Nov 16, 2011 |
Asy Syariah Edisi 029 |
(ditulis oleh:
Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin)
Sebagai
kelanjutan dari edisi sebelumnya, rubrik ini memaparkan sejumlah permasalahan
yang berkaitan dengan riba dalam bentuk tanya jawab dengan para ulama. Semoga
bermanfaat!
Masalah 1: Hukum
Menyimpan Uang di Bank
Al-Lajnah
Ad-Da`imah menjawab (13/345):
“Menyimpan uang
di bank dan semisalnya dengan permintaan atau tempo tertentu untuk mendapatkan
bunga sebagai kompensasi dari uang yang dia tabung adalah haram.
(Demikian juga)
menyimpan uang tanpa bunga di bank-bank yang bermuamalah dengan riba adalah
haram, sebab ada unsur membantu bank tersebut bermuamalah dengan riba dan
menguatkan mereka untuk memperluas jaringan riba. Kecuali bila sangat terpaksa
karena khawatir hilang atau dicuri, sementara tidak ada cara lain kecuali
disimpan di bank riba. Bisa jadi dia mendapatkan rukhshah (keringanan) dalam
kondisi seperti ini karena darurat…”
Jawaban senada
juga disampaikan secara khusus oleh Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz t. Lihat
Fatawa Ibn Baz (2/194) dan Fatawa Buyu’ (hal. 127). Periksa pula Fatawa
Al-Lajnah (13/346-347, dan 13/376-377).
Masalah 2:
Apakah Bunga Bank termasuk Riba?
Al-Lajnah
Ad-Da`imah menjawab (13/396-397):
“Riba dengan
kedua jenisnya: fadhl dan nasi`ah, adalah haram berdasarkan Al-Kitab,
As-Sunnah, dan ijma’. Allah l berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً
“Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda.” (Ali ‘Imran:
130)
Allah l
berfirman pula:
وَأَحَلَّ
اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)
Allah l
berfirman juga:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا
إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ. فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ
اللهِ وَرَسُولِهِ
“Hai orang-orang
yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman. Maka jika kalian tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan
Rasul-Nya akan memerangi kalian.” (Al-Baqarah: 278-279)
Disebutkan dalam
hadits yang shahih bahwa Nabi n melaknat pemakan riba, yang memberi riba,
penulis, dan kedua saksinya. Sabda beliau n:
هُمْ
سَوَاءٌ
“Mereka semua
sama.”
Dengan demikian
diketahui bahwa bunga yang diberikan kepada nasabah berupa persentase dari uang
pokoknya, baik itu per pekan, bulanan atau tahunan, semuanya termasuk riba
haram yang terlarang secara syar’i, baik persentase ini berfluktuatif maupun
tidak (suku bunga flat)….”
Al-Lajnah
Ad-Da`imah juga pernah ditanya: “Apa hukum penambahan nominal yang diambil oleh
bank?”
Mereka menjawab
(13/349): “Faedah (bunga) yang diambil bank dari nasabah dan bunga yang
diberikan bank kepada nasabah adalah riba yang telah tetap (pasti) keharamannya
berdasarkan Al-Kitab, As-Sunnah, dan ijma’.”
Masalah 3:
Bolehkah Mengambil Bunga Bank?
Al-Lajnah
Ad-Da`imah menjawab (13/354-355):
“Bunga harta
yang riba adalah haram. Allah l berfirman:
وَأَحَلَّ
اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)
Wajib atas pihak
yang di tangannya ada sesuatu dari bunga tersebut untuk berlepas diri darinya,
dengan cara menginfakkannya untuk hal yang bermanfaat bagi kaum muslimin. Di
antaranya adalah membangun jalan, membangun sekolah, dan memberikannya kepada
faqir miskin. Adapun masjid, tidak boleh dibangun dari harta riba. Dan tidak
diperbolehkan bagi seorangpun untuk mengambil bunga bank, tidak pula
terus-menerus mengambilnya….”
Fadhilatusy
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t mempunyai fatwa yang panjang tentang masalah ini. Kita
nukilkan di sini karena hal ini sangat penting.
Beliau ditanya:
“Ada seorang pemuda yang tengah studi di Amerika. Dia terpaksa menyimpan
uangnya di bank riba. Konsekuensinya, pihak bank memberinya bunga. Apakah boleh
baginya mengambil dan memanfaatkannya untuk hal-hal yang baik? Sebab bila tidak
diambil akan dimanfaatkan oleh pihak bank.”
Beliau menjawab:
“Pertama, tidak
dibolehkan bagi seseorang untuk menyimpan uangnya di bank-bank tersebut, karena
pihak bank otomatis akan mengambil dan memanfaatkan uang itu untuk usaha.
Perkara yang telah dimaklumi, kita tidak diperkenankan memberi wewenang kepada
pihak kafir atas harta kita, yang mana mereka akan menjadikannya sebagai
(modal) usaha. Namun bila kondisinya darurat, khawatir hartanya dicuri atau
dirampas, bahkan berisiko hilangnya nyawa demi mempertahankannya, maka tidak
mengapa dia menyimpan uangnya di bank-bank tersebut karena darurat.
Namun, bila dia
menyimpannya (di bank itu) karena darurat, tidak boleh mengambil apapun sebagai
ganti. Haram atasnya untuk mengambil sesuatu (faedah). Bila dia mengambilnya
maka itu adalah riba. Bila itu adalah riba, maka Allah l telah berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا
إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ. فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ
اللهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا
تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
“Hai orang-orang
yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman. Maka jika kalian tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan
Rasul-Nya akan memerangi kalian. Dan jika kalian bertaubat (dari pengambilan
riba), maka bagi kalian pokok harta kalian; kalian tidak menganiaya dan tidak
(pula) dianiaya.” (Al-Baqarah: 278-279)
Ayat di atas
secara tegas dan jelas menunjukkan bahwa kita tidak boleh mengambil sesuatupun
darinya.
Pada hari
Arafah, Nabi n berkhutbah di depan massa yang besar dari kalangan kaum
muslimin. Beliau n bersabda:
أَلاَ
إِنَّ رِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوْعٌ
“Ketahuilah,
bahwa riba jahiliyyah disirnakan.”
Riba yang telah
sempurna transaksinya sebelum Islam, telah disirnakan oleh Nabi n. (Beliau juga
bersabda):
وَأَوَّلُ
رِبًا أَضَعُ مِنْ رِبَانَا رِبَا الْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطلبِ فَإِنَّهُ
مَوُضُوعٌ كُلُّهُ
“Dan riba yang
pertama kali aku sirnakan dari riba-riba kita adalah riba ‘Abbas bin Abdul
Muthalib. Semuanya disirnakan.”
Bila anda
mengatakan: “Bila uang (bunga) itu tidak diambil, mereka (orang kafir) akan
mengambil dan menyalurkan nya ke gereja-gereja serta membiayai perang untuk
memusnahkan kaum muslimin.”
Jawabannya:
Sesungguhnya bila saya melaksanakan perintah Allah l dengan meninggalkan riba,
maka apa pun yang terjadi dari situ tanpa sepengetahuan saya. Saya (hanya)
dituntut dan diperintahkan untuk melaksanakan perintah Allah l. Bila
menimbulkan beberapa mafsadah, maka itu di luar kuasa saya. Saya memiliki
perkara yang telah ditentukan dari Allah, yaitu:
اتَّقُوا
اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا
“Bertakwalah
kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut).” (Al-Baqarah: 278)
Kedua, kami
katakan: Apakah bunga yang mereka berikan kepada saya termasuk uang saya?
Jawabannya: Itu
bukan uang saya. Sebab boleh jadi mereka mengembangkan uang tersebut dalam
sebuah usaha lalu merugi. Maka bisa dipastikan bahwa bunga yang mereka berikan
kepada saya bukanlah pengembangan dari uang saya.
Bisa pula mereka
meraup keuntungan yang berlipat, namun mungkin pula tidak meraup keuntungan apa
pun dari uang saya. Sehingga tidak bisa dikatakan: “Bila saya kuasakan sebagian
uang saya kepada mereka maka mereka akan menyalurkannya ke gereja-gereja atau
membeli persenjataan untuk memerangi kaum muslimin.”
Ketiga, kita
katakan: Mengambil bunga berarti terjatuh kepada apa yang diakui sebagai riba.
Orang tersebut akan mengaku di hadapan Allah l nanti pada hari kiamat bahwa itu
adalah riba. Jika (sudah jelas) riba, maka mungkinkah seseorang beralasan bahwa
itu untuk kemaslahatan, padahal dia meyakini bahwa itu adalah riba? Jawabnya:
Tidak mungkin, sebab tidak ada qiyas bila dihadapkan kepada nash (dalil).
Keempat, apakah
dapat dipastikan mereka menyalurkan uang tersebut kepada apa yang anda
sebutkan, yaitu untuk kemaslahatan gereja atau untuk perlengkapan perang
melawan kaum muslimin? Jawabnya: Tidak dapat dipastikan.
Bila demikian,
kalau kita mengambil bunga tersebut, maka kita telah terjatuh pada larangan
yang pasti untuk menghindar dari mafsadah yang belum pasti. Akalpun akan menolak hal ini, yakni seseorang
melakukan mafsadah yang sudah pasti untuk menyingkirkan mafsadah yang belum
pasti, yang mungkin terjadi dan mungkin pula tidak.
Sebab, boleh
jadi pihak bank mengambilnya untuk kemaslahatan pribadi. Mungkin pula pihak
karyawan bank yang mengambilnya untuk kemaslahatan mereka pribadi. Dan tidak
dapat dipastikan bahwa uang tersebut disalurkan ke gereja-gereja atau untuk
membiayai perang melawan kaum muslimin.
Kelima,
sesungguhnya bila anda mengambil apa yang disebut sebagai ‘bunga’ dengan niat
menginfakkan dan mengeluarkannya dari hak milik anda, sebagai upaya untuk lepas
darinya, maka sama saja anda melumuri diri anda dengan kotoran untuk diupayakan
cara menyucikannya. Ini tidaklah masuk akal.
Justru kita
katakan: Jauhilah kotoran tersebut terlebih dahulu sebelum anda terlumuri
dengannya. Kemudian setelah itu upayakan cara menyucikannya.
Apakah masuk
akal, seseorang berupaya agar pakaiannya terkena kencing dengan maksud
membersihkannya bila telah terkena? Ini tidak masuk akal, selamanya, sepanjang
anda meyakini bahwa bunga itu adalah riba, kemudian anda berupaya mengambil,
mensedekahkan, dan berupaya melepaskan diri darinya.
Justru kita
katakan: Jangan anda ambil bunga tersebut sama sekali dan bersihkan diri anda
darinya!
Keenam, kita
katakan: Jika seseorang mengambilnya dengan niat tersebut, apakah dia merasa
yakin dapat mengalahkan hasrat jiwanya, berlepas diri darinya dengan
menyalurkannya untuk sedekah dan kemaslahatan umum?
Sekali-kali
tidak. Boleh jadi pada awalnya dia mengambil dengan niat tersebut, namun
hatinya mengingatkan dan membisiki agar pikir-pikir dulu. Apalagi bila dia
mendapati nominalnya ternyata sangat besar, 1 juta atau 100 ribu real,
misalnya.
Maka awalnya dia
punya azam (keinginan kuat), lalu menjadi berpikir-pikir, setelah itu pindahlah ke kantong pribadi.
Seseorang tidak
boleh merasa aman dari bisikan dirinya. Terkadang dia ambil dengan niat
tersebut, namun azam-nya luntur tatkala melihat nominal uang yang sangat
banyak. Dia pun berubah menjadi kikir dan akhirnya tidak mampu mengeluarkannya
(sebagai sedekah).
Pernah
diceritakan kepada saya, ada seseorang yang terkenal bakhil. Suatu hari dia
naik ke loteng rumahnya dan meletakkan jarinya di telinganya seraya berteriak
memanggil para tetangganya: “Selamatkan saya! Selamatkan saya!” Tetangganya pun
tersentak kaget. Mereka berdatangan dan bertanya: “Ada apa denganmu, wahai Abu
Fulan?” Diapun berkata: “Saya tadi telah memisahkan harta saya untuk saya
keluarkan zakatnya. Namun saya dapati uang zakat tersebut sangat banyak. Hati
kecil saya berkata: ‘Bila orang lain yang mengambilnya, maka hartamu akan
berkurang.’ Maka tolonglah saya darinya.”
Ketujuh,
sesungguhnya mengambil riba adalah tindakan tasyabbuh (menyerupai) orang Yahudi
yang dicela Allah l dalam firman-Nya:
فَبِظُلْمٍ
مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ
وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللهِ كَثِيرًا. وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا
عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا
لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
“Maka disebabkan
kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang
baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak
menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba,
padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan
harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang
yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (An-Nisa`: 160-161)
Kedelapan,
mengambil riba tersebut mengandung kemudaratan dan celaan terhadap kaum
muslimin. Sebab ulama Yahudi dan Nasrani tahu bahwa Islam mengharamkan riba.
Bila seorang muslim mengambilnya, mereka akan berkata: “Lihatlah kaum muslimin!
Kitab suci mereka mengharamkan riba, namun mereka tetap mengambilnya dari
kita.”
Tidak syak lagi,
ini adalah titik lemah kaum muslimin. Bila musuh-musuh mengetahui bahwa kaum
muslimin menyelisihi agamanya, maka mereka mengetahui dengan yakin bahwa ini
adalah titik kelemahan. Karena kemaksiatan tidak hanya berdampak kepada
pelakunya, tetapi juga kepada Islam secara keseluruhan.
وَاتَّقُوا
فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً
“Dan peliharalah
dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja
di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksa-Nya.” (Al-Anfal:
25)
Perhatikanlah!
Para shahabat g adalah hizbullah dan pasukan-Nya, dan mereka bersama dengan
sebaik-baik manusia, Nabi n, pada perang Uhud. Ada satu kemaksiatan yang
terjadi pada mereka, lalu apa yang terjadi? Kekalahan setelah kemenangan. Allah
l berfirman:
حَتَّى
إِذَا فَشِلْتُمْ وَتَنَازَعْتُمْ فِي الْأَمْرِ وَعَصَيْتُمْ مِنْ بَعْدِ مَا
أَرَاكُمْ مَا تُحِبُّونَ
“Sampai pada saat
kalian lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (Rasul)
sesudah Allah memperlihatkan kepada kalian apa yang kalian sukai.” (Ali ‘Imran:
152)
Kemaksiatan
memiliki pengaruh besar terhadap keterbelakangan kaum muslimin, penguasaan musuh
terhadap mereka, dan kekalahan di hadapan musuh-musuh mereka. Bila sebuah
kemenangan yang ada di depan mata dapat hilang karena sebuah kemaksiatan,
bagaimana kiranya dengan sebuah kemenangan yang belum terwujud?
Musuh-musuh
Islam sangat bergembira bila kaum muslimin mengambil riba, walaupun di sisi
lain mereka tidak menyukainya. Namun mereka bergembira, sebab kaum muslimin
terjatuh dalam kemaksiatan, sehingga akan terkalahkan.
Maka, satu dari
delapan mafsadah yang dapat saya singgung di sini sudah cukup untuk melarang
mengambil bunga bank. Dan saya kira, bila seseorang mencermati dan mengamati
masalah ini dengan seksama, dia akan mendapati bahwa pendapat yang benar adalah
tidak boleh mengambilnya.
Inilah pendapat
dan fatwa saya. Bila benar maka datangnya dari Allah l yang telah
menganugerahkannya dan segala puji untuk-Nya. Namun bila salah maka itu dari
pribadi saya. Tetapi saya mengharap bahwa pendapat tersebut benar, berdasarkan
dalil-dalil sam’i (Al-Kitab dan As-Sunnah) dan hikmah-hikmah yang telah saya
uraikan.” (Fatawa Asy-Syaikh Ibn ‘Utsaimin, 2/709-713, dinukil dari Fatawa
Buyu’ hal. 120-124)
Beliau juga
mempunyai fatwa senada dalam Liqa`at Babil Maftuh (2/138-141) pada liqa` yang
ke-27. Wallahul muwaffiq.
Masalah 4:
Bolehkah membayar bunga yang diminta pihak bank dengan bunga yang diberikan
pihak bank kepada kita? Misalnya, meminjam uang di bank dengan bunga 5% per
bulan, lalu dibayar dengan bunga dari uang yang disimpan di bank.
Al-Lajnah
Ad-Da`imah menjawab kasus di atas (13/360-361):
“Engkau menyimpan
uang di bank dengan mengambil bunganya adalah haram. Dan engkau meminjam uang
di bank dengan bunga juga haram. Maka tidak diperbolehkan bagimu untuk membayar
bunga pinjaman yang diminta pihak bank dengan bunga yang diberikan pihak bank
kepadamu karena tabunganmu.
Tetapi, yang
wajib bagimu adalah berlepas diri dari bunga yang telah engkau terima dengan
menginfakkannya dalam perkara-perkara kebaikan, untuk fakir miskin, memperbaiki
fasilitas umum dan semisalnya. Dan engkau wajib bertaubat dan beristighfar
serta menjauhi muamalah riba, karena hal itu termasuk dosa besar.”
Masalah 5:
Bolehkah mengambil bunga bank untuk membayar pajak?
Al-Lajnah
Ad-Da`imah menjawab (13/367):
“Tidak
diperbolehkan bagimu menyimpan uang di bank dengan faedah (bunga), untuk
membayar pajak yang dibebankan kepadamu dari bunga tersebut, berdasarkan
keumuman dalil tentang haramnya riba.”
Masalah 6: Hukum
transfer uang via bank.
Asy-Syaikh Abdul
Aziz bin Baz t menjawab:
“Bila sangat
diperlukan transfer via bank-bank riba, maka tidak mengapa insya Allah, dengan
dasar firman Allah l:
وَقَدْ
فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
“Padahal
sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kalian apa yang diharamkan-Nya atas
kalian, kecuali apa yang terpaksa kalian memakannya.” (Al-An’am: 119)
Tidak syak lagi
bahwa transfer via bank termasuk kebutuhan primer masa kini secara umum….”
(Fatawa Ibn Baz, 1/148-150, lihat Fatawa Buyu’ hal. 138-139)
Masalah 7: Hukum
muamalah dengan cabang-cabang bank yang tidak mengandung riba, sementara kantor
pusatnya adalah bank riba.
Al-Lajnah
Ad-Da`imah menjawab (13/374-375)
“Tidak mengapa
bila bermuamalah dengan bank atau cabangnya, bila muamalahnya tidak ada unsur
riba. Sebab Allah l menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Juga karena
hukum asal muamalah adalah halal, dengan bank ataupun yang lainnya, selama
tidak mengandung perkara yang haram….”
Masalah 8: Hukum
bekerja di bank.
Asy-Syaikh Abdul
Aziz bin Baz t menjawab:
“…Tidak diperbolehkan
bekerja di bank seperti ini (bank riba), sebab termasuk ta’awun di atas dosa
dan permusuhan. Allah l berfirman:
وَتَعَاوَنُوا
عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan
tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kalian
kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al-Ma`idah: 2)
Disebutkan dalam
Ash-Shahih dari Jabir bin Abdillah z, dari Nabi n, bahwa beliau:
لَعَنَ
آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكاَتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ
“Melaknat pelaku
riba, yang memberi riba, penulis dan kedua saksinya. Beliau berkata: ‘Mereka
semua sama’.”
Adapun gaji yang
telah anda terima, maka itu halal bagimu bila anda tidak tahu hukumnya secara
syar’i, dengan dasar firman Allah l:
وَأَحَلَّ
اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ
فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ
أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ. يَمْحَقُ اللهُ الرِّبَا وَيُرْبِي
الصَّدَقَاتِ وَاللهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
“Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya
larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya
apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya
(terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan
riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap
dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (Al-Baqarah: 275-276)
Adapun bila
engkau tahu bahwa pekerjaan tersebut tidak diperbolehkan, maka wajib bagimu
untuk menyalurkan gaji yang telah engkau terima untuk kepentingan-kepentingan
kebaikan dan menyantuni fakir miskin, disertai dengan taubat kepada Allah l.
Barangsiapa
bertaubat kepada Allah l dengan taubat nasuha niscaya Allah l menerima
taubatnya dan mengampuni kesalahannya. Allah l berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى
رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ
تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ
“Hai orang-orang
yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya,
mudah-mudahan Rabb kalian akan menghapus kesalahan-kesalahan kalian dan
memasukkan kalian ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.”
(At-Tahrim: 8)
Allah l
berfirman pula:
وَتُوبُوا
إِلَى اللهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan
bertaubatlah kalian semua kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya
kalian beruntung.” (An-Nur: 31) [Fatawa Ibn Baz, 2/195-196]
Fatwa senada
juga disampaikan Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t, sebagaimana
dalam Fatawa Buyu’ (hal 128-132), juga Fatawa Al-Lajnah (13/344-345).
Masalah 9:
Berbisnis dengan modal uang haram.
Al-Lajnah
Ad-Da`imah menjawab (13/41-42):
“Yang pertama:
Allah l mensyariatkan muamalah di kalangan kaum muslimin dengan akad-akad yang
mubah, seperti akad jual-beli, sewa-menyewa, salam, syarikah, dan semisalnya,
yang mengandung kemaslahatan hamba.
Kedua: Allah l
mengharamkan sebagian akad karena mengandung unsur kemudaratan, seperti akad
riba, asuransi bisnis, dan sebagian jual-beli barang haram seperti jual beli
alat musik, menjual khamr, ganja dan rokok, karena mengandung beraneka macam
kemudaratan.
Sehingga, setiap
muslim wajib menempuh cara-cara mubah dalam mencari ma’isyah (penghidupan) dan
usaha. Dan hendaklah dia menjauhi harta-harta yang haram dan cara-cara yang
terlarang.
Bila Allah l
tahu kejujuran niat seorang hamba dan tekadnya mengikuti syariat-Nya, upaya
terbimbing dengan Sunnah Nabi-Nya Muhammad n, niscaya Allah l akan memberi
kemudahan atas segala urusannya dan akan melimpahkan rizki kepadanya dari arah
yang tidak dia sangka. Allah l berfirman:
وَمَنْ
يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Barangsiapa
yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar.
Dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Ath-Thalaq:
2-3)
Dalam sebuah
hadits, Nabi n bersabda:
مَنْ
تَرَكَ شَيْئًا لِلَّهِ عَوَّضَهُ اللهُ خَيْرًا مِنْهُ
“Barangsiapa
yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan memberinya ganti yang
lebih baik.” (HR. Ahmad, 5/28)
Dengan demikian
dapat diketahui bahwa tidak diperbolehkan bagi anda untuk berbisnis dengan
modal uang haram, baik itu pemberian ayahmu ataupun dari yang lainnya.”
Masalah 10: Jual
Beli Sistem Lelang
Ada perbedaan
pendapat di kalangan ulama tentang masalah ini. Yang rajih adalah pendapat
jumhur bahwa jual-beli sistem lelang pada dasarnya dibolehkan dan halal. Bahkan
sebagian ulama menukilkan ijma’ dalam masalah ini, seperti Ibnu Qudamah dan
Ibnu Abdil Barr.
Ini adalah
pendapat Al-Lajnah Ad-Da`imah (13/126), dan Syaikhuna Abdurrahman Al-’Adni
hafizhahullah dalam Syarhul Buyu’ (hal. 53).
Dalam sistem
lelang, penjual tidak diperkenankan menyebutkan terlebih dahulu harga barang
yang dilelang, karena dikhawatirkan ada orang yang mendengar dari jauh dan
mengira barang itu dihargai dengan nominal tersebut. Namun para pembeli
dikumpulkan, lalu salah satu dari mereka menyebutkan harga nominal harga.
Kemudian sang penjual mengatakan: “Siapa yang mau menambah harga?” Demikianlah
hingga harga barang tersebut berhenti pada orang terakhir yang menyebutkannya.
(Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, 13/120-121, dan Syarhul Buyu’ hal. 53)
Dalam lelang
tidak boleh ada unsur najsy, yaitu adanya pihak yang menaikkan harga barang
padahal dia bukan pembeli (tidak bermaksud membelinya). Al-Lajnah Ad-Da`imah
menjelaskan: “Seseorang yang menambahi harga barang yang dilelang padahal dia
tidak bermaksud membelinya, tindakan tersebut adalah haram karena mengandung
penipuan terhadap para pembeli. Sebab pembeli akan mengira/meyakini bahwa orang
tersebut tidak akan berani menambah harga melainkan karena memang barang itu
seharga tersebut, padahal tidak demikian. Inilah yang dinamakan najsy yang
dilarang Rasulullah n dengan larangan haram. Sebagaimana disebutkan dalam
hadits Ibnu ‘Umar c:
أَنَّ
رَسُولَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ النَّجْشِ
“Bahwasanya
Rasulullah n melarang najsy.” (Muttafaqun ‘alaih)
Juga dalam
hadits Abu Hurairah z, Rasulullah n bersabda:
لاَ
تَلَقُّوْا الرُّكْبَانَ وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلىَ بَيْعِ بَعْضٍ وَلاَ
تَنَاجَشُوا وَلاَ يَبِعْ حَاضِرٌ لِبَادٍ
“Janganlah
kalian mencegah kafilah dagang (sebelum masuk pasar). Jangan pula sebagian
kalian membeli apa yang sedang dibeli orang lain. Jangan pula kalian saling
najsy. Dan orang kota tidak boleh menjualkan barang orang dusun.” (Muttafaqun
‘alaih)
Bila terjadi
najsy dan ada unsur penipuan dalam akad yang tidak seperti biasanya, maka sang
pembeli diberi pilihan: membatalkan akad atau meneruskannya, sebab kasus di
atas masuk dalam khiyar ghubn.”
Dalam lelang,
tidak diperbolehkan bagi pembeli untuk bersepakat tidak menambah harga dan
menghentikannnya pada nominal tertentu padahal mereka membutuhkannya, dengan
tujuan agar penjual melepas barangnya dengan harga di bawah standar. Demikian
uraian Syaikhul Islam dalam Al-Ikhtiyarat, lihat Majmu’ Fatawa (29/304).
Al-Lajnah
Ad-Da`imah (13/114) juga melarang tindakan di atas dan menggolongkannya ke
dalam akhlak yang tercela. Bagi pembeli yang merasa ditipu, dia boleh memilih
antara membatalkan akad atau meneruskannya.
Dalam lelang,
biasanya para pembeli melakukan sistem muqana’ah, yaitu bersepakat menjadi
kongsi dalam lelang. Setelah lelang selesai, mereka melakukan transaksi lagi di
antara mereka sendiri. Sistem ini juga tidak diperbolehkan. Demikian fatwa
Al-Lajnah Ad-Da`imah (13/115), karena di dalamnya terkandung unsur kezaliman
terhadap penjual untuk kemaslahatan mereka sendiri.
Wallau a’lam
bish-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar