Jual Beli Barang Yang Belum Dikuasai
Feb 23, 2017 | Asy Syariah Edisi 114, Problema Anda |
Ada calon pembeli pesan barang kepada penjual. Sudah
terjadi kesepakatan harga, namun pembeli belum melakukan pembayaran. Kemudian
penjual membeli barang dimaksud ke pemilik barang/supplier. Terjadi transaksi
antara penjual dan supplier, lantas penjual membayar ke supplier. Barang
dikirim ke penjual, kemudian penjual mengirimnya ke pembeli. Apakah model
transaksi ini dibenarkan oleh syariat?
Dijawab oleh al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini
Model transaksi yang digambarkan pada pertanyaan di
atas tidak dibolehkandalam syariat yang agung ini, karena tergolong transaksi
jual beli barang yang belum dimiliki.
Telah terjadi kesepakatan harga barang antara penjual
dan pembeli meskipun belum dibayar. Artinya, telah terjadi akad transaksi jual
beli antara keduanya padahal penjual belum punya barangnya. Setelah transaksi
itu barulah penjual membeli barang tersebut kepada pemilik barang/supplier,
lantas barang itu dikirim ke pembeli dan minta dikirim bayarannya.
Sebagian berdalih bahwa dirinya adalah wakil pemilik
barang/supplier dan telah terjadi pembicaraan untuk menjualkan barangnya. Akan
tetapi, realitasnya adalah setelah dia bertransaksi dengan pembeli, dia baru
menghubungi pemilik barang/supplier untuk membeli darinya barang yang telah
dipesan oleh pembeli.
Transaksi yang dilakukan antara penjual dan supplier—setelah
penjual melakukan transaksi dengan pembeli—menunjukkan bahwa sesungguhnya dia
bukan wakil, dan dia telah menjual barang yang tidak dimilikinya.
Yang
namanya wakil adalah orang diamanati sebagai wakil pemilik barang untuk
menjualkan barangnya kepada pembeli yang mau, dengan kesepakatan tertentu
antara pemilik barang dengan wakil mengenai harga jual dan jasanya sebagai
wakil dalam melariskan barangnya.
Misalkan,
wakil dipersilakan menjual di atas harga yang ditetapkan supplier dan
selisihnya sebagai jasanya, atau wakil diberi kebebasan menentukan harga jual
lantas ia diberi jasa sekian persen dari harga jual itu. Jadi, transaksi yang
terjadi hanya satu kali, yaitu antara pembeli dengan wakil pemilik barang.
Adapun
mengaku sebagai wakil, tetapi setelah bertransaksi dengan pembeli ia pun
bertransaksi dengan pemilik barang sesuai yang diinginkan pembeli, itu bukan
perwakilan. Itu namanya menjual sesuatu yang belum dimiliki dan hal itu haram.
Di antara
syarat jual beli adalah transaksi dilakukan oleh pemilik barang atau wakilnya.
Begitu pula, di antara syarat jual beli adalah menjual sesuatu yang telah
dikuasai penuh sehingga mampu diserahkan kepada pembeli. Apabila kedua syarat
ini dilanggar, berarti ia menjual sesuatu yang tidak dimiliki dan termasuk
dalam kategori gharar (spekulasi judi) yang merupakan transaksi yang batil.
Terdapat
nash dalam as-Sunnah yang menetapkan syarat kepemilikan barang, yaitu hadits
Hakim bin Hizam radhiallahu ‘anhu,
يَارَسُولَ اللهِ، يَأْتِينِيْ الرَّجُلُ
فَيُرِيدُ مِنِّي الْبَيْعَ لَيْسَ عِنْدِيْ، أَفَأَبْتَاعُهُ لَهُ مِنَ السُّوقِ؟
فَقَالَ: لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
“Wahai
Rasulullah, seorang pria datang kepadaku lalu ia ingin bertransaksi jual beli
denganku yang tidak kumiliki. Apakah boleh aku belikan untuknya dari pasar?”
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kamu jangan menjual apa yang tidak
kamu miliki.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi—dengan berkata, “Hadits ini
hasan”—, an-Nasa’i, Ibnu Majah, dan lainnya. Dinilai sahih oleh al-Albani)[1]
Terdapat
tiga pendapat yang berbeda dalam menafsirkan hadits ini yang dinukil oleh Ibnu
Taimiyah dan dinukil darinya oleh muridnya, Ibnul Qayyim, dalam Zadul Ma’ad.[2]
Tafsir
yang dianggap paling tampak kebenarannya oleh Ibnul Qayyim rahimahullah adalah
larangan penjualan sesuatu yang disifatkan dalam dzimmah/tanggung jawab tanpa
penentuan fisik barangnya (bersifat mutlak) yang tidak dimiliki dan tidak mampu
diserahkan kepada pembeli.
Dengan
akad itu berarti penjual telah mengeruk laba sebelum dia memiliki barangnya,
sebelum menjadi tanggung jawabnya, dan sebelum mampu ia serahkan. Ini termasuk
dalam kategori jual beli yang mengandung gharar (spekulasi judi).
Apabila
hadits ini melarang penjualan sesuatu yang disifatkan dalam dzimmah/tanggung
jawab (bersifat mutlak), lebih terlarang lagi tidak boleh menjual sesuatu
barang yang telah ditentukan fisik barangnya (bersifat mua’yyan) yang merupakan
harta benda milik orang lain.
Ibnu
Qayyim al-Jauziyah rahimahullah menjelaskan bahwa spekulasi (mukhatharah) ada
dua macam:
Spekulasi perdagangan.
Seseorang
membeli barang dagangan dengan maksud berdagang dan meraih laba, dan ia bertawakal
kepada Allah subhanahu wa ta’ala pada perdagangannya. Pedagang yang
berspekulasi dengan membeli barang dagangan, kemudian harganya turun di pasaran
(sehingga pedagang rugi), hal seperti itu Allah subhanahu wa ta’ala yang
mengaturnya, tidak ada upaya manusia atas hal ini.
Pada
perdagangan ini, pihak pembeli tidak terzalimi oleh penjual (ketika mengambil
untung dari penjualannya).
Spekulasi perjudian.
Ini
adalah spekulasi adu nasib yang mengandung perbuatan memakan harta secara
batil. Lantas Ibnul Qayyim menyebutkan contoh-contohnya.
Kemudian
Ibnul Qayyim menegaskan pula bahwa penjualan sesuatu yang tidak dimiliki adalah
termasuk kategori perjudian/mengadu nasib. Dalam hal ini pembeli tidak tahu
bahwa penjual telah menjual kepadanya suatu barang yang tidak dimilikinya, lalu
ia membelinya dari orang lain setelah itu. Jika orang banyak mengetahui hal
itu, mereka tidak akan mau membeli darinya. Tentu saja mereka akan pergi
sendiri ke tempat ia membelinya.
Jenis ini
bukan spekulasi para pedagang yang berdagang, melainkan spekulasi orang yang
terburu-buru menjual suatu barang sebelum ia berkemampuan menyerahkannya kepada
pembeli. Apabila pedagang telah membeli barang yang ingin diperdagangkannya dan
telah menggenggam dan menguasainya, hal itu masuk dalam kategori spekulasi
perdagangan. Dia menjualnya dalam perdagangan sesuai dengan yang Allah
subhanahu wa ta’ala halalkan pada firman-Nya,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا
تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً
عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ
‘Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta di antara
kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan rela sama rela di antara kalian.’ (an-Nisa’: 29)”[3]
Dari
keterangan Ibnul Qayyim rahimahullah di atas, kita ketahui bahwa kendati
seseorang telah memiliki suatu barang dengan membelinya melalui akad yang
sempurna, barang itu belum boleh ia jual kembali kepada siapapun hingga ia
kuasai secara penuh, karena masih mengandung gharar (spekulasi judi). Sebab,
selama ia belum menguasainya secara penuh, boleh jadi penjual menyerahkan
kepadanya dan boleh jadi tidak.
Apalagi
jika penjual melihatnya telah mengeruk laba dari barang itu sebelum diangkut
dari tempatnya, sehingga ia berusaha membatalkan akad dengan mengingkari atau
rekayasa pembatalan.
Di
samping itu, dikhawatirkan pula timbul kebencian/permusuhan antara keduanya.
Inilah sebab/faktor dilarangnya hal itu dilarang—menurut pendapat yang
rajih—sebagaimana telah ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu ‘Utsaimin.
Jadi,
untuk bisa menjual barang belian itu, ia terlebih dahulu harus
menggenggamnya/menguasainya secara penuh dengan cara mengangkutnya/memindahnya
dari tempat penjual ke tempatnya, seperti rumah, toko, atau semisalnya.
Dalilnya adalah:
Hadits Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu,
ia berkata,
إِنَّ رَسُولَ اللهِ نَهَى أَنْ تُبَاعَ
السِّلَعُ حَيْثُ تُبْتَاعُ حَتَّى يَحُوزَهَا التُّجَّارُ إِلَى رِحَالِهِمْ
“Sesungguhnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang penjualan barang-barang
dagangan di tempat dibelinya barang-barang itu hingga para pedagang
mengangkutnya ke rumah-rumah mereka.” (HR. Abu Dawud, dinyatakan hasan oleh
al-Albani dengan penguatnya)[4]
Hadits Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, ia
berkata,
قَدْ رَأَيْتُ النَّاسَ فِي عَهْدِ
رَسُولِ اللهِ إِذَا ابْتَاعُوا الطَّعَامَ جِزَافًا يُضْرَبُونَ فِيْ أَنْ
يَبِيعُوهُ فِي مَكَانِهِمْ، وَذَلِكِ حَتَّى يُؤْوُوهُ إِلَى رِحَالِهِمْ
“Sungguh,
aku telah menyaksikan di masa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila
mereka membeli makanan dengan system borong, mereka dipukul[5] karena
menjualnya di tempat pembeliannya, hingga mereka mengangkutnya ke rumah-rumah
mereka.” (Muttafaq ‘alaih)
Namun,
jika pembeli telah mengangkutnya/memindahnya dari tempat penjual ke tempat lain
yang berada di luar wewenang penjual, hal itu sudah cukup.
Ini
adalah pendapat jumhur ulama yang difatwakan oleh al-Lajnah ad-Da’imah (yang
saat itu diketuai oleh Ibnu Baz). Hal ini ditunjukkan oleh hadits Ibnu ‘Umar
radhiallahu ‘anhuma di atas pada riwayat Muslim lainnya dengan lafadz,
كُنَّا نَشْتَرِي الطَّعَامَ مِنَ
الرُّكْبَانِ جِزَافًا، فَنَهَانَا رَسُولُ اللهِ أَنْ نَبِيعَهُ حَتَّى
نَنْقُلَهُ مِنْ مَكَانِهِ
“Kami
membeli makanan dari para pedagang asing dengan system borong, maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami menjualnya hingga kami
mengangkutnya dari tempatnya.”
Pada
riwayat Muslim lainnya dengan lafadz,
كُنَّا فِي زَمَانِ رَسُولِ اللهِ
نَبْتَاعُ الطَّعَامَ، فَيَبْعَثُ عَلَيْنَا مَنْ يَأْمُرُنَا بِانْتِقَالِهِ مِنَ
الْمَكَانِ الَّذِي ابْتَعْنَاهُ فِيهِ إِلَى مَكَانٍ سِوَاهُ قَبْلَ أَنْ
نَبِيعَهُ
“Pada
zaman Rasulullah, kami membeli makanan, lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengutus kepada kami petugas yang memerintahkan agar barang itu diangkut
dari tempat kami membelinya ke tempat lain sebelum kami menjualnya.”
Al-Imam
Ahmad rahimahullah pada salah satu riwayat darinya mengkhususkan hukum ini
berlaku pada makanan. Beliau berdalil dengan hadits Jabir bin ‘Abdillah
radhiallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا ابْتَعْتَ طَعَامًا فَلَا تَبِعْهُ
حَتَّى تَسْتَوْفِيَهُ
“Apabila
engkau membeli makanan, jangan engkau jual hingga engkau mengangkutnya ke
tempatmu.” ( HR. Muslim)
Menurut
pendapat ini, jika membeli binatang, kendaraan, perabot rumah, dan semacamnya
selain makanan, boleh dijual lagi walaupun di tempat transaksi.
Namun,
pendapat ini lemah. Yang rajih, hukum ini umum meliputi seluruh jenis barang.
Ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, asy-Syafi’i, dan riwayat
lain dari Ahmad, yang dipilih Ibnu ‘Aqil, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim,
asy-Syaukani, ash-Shan’ani, dan al-‘Utsaimin.
Dalilnya
adalah keumuman makna hadits Zaid bin Tsabit yang telah disebutkan sebelumnya
dan hadits Hakim bin Hizam radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا اشْتَرَيْتَ بَيْعًا فَلاَ تَبِعْهُ
حَتَّى تَقْبِضَهُ
“Jika
kamu membeli suatu barang, jangan kamu jual hingga kamu menggenggamnya.” (HR.
Ahmad, an-Nasa’i, dan Ibnu Hibban; dinyatakan sahih oleh al-Albani)[6]
Hanya
saja, untuk harta yang bersifat tetap (tidak bergerak), seperti tanah, rumah,
gedung, dan semacamnya, penggenggamannya dilakukan dengan cara takhliyah
(pembeli dipersilakan dan dibiarkan dengan harta itu secara bebas tanpa ada
penghalang).[7]
Buah di
pohon boleh dijual setelah takhliyah meskipun belum dipetik, menurut riwayat
terkuat dari Ahmad yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu ‘Utsaimin. Sebab,
menggenggam buah di pohon selama masa penantian waktu panen adalah di luar
kemampuan pembeli.
Ini
seperti dibolehkannya penyewa suatu barang untuk menyewakannya kepada orang
lain setelah diserahkan kepadanya, padahal tanggung jawab harta itu—pada kedua
masalah ini—masih di tangan pemiliknya.
Ibnu Taimiyah
memperkecualikan dua perkara yang dibolehkan kendati belum digenggam/dikuasai
penuh, yaitu,
menjualnya kembali kepada penjual itu
sendiri
menjualnya kepada orang lain secara
tauliyah (kembali modal), tidak mengeruk keuntungan sepeser pun.
Alasannya,
illat/faktor hukum larangan itu ternafikan pada kedua masalah ini.
Sementara
itu, Ibnu ‘Utsaimin tidak menyetujui pengecualian tersebut, karena illat hukum
tersebut adalah hasil ijtihad semata, yang mungkin benar dan mungkin pula
keliru. Jadi, ia tidak kuat untuk dijadikan alasan pengkhususan sebagian
masalah keluar dari keumuman makna nash.
Yang
terbaik adalah menetapkan keumuman makna hadits tanpa pengecualian apapun demi
mengikuti lahiriah hadits. Tentu saja, apa yang dikatakan Ibnu ‘Utsaimin lebih
hati-hati. Wallahu a’lam.[8]
[1] Lihat
kitab al-Irwa’ no. 1292.
[2] Lihat
kitab ZadulMa’ad (5/811—813)
[3] Lihat
kitab Zadul Ma’ad (5/816).
[4] Lihat
kitab Shahih Sunan Abi Dawud (no. 3499).
[5] Yakni
sebagai hukuman agar jera.
[6] Lihat
kitab Shahih al-Jami’ (no. 342).
[7]
Misalnya, jika harta itu berupa rumah, caranya ialah diberi kuncinya.
[8] Lihat
kitab Syarhu Muslim lin Nawawi (pada “Bab Buthlan Bai’ al-Mabi’I Qabla
al-Qabdhi”), Fathul Bari (pada “Bab Bai’ ath-Tha’am Qabla an Yuqbadha”),
al-Mughni (6/181—184, 186—191, 194), al-Ikhtiyarat (hlm. 187—188), Nailul
Authar (pada “Bab Nahyi al-Musytari ‘an Bai’ Ma Isytarahu Qabla Qabdhihi”),
as-Sail al-Jarrar (3/15—16), Subulus Salam, Fathu Dzil Jalal wal Ikram (pada
“Bab Syuruthihi wa Ma Nuhiya ‘anhu” syarah hadits Abu Hurairah radhiallahu
‘anhu dan hadits Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu), asy-Syarh al-Mumti’
(8/366—372, 376—380, 385—387), dan Fatawa al-Lajnah (13/ 240, 247, 258—259).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar