sehingga sulit untuk mengetahui ikan yang berada di dalamnya.
Oleh karenanya, ulama hanya membolehkannya bila terpenuhi tiga syarat:
Ikan itu benar-benar milik si penjual
Air tidak dalam sehingga mata dapat melihat
dan mengetahui perkiraan jumlah ikan.
Memungkinkan untuk diambil.
Menahan gaji pegawai
Bilamana
pekerja telah melakukan pekerjaannya, maka gaji merupakan haknya yang harus
dipenuhi. Tidak halal bagi majikan untuk menahan gaji pekerja/karyawannya.
Disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah z, dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, bahwa beliau n bersabda:
قَالَ اللهُ تَعَالَى: ثَلَاثَةٌ أَنَا
خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ؛ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ، وَرَجُلٌ بَاعَ
حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ، وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ
وَلَمْ يُعْطِهِ أَجْرَهُ
“Allah
subhanahu wata’ala, berfirman: ‘Tiga golongan manusia, Aku menjadi lawannya di
hari kiamat; seseorang yang bersumpah (kepada orang lain) dengan nama Allah
lalu mengkhianati, seseorang yang menjual orang merdeka lalu memakan hasil
penjualannya, dan seseorang yang menyewa pekerja lalu ia mengambil penuh pekerjaannya
tapi ia tidak memberikan gajinya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari)
Menjual pada penjualan sesama muslim
Begitu
pula membeli pada pembelian sesama muslim. Jadi larangan tersebut mencakup baik
penjualan maupun pembelian.
Gambarannya
adalah seseorang datang kepada dua orang yang sedang melangsungkan akad jual
beli, di mana jual beli telah terjadi namun keduanya masih dalam tempo khiyar
majelis3. Keduanya belum berpisah, maksudnya keduanya masih punya hak
pembatalan, karena masih dalam punya hak pembatalan, karena masih dalam satu
majelis belum berpisah. Kemudian orang itupun mengatakan kepada pembeli:
‘Batalkan saja jual belinya, saya akan beri kamu barang yang sama dengan harga
yang lebih murah’ atau ‘harga sama namun barangnya lebih bagus’.
Atau
mengatakan kepada penjual: ‘Batalkan saja penjualannya, nanti saya akan
membelinya darimu dengan harga yang lebih mahal.’
Dilarang
pula menawar pada penawaran saudaranya. Gambarannya sama dengan di atas akan
tetapi belum terjadi jual beli antara kedua belah pihak, namun keduanya sudah
tawar menawar dan sudah sama-sama cocok. Lalu datanglah pihak ketiga dan
mengatakan semacam ucapan di atas.
Hal ini
dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,, karena di samping merugikan,
juga akan menyebabkan pertikaian. Disebutkan dalam hadits dari Abdullah bin
Umar c, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda:
لَا يَبِيعُ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ
أَخِيهِ
“Janganlah
seseorang dari kalian menjual/membeli atas penjualan/pembelian saudaranya.”
(Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dari Abu
Hurairah z bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda:
لَا يَسُمِ الْمُسْلِمُ عَلَى سَوْمِ
أَخِيهِ
“Janganlah
seorang muslim menawar pada penawaran saudaranya.” (Shahih, HR. Muslim).
Wallahu a’lam bish-shawab.
1 Hadits
ini diriwayatkan pula oleh Al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad.2 Hashat berarti
kerikil. Di antara contoh jual beli hashat adalah pembeli melemparkan sebuah
kerikil ke sekumpulan baju. Maka baju manapun yang terkena, itulah yang dibeli
dengan harga yang telah disepakati.
3 Adapun
setelah khiyar majelis maka terjadi perbedaan pendapat di antara ulama.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar