Apr 23, 2012 | Asy Syariah Edisi 062 |
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyyah)
Bila kebersamaan dalam ikatan pernikahan tidak mungkin lagi dipertahankan, dipilihlah jalan perpisahan yang disebut perceraian. Namun, perceraian atau talak hendaknya menjadi solusi terakhir, setelah solusi yang lain tidak membawa hasil, karena bagaimana pun perceraian itu pahit! Adapun hadits yang disandarkan kepada Rasulullah n:
ﺃَﺑْﻐَﺾُ ﺍﻟْﺤَﻼَﻝِ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠﻪِ ﺍﻟﻄَّﻼَﻕُ
“Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Al-Hakim dari Ibnu Umar c)
adalah hadits yang mursal. Oleh karena itu, hadits ini dilemahkan oleh al-Imam al-Albani t dalam Dha’iful Jami’ (no. 44) dan Irwa’ul Ghalil (no. 2040).
Maksud kami di sini tidaklah membahas masalah talak secara umum, namun hanya membicarakan talak terkaitan dengan haid. Mungkin Anda bertanya, apa hubungannya talak dengan haid? Pembicaraan berikut ini akan memperjelasnya.
Talak yang Dijatuhkan dalam Masa Haid
Karena ketidaktahuan tentang hukum syariat, ada suami yang menjatuhkan talak kepada istrinya dalam keadaan istrinya tidak bisa menghadapi iddahnya secara wajar akibat sedang haid, atau dalam keadaan suci namun sudah pernah dicampuri suaminya dalam masa suci tersebut, sehingga masih menjadi tanda tanya apakah ia hamil atau tidak. Menjatuhkan talak dalam dua keadaan ini disebut talak bid’ah karena menyelisihi sunnah. Atau, disebut pula talak yang diharamkan, dan ini lebih sesuai dengan istilah fuqaha.
Sebenarnya bagaimana hukum menjatuhkan talak dalam masa haid? Untuk mendapatkan kejelasannya kita melihat perincian berikut ini.
1. Talak Dijatuhkan Sebelum Dukhul1
Seorang suami menjatuhkan talak atas istrinya dalam keadaan ia belum pernah bercampur dengan si istri. Bahkan, sekadar berkhalwat (berduaan) sekali pun belum pernah ia lakukan, padahal istri tersebut dalam keadaan haid.
Dalam kasus ini ahlul ilmi terbagi dalam dua pendapat:
Pertama: Suami boleh menjatuhkan talak bila belum dukhul dengan istri yang dinikahi, karena tidak ada talak sunnah dan talak bid’ah dalam keadaan ini. Ini pendapat mayoritas ulama.
Mereka berdalil dengan:
1. Firman Allah l:
“Tidak ada kewajiban membayar mahar atas kalian, jika kalian menceraikan istri-istri kalian sebelum kalian bercampur dengan mereka dan sebelum kalian menentukan maharnya.” (al-Baqarah: 236)
2. Firman Allah l:
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi wanita-wanita yang beriman, kemudian kalian menceraikan mereka sebelum kalian mencampurinya maka sekali-kali tidak ada kewajiban beriddah atas mereka yang kalian minta untuk disempurnakan.” (al-Ahzab: 49)
Dalam dua ayat di atas, Allah l membolehkan suami menalak istri yang belum dicampurinya tanpa memberikan ketentuan waktu dijatuhkannya talak. (al-Muhalla, 9/366)
Allah l juga menerangkan bahwa istri yang ditalak sebelum dukhul tidak menjalani iddah, padahal sebab dilarangnya menalak istri yang sudah dukhul di masa haidnya berarti akan memperpanjang masa iddahnya. Adapun bila istri yang belum dukhul dicerai, tidak ada masa iddahnya2. (al-Mughni, kitab ath-Thalaq, Mas’alah: Qala: Walau Qala laha wa Hiya Haidh wa lam Yadkhul biha ….)
Kedua: Haram menjatuhkan talak. Ini adalah pendapat Zufar3 dari ulama Hanafiah dan Asyhab4 dari Malikiah.
Argumen keduanya adalah dilarangnya menalak istri yang sedang haid, baik sudah dukhul maupun belum. (al-Hidayah wa Fathul Qadir 3/474, al-Muntaqa 3/96)
Yang rajih/kuat dari dua pendapat yang ada adalah pendapat jumhur karena kuatnya dalil mereka.
2. Talak Dijatuhkan Setelah Dukhul
Ahlul ilmi bersepakat bahwa seorang suami diharamkan menjatuhkan talak dalam masa haid kepada istrinya yang telah dukhul. Kesepakatan akan haramnya hal ini dinyatakan oleh Ibnu Qudamah t dalam kitabnya al-Mughni (kitab ath-Thalaq, Fashl: Ath Thalaq ‘ala Khamsati Adhrub).
Sebab pengharamannya adalah sebagai berikut.
1. Suami tersebut telah menyelisihi perintah Allah l dalam firman-Nya:
“Wahai Nabi, apabila kalian menceraikan istri-istri kalian maka hendaklah kalian ceraikan mereka pada waktu mereka dapat menghadapi iddahnya yang wajar.” (ath-Thalaq: 1)
Perintah “hendaklah kalian ceraikan mereka pada waktu mereka dapat menghadapi iddahnya vang wajar” dalam ayat di atas menunjukkan wajib. Terlebih lagi, Allah l teruskan ayat tersebut dengan menyatakan:
“Dan hendaklah kalian menghitung iddah tersebut dan bertakwalah kalian kepada Allah Rabb kalian.” (ath-Thalaq: 1)
Allah l juga berfirman:
“Itu adalah batasan/hukum-hukum Allah, maka siapa yang melampaui/melanggar hukum-hukum Allah, sungguh ia telah menzalimi dirinya sendiri.” (ath-Thalaq: 1)
Semua ini menekankan bahwa perintah Allah l agar suami menalak istrinya dalam keadaan ia bisa menghadapi iddahnya dengan wajar merupakan perintah yang wajib. Barang siapa yang melanggar kewajiban berarti ia jatuh dalam keharaman.
Suami tersebut juga telah melanggar sunnah Rasulullah n. Ketika sampai berita kepada Rasulullah n bahwa Ibnu Umar c menalak istrinya dalam keadaan haid, beliau n marah. Beliau n bersabda kepada Umar ibnul Khaththab z, sang ayah, yang menanyakan perihal putranya:
ﻭَﺇِﻥْ ﺷَﺎﺀَ ﻃَﻠَّﻖَ ﻗَﺒْﻞَ ﺃَﻥْ ﻳَﻤُﺲَّ ﻓَﺘِﻠْﻚَ ﺍﻟْﻌِﺪَّﺓُ ﺍﻟَّﺘِﻲ ﺃَﻣَﺮَ ﺍﻟﻠﻪُ k ﺃَﻥْ ﻳُﻄَﻠَّﻖَ ﻟَﻬَﺎ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀُ
“Jika ia mau, ia talak istrinya sebelum ia gauli (di masa sucinya), dan itulah iddah yang Allah l perintahkan untuk menalak istri-istri di masa tersebut (bagi yang ingin menalak).” (HR. al-Bukhari no. 5251 dan Muslim no. 3637)
2. Talak suami atas istrinya dalam masa haid akan memperpanjang iddah si istri, karena haid yang sedang dialaminya tidak terhitung dalam iddahnya. (Mughnil Muhtaj, 4/525)
Menurut Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih al-Utsaimin t, ada dua hikmah pengharaman talak dalam masa haid.
Pertama: Biasanya, bila istri sedang haid dan si suami terhalangi menggaulinya maka di hati si suami tidak ada rasa cinta kepada si istri dan tidak ada kecenderungan kepadanya. Terlebih lagi bila si istri termasuk wanita yang tidak suka mubasyarah5 ketika haid, karena memang ada wanita yang merasa sempit dadanya/gerah apabila sedang haid hingga membenci suaminya dan tidak suka bila suaminya mendekatinya. Apabila si suami menalak istrinya dalam keadaan seperti ini berarti ia menalaknya dalam keadaan tidak suka kepada si istri. Bila si istri dalam keadaan suci sehingga ia bisa istimta’6 dengannya, bisa jadi ia mencintai si istri dan tidak ingin menalaknya. Oleh karena itulah, sangat tepat bila suami tidak menjatuhkan talak saat istrinya haid. Hendaknya si suami membiarkannya atau menangguhkannya hingga ia suci.
Kedua: Apabila suami menalak istri ketika haid, maka haid yang sedang dialaminya tersebut tidak terhitung sebagai iddah. Akibatnya, ia harus menanti tiga kali haid yang sempurna guna menjalani iddahnya. Hal itu tentu akan memudaratkan si istri karena panjangnya iddah yang harus dijalaninya. (asy-Syarhul Mumti’, 13/46)
Sahkah Talak ketika Istri Haid?
Masalah ini diperselisihkan oleh ulama. Ada yang berpendapat jatuh talak sebagaimana pendapat jumhur ulama, dan ada yang berpendapat talak tidak jatuh, bahkan si wanita tetap statusnya sebagai istri. Demikian pendapat sekelompok fuqaha (ahli fiqih) salaf, di antaranya Thawus7, Ikrimah8, dan Hajjaj bin Arthah9. Pendapat ini yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah10 dan muridnya, Ibnul Qayyim11, rahimahumullah.
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih al-Utsaimin t berkata, “Talak yang dijatuhkan pada istri ketika sedang haid diperselisihkan oleh ulama (sah atau tidak). Perdebatan dalam masalah ini cukup panjang: apakah talak yang seperti ini teranggap talak madhi (talak yang dijalankan/diberlakukan), ataukah talak laghwi (talak yang tidak teranggap).
Jumhur ulama berpandangan, talak ini adalah talak madhi dan terhitung bagi yang melakukannya sebagai satu talak. Akan tetapi, si suami diperintahkan kembali kepada istrinya (rujuk) dan membiarkan istrinya sampai ia suci dari haid tersebut, kemudian menanti haidnya yang kedua sampai ia suci kembali (dari haid yang kedua). Setelah itu, jika si suami mau, ia tetap menahan istrinya dalam ikatan pernikahan dengannya, dan kalau ia mau bisa menceraikannya. Ini pendapat yang dipegang jumhur ulama, di antaranya adalah imam yang empat: al-Imam Ahmad, asy-Syafi’i, Malik, dan Abu Hanifah.
Akan tetapi, pendapat yang rajih/kuat menurut kami adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t, yaitu talak yang dijatuhkan dalam keadaan si istri haid tidak sah dan tidak diberlakukan, karena menyelisihi perintah Allah l dan Rasul-Nya n. Rasulullah n bersabda:
ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﻋَﻤَﻼً ﻟَﻴْﺲَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺃَﻣْﺮُﻧَﺎ ﻓَﻬُﻮَ ﺭَﺩٌّ
“Siapa yang mengamalkan suatu amalan tidak di atas perintah kami maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim no. 4468)
Dalil pendapat ini adalah hadits Abdullah ibnu Umar c ketika ia menalak istrinya dalam keadaan haid, lalu hal tersebut disampaikan kepada Nabi n. Beliau n pun bersabda kepada Umar ibnul Khaththab z yang menanyakan perihal putranya:
ﻣُﺮْﻩُ ﻓَﻠْﻴُﺮَﺍﺟِﻌْﻬُﺎ، ﺛُﻢَّ ﻟْﻴَﺘْﺮُﻛْﻬَﺎ ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﻄْﻬُﺮَ ﺛُﻢَّ ﺗَﺤِﻴْﺾَ ﺛُﻢَّ ﺗَﻄْﻬُﺮَ، ﺛُﻢَّ ﺇِﻥْ ﺷَﺎﺀَ ﺃَﻣْﺴَﻚَ ﺑَﻌْﺪُ ﻭَﺇِﻥْ ﺷَﺎﺀَ ﻃَﻠَّﻖَ ﻗَﺒْﻞَ ﺃَﻥْ ﻳَﻤُﺲَّ
“Perintahkan dia agar kembali kepada istrinya kemudian ia biarkan sampai istrinya suci kemudian datang haid berikutnya lalu suci lagi, setelah itu jika ia mau ia tetap tahan istrinya dalam pernikahan dan jika mau maka ia ceraikan.” (HR. al-Bukhari no. 5251 dan Muslim no. 3637)
Nabi n bersabda menutup hadits di atas:
ﻓَﺘِﻠْﻚَ ﺍﻟْﻌِﺪَّﺓُ ﺍﻟَّﺘِﻲ ﺃَﻣَﺮَ ﺍﻟﻠﻪُ k ﺃَﻥْ ﻳُﻄَﻠَّﻖَ ﻟَﻬَﺎ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀُ
“Itulah iddah yang Allah perintahkan untuk menalak istri di masa tersebut (bagi yang ingin menalak).”
Iddah yang Allah l perintahkan bila suami ingin menalak istrinya adalah si suami menjatuhkan talak dalam keadaan si istri suci dan belum pernah digauli dalam masa suci tersebut. Berdasarkan hal ini, jika si suami menalak istrinya dalam keadaan haid berarti si suami tidak menalaknya di atas perintah Allah l. Oleh karena itu, apa yang dilakukannya tersebut tertolak. Dengan demikian, talak yang dijatuhkan atas istri tersebut kami pandang tidaklah sebagai talak yang dijalankan (yakni tidak sah)12 sehingga si istri tetap dalam ikatan pernikahan dengan suaminya. Tahu atau tidaknya si suami tentang keadaan istri yang ditalaknya sedang suci ataukah tidak, sama sekali tidaklah teranggap (hukumnya sama saja). Akan tetapi, bila ia tahu istrinya sedang tidak suci namun ia tetap menalaknya, ia berdosa dan talaknya tidaklah jatuh. Apabila ia tidak tahu, talak yang dijatuhkannya tidak terjadi dan tidak ada dosa bagi si suami.” (Fatawa asy-Syaikh Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin, 2/794—795)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Catatan Kaki:
1 Si suami belum sempat berdua-duaan dengan istri yang dinikahinya, apalagi menggaulinya.
2 Karena tidak ada masa iddah, suami tidak bisa rujuk begitu saja. Akan tetapi, dia harus memperbarui pernikahan, sebagaimana kata Ibnul Mundzir t, “Ahlul ilmi bersepakat, siapa yang menalak istrinya dengan talak satu sebelum ia dukhul dengannya berarti si istri pisah darinya (seperti talak ba’in) dan tidak halal kembali dengannya kecuali dengan nikah yang baru.” (al-Isyraf, 5/187)
3 Zufar ibnul Hudzail bin Qais al-Anbari, seorang ahli fiqih, murid besar Abu Hanifah. Tadinya ia ahlul hadits, namun kemudian terpengaruh ra’yu/akal. Ia menjabat sebagai qadhi (hakim) di negeri Bashrah dan wafat tahun 158 H.
4 Asyhab bin Abdil Aziz bin Dawud bin Ibrahim. Asyhab adalah gelarnya, sedangkan namanya adalah Miskin. Beliau adalah puncak pimpinan fatwa dan fiqih di Mesir setelah Ibnul Qasim. Al-Imam asy-Syafi’i mengatakan, “Aku belum pernah melihat orang yang lebih faqih daripada Asyhab.” Beliau wafat tahun 204 H.
5 Bermesraan dengan suami selain jima’ pada kemaluan.
6 Bernikmat-nikmat dengan istri.
7 Thawus bin Kisan al-Khaulani al-Yamani, seorang imam, alim yang masyhur, dan salah seorang fuqaha tabi’in. Beliau wafat di Makkah tahun 106 H.
8 Ikrimah bin Abdillah, maula Ibnu Abbas, salah seorang fuqaha tabi’in dan fuqaha negeri Makkah. Asalnya adalah penduduk Barbar. Beliau wafat tahun 107 H.
9 Hajjaj bin Arthah bin Tsaurah bin Hubairah bin Syarahil an-Nakha’i al-Kufi al-Qadhi, seorang yang faqih dan salah seorang mufti Kufah, wafat tahun 145 H.
10 Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, 33/7, 22, 81, 98.
11 Zadul Ma’ad, 3/44—51.
12 Di antara argumen mereka yang berpendapat bahwa talak tidak jatuh adalah perintah Rasulullah n kepada Ibnu Umar c untuk kembali kepada istrinya. Kalau kita katakan terjadi talak dalam masa haid tersebut dan terhitung satu talak, rujuk keduanya tidak akan menghilangkan mafsadat bahkan menambahnya. Rujuk tersebut teranggap sesuatu yang memperbanyak talak, karena bila si suami kembali kepada istrinya setelah ia talak dalam masa haid sementara ia tidak memiliki keinginan lagi kepada si istri (tidak suka), lalu ia ingin menalaknya kelak setelah masa suci, berarti ia telah menjatuhkan dua talak (sementara talak yang bisa dirujuk atau talak raj’i hanya dua, bila sampai talak dijatuhkan yang ketiga kalinya niscaya si suami tidak bisa kembali lagi pada istrinya).
Syariat menyukai agar jumlah talak itu dikurangi bukan ditambah. Oleh karena itu, syariat mengharamkan seorang suami menjatuhkan talak tiga sekaligus atas istrinya. (asy-Syarhul Mumti’, 13 /49)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar