Asuransi
Nov 16, 2011 |
Asy Syariah Edisi 029 |
(ditulis oleh:
Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin)
Dalam praktik
bisnis pada umumnya, pembeli kebanyakan dalam posisi dirugikan. “Kaidah” ini
tak terkecuali juga berlaku pada sistem asuransi. Pencairan klaim yang
dipersulit adalah contoh persoalan paling klise yang banyak dialami tertanggung
atau pemegang polis. Namun yang namanya pertaruhan, tak ada yang mau dirugikan
begitu saja. Banyak juga kasus di mana tertanggung dengan sengaja membakar atau
menghilangkan aset miliknya menjelang habis masa pertanggungan demi memperoleh
klaim. Bagaimana Islam menyoroti “perjudian” bernama asuransi ini? Simak
kupasannya!
Asuransi
Asuransi yang
jenisnya kian beragam pada masa sekarang, sebenarnya dapat diklasifikasikan
menjadi tiga: asuransi sosial, asuransi ta’awun (gotong-royong), dan asuransi
tijarah (bisnis).
Asuransi Sosial
Biasanya,
asuransi jenis ini diperuntukkan bagi pegawai pemerintah, sipil maupun militer.
Sering juga didapati pada karyawan swasta. Gambarannya, pihak perusahaan
memotong gaji karyawan setiap bulan dengan persentase tertentu dengan tujuan:
1. Sebagai tunjangan hari tua (THT), yang
biasanya uang tersebut diserahkan seluruhnya pada masa purna tugas seorang
karyawan. Terkadang ditambah subsidi khusus dari perusahaan.
2. Sebagai bantuan atau santunan bagi mereka
yang wafat sebelum purna bakti, diserahkan kepada ahli waris atau yang
mewakili.
3. Sebagai pesangon bagi karyawan yang pensiun
dini.
Pemotongan gaji
dengan tujuan di atas yang dilakukan oleh pemerintah atau sebuah perusahaan adalah
murni untuk santunan bagi karyawan, bukan dalam rangka dikembangkan untuk
mendapatkan laba (investasi).
Hukum asuransi
jenis ini dengan sistem seperti yang tersebut di atas adalah boleh, termasuk
dalam bab ta’awun (tolong-menolong) dalam kebaikan. Allah l berfirman:
وَتَعَاوَنُوا
عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan
tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al-Ma`idah: 2)
Rasulullah n
bersabda:
وَاللهُ
فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ
“Dan Allah
selalu menolong seorang hamba selama dia selalu menolong saudaranya.” (HR.
Muslim no. 3391 dari Abu Hurairah z)
Upaya di atas
termasuk dalam bab ihsan (berbuat baik) kepada sesama. (Fatawa Al-Lajnah
Ad-Da`imah, 15/284, dan Syarhul Buyu’ hal. 38)
Bila potongan
gaji tersebut dimasukkan dalam investasi dan menghasilkan penambahan nominal
dari total nilai gaji yang ada, maka tidak boleh (haram), karena termasuk
memakan harta orang lain dengan cara kebatilan. Allah l berfirman:
وَلَا
تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
“Dan janganlah
sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil.” (Al-Baqarah:
188)
Maka tidak ada
hak bagi karyawan tadi kecuali nominal gajinya yang dipotong selama kerja.
Allah l berfirman:
وَإِنْ
تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
“Dan jika kalian
bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kalian tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Al-Baqarah: 279)
Namun bila
nominal tambahan tersebut telah diterima oleh sang karyawan dalam keadaan tidak
mengetahui hukum sebelumnya, maka boleh dimanfaatkan. Allah l berfirman:
فَمَنْ
جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى
اللهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang
yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil
riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan);
dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba),
maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
(Al-Baqarah: 275)
Bila dia
mengambilnya atas dasar ilmu (yakni mengetahui) tentang keharamannya, dia wajib
bertaubat dan mensedekahkan ‘tambahan’ tadi.
Wallahu a’lam
bish-shawab. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, 15/261)
Asuransi Ta’awun
(Gotong Royong)
Asuransi ini
dibangun dengan tujuan membantu dan meringankan pihak-pihak yang membutuhkan
atau yang terkena musibah. Gambarannya, sejumlah muhsinin menyerahkan saham
dalam bentuk uang yang disetorkan setiap pekan atau bulan dengan nominal
tertentu atau semampunya, kepada yayasan/lembaga yang menangani musibah,
bencana dan orang yang membutuhkan.
Biasanya, saham
akan dihentikan untuk sementara bila jumlah uang dirasa sudah cukup dan tidak
terjadi bencana atau musibah yang menyebabkan kas menipis atau membutuhkan
suntikan dana. Saham-saham dalam bentuk uang itu sendiri tidak dikembangkan
dalam bentuk investasi. Dan asuransi ini murni dibangun di atas dasar
kemanusiaan bukan paksaan.
Contoh di
lapangan yang disebutkan oleh Syaikhuna Abdurrahman Al-‘Adni hafizhahullah
adalah asuransi gotong royong pada perkumpulan angkutan kota atau bis (di mana
kendaraan-kendaraan itu milik pribadi, bukan milik sebuah perusahaan). Caranya,
masing-masing anggota menyetorkan sejumlah nominal tak tertentu, setiap
pekan/bulan, kepada salah seorang yang mereka tunjuk untuk membantu anggota
mereka yang kecelakaan atau terkena musibah. Setoran tersebut bersifat sukarela
dan tidak mengikat, dengan nominal beragam dan dihentikan bila dirasa sudah
cukup dan tidak ada musibah.
Mengenai
asuransi jenis ini, para ulama anggota Al-Lajnah Ad-Da`imah dan anggota Kibarul
Ulama Kerajaan Saudi Arabia telah melakukan pertemuan ke-10 di kota Riyadh pada
bulan Rabi’ul Awwal 1397 H. Hasilnya, mereka sepakat bahwa ta’awun ini
diperbolehkan dan bisa menjadi ganti dari asuransi tijarah (bisnis) yang
diharamkan, dengan beberapa alasan berikut:
1. Asuransi ta’awun termasuk akad
tolong-menolong untuk membantu pihak yang terkena musibah, tidak bertujuan
bisnis atau mengeruk keuntungan dari harta orang lain. Tujuannya hanyalah
membagi beban musibah tersebut di antara mereka dan bergotong royong
meringankannya.
2. Asuransi ta’awun ini terlepas dari dua
jenis riba: fadhl dan nasi`ah. Akad para pemberi saham tidak termasuk akad riba
serta tidak memanfaatkan kas yang ada untuk muamalah-muamalah riba.
3. Tidak mengapa bila pihak yang memberi saham
tidak mengetahui secara pasti jumlah nominal yang akan diberikan kepadanya bila
dia terkena musibah. Sebab, mereka semua adalah donatur (muhsinin), tidak ada
pertaruhan, penipuan, atau perjudian.
Kemudian mereka
memberikan usulan-usulan kepada pemerintah Kerajaan Saudi Arabia seputar
masalah sosialisasi asuransi ta’awun ini. Lihat uraian panjang tentang masalah
ini dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah (15/287-292).
Sementara
Syaikhuna Abdurrahman Al-‘Adni menyayangkan dua hal yang ada pada yayasan atau
lembaga yang menangani asuransi ini, yaitu:
1. Menaruh uang-uang tersebut di bank-bank
riba tanpa ada keadaan yang darurat.
2. Memaksa para muhsinin untuk menyetorkan
saham mereka.
Wallahu a’lam.
(Syarhul Buyu’, hal. 39)
Asuransi Tijarah
(Bisnis)
Asuransi ini
biasanya lekat dengan para pelaku usaha dan orang yang memiliki harta berlebih,
namun bisa juga bermuamalah dengan pihak manapun.
Gambaran sistem
asuransi ini adalah pihak nasabah membayar nominal (premi) tertentu kepada
perusahaan/lembaga asuransi setiap pekan atau bulan atau tahun, atau setiap
order, atau sesuai kesepakatan bersama, dengan ketentuan bila terjadi kerusakan
atau musibah maka pihak lembaga asuransi menanggung seluruh biaya ganti rugi.
Dan bila tidak terjadi sesuatu, maka setoran terus berjalan dan menjadi milik
lembaga asuransi.
Asuransi jenis
ini murni bisnis. Karena biasanya, mereka akan lepas tangan ketika terjadi peristiwa
yang “dianggap” luar biasa (force majeur) –peperangan misalnya– yang
mengakibatkan kerugian yang sangat besar.
Ringkasnya,
orang yang terbelit asuransi ini akan menghadapi pertaruhan dengan dua
kemungkinan: untung atau rugi.
Untuk asuransi
jenis ini, para ulama masa kini berikut perkumpulan-perkumpulan fiqhiyah umiyah
semacam Rabithah ‘Alam Islami, Hai`ah Kibarul Ulama, tercakup di dalamnya
anggota Al-Lajnah Ad-Da`imah Kerajaan Saudi Arabia, serta lembaga-lembaga
keislaman yang lainnya baik di dunia Arab maupun internasional, telah
bersepakat menyatakan keharaman asuransi jenis ini. Kecuali beberapa gelintir
orang saja yang membolehkan dengan alasan keamanan harta benda.
Berikut ini
beberapa argumentasi yang disebutkan oleh Hai`ah Kibarul Ulama pada ketetapan
mereka no. 55 tanggal 4/4/1397 H, tentang pengharaman asuransi bisnis di atas:
1. Asuransi bisnis termasuk pertukaran harta
yang berspekulasi tinggi dengan tingkat pertaruhan yang sangat parah. Sebab,
pihak nasabah tidak tahu berapa nominal yang akan dia berikan nanti dan berapa
pula nominal yang bakal dia terima. Bisa jadi, dia baru menyetor sekali atau
dua kali, lalu terjadi musibah sehingga dia menerima nominal (nilai
pertanggungan) yang sangat besar sesuai dengan kejadiannya. Namun mungkin pula
dia menyetor terus menerus dan tidak terjadi apa-apa, sehingga perusahaan
asuransi meraup keuntungan besar. Padahal Rasulullah n telah melarang sistem
jual beli gharar (yang mengandung unsur pertaruhan).
2. Asuransi bisnis termasuk salah satu jenis
perjudian, dan termasuk dalam keumuman firman Allah l:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ
وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang
yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan.”
(Al-Ma`idah: 90)
3. Asuransi ini mengandung riba fadhl dan riba
nasi`ah. Rinciannya sebagai berikut:
q Bila lembaga
asuransi memberikan kepada tertanggung atau ahli waris yang bersangkutan
melebihi nominal yang disetorkan, maka ini adalah riba fadhl.
q Bila lembaga
asuransi menyerahkannya setelah waktu yang berselang lama dari akad, maka ia
juga terjatuh dalam riba nasi`ah.
q Namun bila
perusahaan tersebut menyerahkan nominal yang sama dengan jumlah setoran
nasabah, tetapi setelah selang waktu yang lama, maka dia terjatuh dalam riba
nasi`ah saja.
Kedua jenis riba
di atas adalah haram dengan nash dalil dan kesepakatan ulama.
4. Asuransi ini termasuk jenis
pegadaian/perlombaan yang diharamkan, karena mengandung pertaruhan, perjudian,
dan penuh spekulasi. Pihak tertanggung memasang pertaruhan dengan
setoran-setoran yang intensif, sedangkan pihak lembaga asuransi pertaruhannya
dengan menyiapkan ganti rugi. Siapa yang beruntung maka dia yang mengambil
pertaruhan pihak lain. Mungkin terjadi musibah dan mungkin saja selamat
darinya.
5. Asuransi ini mengandung upaya memakan harta
orang lain dengan cara kebatilan. Allah l berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan
yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka
di antara kalian.” (An-Nisa`: 29)
6. Dalam asuransi ini terdapat tindakan
mengharuskan sesuatu yang tidak ada keharusannya secara syariat. Pihak lembaga
asuransi diharuskan membayar semua kerugian yang dialami pihak nasabah, padahal
musibah itu tidak berasal dari lembaga asuransi tersebut atau disebabkan
olehnya. Dia hanya melakukan akad asuransi dengan pihak nasabah, dengan jaminan
ganti rugi yang diperkirakan terjadi, dengan mendapatkan nominal yang
disetorkan pihak nasabah. Tindakan ini adalah haram.
Kemudian para
ulama tersebut membantah satu per satu argumentasi pihak yang membolehkan
asuransi ini dengan uraian yang panjang lebar, yang dibukukan dalam Fatawa
Al-Lajnah Ad-Da`imah (15/275-287, juga 15/246-248). Lihat juga dalam Syarhul
Buyu’ (hal. 38-39).
Syaikhuna
Abdurrahman Al-‘Adni hafizhahullah menjelaskan bahwa sistem asuransi jenis ini
awal mulanya bersumber dari Zionis Yahudi di Amerika. Dan ketika melakukan
penjajahan terhadap wilayah-wilayah Islam, mereka memasukkan aturan ini ke
tengah-tengah kaum muslimin. Semenjak itulah asuransi ini tersebar dengan
beragam jenis dan modus. Wallahul musta’an.
Fatwa Ulama
Seputar Asuransi
Al-Lajnah
Ad-Da`imah pernah ditanya tentang beragam jenis asuransi dengan soal yang
terperinci. Berikut ini pertanyaannya secara ringkas:
“Ada yang
meminta fatwa tentang jenis asuransi berikut:
1. Asuransi barang ekspor impor (pengiriman
barang): per tahun atau setiap kali mengirim barang dengan jaminan ganti rugi
kerusakan kargo laut, darat ataupun udara.
2. Asuransi mobil (kendaraan) dengan beragam
jenis dan mereknya: Disesuaikan dengan jenis mobil, penggunaannya sesuai
permintaan, dengan jaminan ganti rugi semua kecelakaan, baik tabrakan,
terbakar, dicuri, atau yang lain. Juga ganti rugi untuk pihak nasabah yang
mengalami musibah dan atau kecelakaan yang ada.
3. Asuransi ekspedisi darat: Untuk pengiriman
dalam dan luar negeri dengan setoran intensif tahunan per ekspedisi, dengan
ganti rugi total bila terjadi musibah.
4. Asuransi harta benda: Seperti ruko,
pertokoan, pabrik, perusahaan, perumahan, dan sebagainya, dengan ganti rugi total
bila terjadi kebakaran, pencurian, banjir besar, dll.
5. Asuransi barang berharga: Seperti cek,
surat-surat penting, mata uang, permata, dsb, dengan ganti rugi total bila
terjadi perampokan/pencurian.
6. Asuransi rumah dan villa/hotel.
7. Asuransi proyek, baik proyek pembangunan
ataupun pabrik dan semua jenis proyek.
8. Asuransi tata kota
9. Asuransi tenaga kerja
10. Asuransi jiwa atau kejadian-kejadian
pribadi seperti asuransi kesehatan (askes) dan pengobatan.
Itu semua dengan
menyetor uang secara intensif dengan nominal yang disepakati bersama.”
Al-Lajnah
Ad-Da`imah menjawab bahwa semua jenis asuransi dengan sistem di atas adalah
haram, dengan argumentasi yang telah disebutkan di atas. Ketua: Asy-Syaikh
Abdul Aziz bin Baz, Wakil: Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi, Asy-Syaikh Abdullah
bin Qu’ud. (Fatawa Al-Lajnah, 15/243-248)
Masalah 1:
Bolehkah asuransi masjid?
Al-Lajnah
Ad-Da`imah menjawab (15/258-259):
“Asuransi bisnis
adalah haram, baik itu asuransi jiwa, barang, mobil, tanah/rumah, walaupun itu
adalah masjid atau tanah wakaf. Karena mengandung unsur jahalah
(ketidaktahuan), pertaruhan, perjudian, riba, dan larangan-larangan syar’i
lainnya.”
Ketua:
Asy-Syaikh Ibnu baz, Wakil: Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi, Anggota: Asy-Syaikh
Ibnu Qu’ud dan Asy-Syaikh Ibnu Ghudayyan.
Masalah 2: Askes
(Asuransi Kesehatan)
Al-Lajnah
Ad-Da`imah pernah ditanya tentang asuransi kesehatan dengan sistem berikut:
1. Asuransi pengobatan
Ketentuannya,
pihak yang ikut serta dalam program kesehatan tersebut menyerahkan nominal
tertentu yang disepakati bersama, dan dia akan mendapatkan pelayanan serta
diskon berikut:
a. Pemeriksaan kesehatan selama menjadi
anggota maksimal 3 kali sebulan
b. Diskon 5% untuk pembelian obat
c. Diskon 15% untuk operasi di salah satu
rumah sakit tertentu
d. Diskon 20% untuk tes kesehatan dan
pelayanan apotek
e. Diskon 5% untuk pemasangan gigi.
Nominal setoran
580 real Saudi, dan bila anggota keluarga ikut semua maka setoran per kepala
475 real Saudi.
2. Asuransi kehamilan dan kelahiran
Cukup dengan
membayar 800 real Saudi selama masa kehamilan, dengan pelayanan sbb:
a. Pemeriksaan kesehatan sejak awal kehamilan
hingga melahirkan, 2-3 kali dalam sebulan. Khusus bulan terakhir dari
kehamilan, pemeriksaan sekali sepekan.
b. Pemeriksaan gratis 2 kali di rumah setelah
melahirkan.
c. Si bayi mendapatkan kartu pengobatan gratis
selama setahun.
3. Asuransi anak sehat
Setorannya 490
real per tahun, dengan pelayanan:
a. Pemeriksaan bayi selama setahun sampai 3
kali dalam sebulan.
b. Diskon 20% untuk UGD dan operasi kecil.
c. Diskon 15% untuk operasi besar di salah
satu rumah sakit tertentu.
Jawaban
Al-Lajnah Ad-Da`imah (15/272-274):
Program ini
termasuk jenis asuransi kesehatan yang berafiliasi bisnis, dan itu adalah haram
karena termasuk akad perjudian dan pertaruhan.
Nominal yang
diserahkan nasabah untuk mendapatkan pelayanan berdiskon selama setahun, lebih
atau kurang, terkadang tidak dia manfaatkan sama sekali karena dia tidak
membutuhkan pelayanan di klinik tersebut selama jangka waktu itu. Sehingga dia
rugi dengan jumlah nominal tersebut. Yang untung adalah pihak klinik. Terkadang
pula dia mengambil faedah besar yang berlipat ganda dari nominal yang dia
serahkan, sehingga dia untung dan kliniknya rugi…
Program ini
adalah perjudian yang diharamkan dengan nash Al-Qur`an. Allah l berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ
وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang
yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan.”
(Al-Ma`idah: 90)
Ketua:
Asy-Syaikh Ibnu Baz, Anggota: Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid, Asy-Syaikh Abdul Aziz
Alusy Syaikh, Asy-Syaikh Shalih Fauzan, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan.
Masalah 3: Apa
hukumnya bekerja di lembaga asuransi bisnis?
Al-Lajnah
Ad-Da`imah menjawab (15/251, lihat pula 15/262-264):
Tidak
diperbolehkan bagi seorang muslim untuk bekerja di perusahaan asuransi sebagai
sekretaris ataupun lainnya. Sebab bekerja di situ termasuk ta’awun di atas dosa
dan permusuhan, dan ini dilarang oleh Allah l dalam firman-Nya:
وَلَا
تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan janganlah
kalian tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al-Ma`idah: 2)
Ketua:
Asy-Syaikh Ibn Baz, Wakil: Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi, Anggota: Asy-Syaikh
Abdullah bin Qu’ud dan Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan.
Masalah 4: Bila
uang ganti rugi dari lembaga asuransi telah diterima, apa yang harus dilakukan?
Al-Lajnah
Ad-Da`imah menjawab (15/260-261):
Adapun harta
yang telah diterima dari hasil akad asuransi bisnis, bila dia menerimanya
karena tidak tahu hukumnya secara syar’i, maka tidak ada dosa baginya. Namun
dia tidak boleh mengulangi lagi akad asuransi tersebut. Allah l berfirman:
فَمَنْ
جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى
اللهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang
yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi
(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal
di dalamnya.” (Al-Baqarah: 275)
Tetapi bila dia
menerimanya setelah tahu hukumnya, dia wajib bertaubat kepada Allah l dengan
taubat nasuha, dan mensedekahkan keuntungan tersebut.
Ketua:
Asy-Syaikh Ibn Baz, Anggota: Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud.
Ketika menjawab
pertanyaan senada (15/260) Al-Lajnah Ad-Da`imah menyatakan: “Pihak nasabah
boleh mengambil nominal uang yang pernah dia setorkan ke lembaga asuransi.
Sedangkan sisanya dia sedekahkan untuk para faqir miskin, atau dia belanjakan
untuk sisi-sisi kebajikan lainnya dan dia harus lepas/keluar dari lembaga
asuransi.”
Syaikhuna
Abdurrahman Al-‘Adni hafizhahullah menjelaskan: “Bila para pelaku usaha dan
hartawan dipaksa untuk bermuamalah dengan lembaga-lembaga asuransi oleh
pihak-pihak yang tidak mungkin bagi mereka untuk menghadapinya atau menolak
permintaannya, sehingga mereka menyetor dan bermuamalah dengan lembaga
tersebut. Dosanya ditanggung oleh pihak yang memaksa. Namun ketika terjadi
musibah, mereka tidak boleh menerima kecuali nominal yang telah mereka
setorkan.” (Syarhul Buyu’ hal 39, pada catatan kaki).
Demikian uraian
tentang masalah asuransi. Semoga bermanfaat.
Wallahul
muwaffiq.
Catatan Kaki:
1 Hasil ini
dicantumkan pada ketetapan mereka no. 51 tanggal 4/4/1397 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar